Meneropong Potensi Cuan dari Pasar Saham Indonesia pada Sisa Akhir 2023

Hanya tiga bulan tersisa sebelum 2023 ditutup di tengah sentimen kebijakan suku bunga the Fed hingga ekonomi AS, bagaimana potensi pasar saham Indonesia?

oleh Elga Nurmutia diperbarui 20 Okt 2023, 17:34 WIB
Kondisi perekonomian dunia tengah dihadapkan dengan kenaikan harga minyak dan kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Kondisi perekonomian dunia tengah dihadapkan dengan kenaikan harga minyak dan kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed). Lantas, apakah masih ada potensi mendapatkan cuan dari pasar saham Indonesia pada sisa akhir 2023? 

Senior Portfolio Manager Equity Caroline Rusli menuturkan, kenaikan harga minyak dunia dan perbedaan perspektif antar pelaku pasar yang mengharapkan suku bunga segera turun dan the Fed yang memandang kebijakan suku bunga dapat tetap restriktif lebih lama ‘higher for longer’ menjadi penyebab dominan meningkatnya volatilitas di pasar global.

“Kondisi ekonomi Amerika Serikat yang masih tergolong kuat memaksa the Fed untuk tidak buru-buru menurunkan suku bunga, seperti yang ditunjukkan oleh proyeksi suku bunga di akhir tahun 2024 yang meningkat menjadi 5,1 persen, dari sebelumnya 4,6 persen,” kata dia dalam keterangan resminya, ditulis Jumat (20/10/2023).

Menurut ia, afirmasi ‘higher for longer’ juga terlihat dari perkiraan proyeksi data makroekonomi Amerika Serikat yang diterbitkan oleh the Fed pada September lebih baik dibandingkan ekspektasi sebelumnya. Kondisi ini langsung menyebabkan lonjakan pada imbal hasil US Treasury dan ‘memaksa’ imbal hasil obligasi negara lain termasuk Indonesia naik. 

Adapun sisi positif dari proyeksi ekonomi yang optimis tersebut adalah terbukanya peluang perlambatan tanpa memberikan tekanan berlebihan pada perekonomian.

Mengacu pada proyeksi makroekonomi yang dikeluarkan oleh the Fed pada September terlihat penurunan suku bunga baru terjadi pada 2024, tidak ‘sesegera’ itu, misalnya pada tahun ini seperti yang diharapkan oleh pasar. Kondisi ekonomi AS yang masih kuat membuat pembicaraan tentang pemangkasan suku bunga menjadi tertunda ke tahun depan.

 

 


Proyeksi Siklus Pelonggaran Suku Bunga

Karyawan memfoto layar pergerakan IHSG, Jakarta, Rabu (3/8/2022). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia, Rabu (3/08/2022), ditutup di level 7046,63. IHSG menguat 58,47 poin atau 0,0084 persen dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bahkan, proyeksi siklus pelonggaran suku bunga dalam laporan makroekonomi The Fed yang diterbitkan September lalu menarik untuk dicermati, di mana suku bunga dalam tiga tahun mendatang diperkirakan hanya akan turun sebesar 270 bps dari 5,6 persen pada 2023 menjadi 2,9 persen pada 2026. Jika hal ini terjadi, maka akan menjadi siklus pelonggaran suku bunga paling lambat yang pernah dijalankan oleh the Fed. 

Sementara data historis menunjukkan bahwa setelah kenaikan suku bunga yang agresif, the Fed cenderung melakukan penurunan yang lebih agresif dalam beberapa tahun mendatang.

Misalnya terjadi pelonggaran sebesar 550 bps selama 2,5 tahun pada 2000-2003 dan sebesar 675bps selama 3 tahun pada 1989-1992. Jika ternyata penurunan suku bunga bisa lebih besar dari perkiraan maka dapat menjadi katalis positif bagi pasar.

Sementara itu, Bank Indonesia menegaskan kembali prioritasnya untuk menjaga stabilitas Rupiah lewat intervensi valuta asing dan menjaga imbal hasil obligasi agar menarik.

Oleh karena itu diperkenalkan instrumen baru seperti Devisa Hasil Ekspor dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia untuk menarik aliran modal asing dan mengurangi kelebihan likuiditas di pasar keuangan domestik agar memperkuat stabilitas nilai tukar tanpa perlu menaikkan suku bunga.

Ke depan, peluang pemangkasan suku bunga setelah puncak Fed Funds Rate tercapai akan bergantung pada pertumbuhan PDB Indonesia, prospek inflasi, dan kekuatan USD yang akan diperhitungkan dalam menilai kebijakan moneter.

Lantas, dengan hanya tiga bulan tersisa sebelum 2023 ditutup, bagaimana potensi pasar saham Indonesia?


Potensi Pasar Saham Indonesia

Pekerja melintasi layar pergerakan saham Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Rabu (3/5/2023). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 50,58 poin atau 0,74 persen ke 6.812,72 pada akhir perdagangan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Caroline menjelaskan, sebenarnya saat ini adalah kesempatan yang baik bagi investor yang ingin berinvestasi di pasar saham Indonesia memanfaatkan kondisi selagi the Fed belum mengubah arah kebijakan suku bunganya, karena pasar saham Indonesia menawarkan valuasi yang rendah dengan fundamental perekonomian domestik yang positif. 

"Perubahan sikap the Fed yang lebih akomodatif akan menjadi game changer bagi pasar, baik untuk kelas aset saham maupun obligasi. Jelang akhir tahun percepatan belanja pemerintah dan distribusi anggaran Pemilu menjadi katalis yang dapat mendorong pasar saham Indonesia menguat lebih lanjut,” ujar dia. 

Implikasi dari pandangan ‘higher for longer’ yang berdampak pada meningkatnya imbal hasil US Treasury dan nilai tukar USD memberi tantangan bagi kebijakan moneter dan berpengaruh pada imported inflation di kawasan negara berkembang, termasuk Indonesia. Di samping itu, kenaikan harga minyak dapat menjadi faktor negatif bagi konsumsi karena mengurangi daya beli masyarakat.

 


Sektor Saham

Karyawan memfoto layar pergerakan IHSG, Jakarta, Rabu (3/8/2022). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia, Rabu (3/08/2022), ditutup di level 7046,63. IHSG menguat 58,47 poin atau 0,0084 persen dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Secara sektoral Manulife Aset Manajemen Indonesia memiliki pandangan yang positif terhadap beberapa tema seperti, communication services (pelayanan komunikasi), financials (keuangan) dan green energy (energi hijau). 

Pertama, communication services merupakan sektor defensif yang diuntungkan dari situasi persaingan yang kondusif, ruang pertumbuhan top line yang stabil dan penerima manfaat dana kampanye lewat meningkatnya belanja masyarakat akan pulsa.

Kedua, sektor keuangan juga dinilai menjadi sektor yang potensial. Hal itu tercermin dari pandangan yang lebih positif terutama pada perbankan besar yang tetap bisa mendapatkan funding dengan biaya bunga yang rendah sementara cost of credit terus membaik.

Ketiga, energi hijau, sektor ini menangkap pertumbuhan struktural di bidang energi terbarukan. Transisi menuju era dekarbonisasi menguntungkan bagi Indonesia yang kaya akan komoditas yang digunakan dalam teknologi energi baru terbarukan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya