Lembaga Penjamin Investasi China Ikut di Pendanaan Hijau PLN

PT PLN (Persero) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan salah satu lembaga pembiayaan dan penjaminan investasi asal China, Sinosure.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 20 Okt 2023, 19:45 WIB
PT PLN (Persero) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan salah satu lembaga pembiayaan dan penjaminan investasi asal China, Sinosure. (Dok. PLN)

Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan salah satu lembaga pembiayaan dan penjaminan investasi asal China, Sinosure. Kerja sama PLN dengan Sinosure merupakan langkah percepatan akses pendanaan hijau untuk menjalankan agenda transisi energi di Indonesia.

Bertepatan dengan Indonesia-China Business Forum (ICBF) di Beijing, PLN dan Sinosure melanjutkan peluang kerja sama untuk penjaminan pembiayaan transisi energi. Lewat kerja sama ini diharapkan PLN juga mendapatkan pendampingan dari Sinosure dalam hal perencanaan program transisi energi yang mampu mendorong pertumbuhan investasi.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun tersebar di seluruh kepulauan membuat tantangan pelaksanaan transisi energi butuh dukungan pendanaan yang tidak sedikit.

"Kami bergerak cepat untuk bisa menyelesaikan mismatch antara sumber energi dengan pusat demand lewat pembangunan super grid dan green enabling transmission line. Pengembangan dua infrastruktur penting ini membutuhkan dukungan pembiayaan yang besar sehingga mampu mengakselerasi target pengurangan emisi global," kata Darmawan, Jumat (20/10/2023).

Tantangan Pendanaan

Darmawan mengatakan, di tengah tantangan pendanaan yang besar, tak menyurutkan langkah PLN memasang target agresif dalam bauran energi. Dimana pada 2040, porsi pembangkit EBT mencapai 75 persen dan 25 persen sisanya berasal dari gas alam.

"Dengan cara ini, PLN dapat memperluas target transisi energinya sekaligus menjaga operasinya tetap kuat dan keuangannya kuat. Sehubungan dengan itu, Sinosure mengambil langkah besar untuk memberikan dukungan kepada PLN. Dukungan Sinosure ini, memberikan harapan besar bagi transisi energi di Indonesia," imbuh Darmawan.

 

 


Pusat Investasi

Ilustrasi PLN (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Vice Chairman President Sinosure, Sheng Hetai menyambut baik kerja sama antara PLN dan Sinosure. Sheng Hetai menilai Indonesia merupakan pusat investasi yang menjanjikan saat ini. Langkah Indonesia dalam pengembangan proyek pembangkit listrik yang bersumber energi bersih menjadi salah satu peluang besar.

"Kami sudah mengalokasikan sekitar USD 150 miliar untuk pembiayaan energi bersih di 15 negara, salah satunya di Indonesia merupakan negara yang menjadi prioritas dukungan pendanaan kami. Kami sangat mendukung langkah dan upaya PLN dan Indonesia dalam menciptakan energi yang lebih bersih," tegas Sheng Hetai.

Kerjasama PLN dengan Sinosure merupakan salah satu dari serangkaian kerja sama akselerasi transisi energi Indonesia. Dalam forum China-Indonesia Business Forum, PLN mengambil kesempatan untuk segera mengeksekusi berbagai peluang kerja sama.

Tidak hanya dengan Sinosure, PLN juga telah banyak melakukan kerja sama pembiayaan hijau dengan World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan negara-negara seperti Jepang, dan Arab Saudi.


Bukan Biang Kerok Emisi Karbon, RI Tak Perlu Cepat-Cepat Matikan PLTU Batu Bara

PLN mendorong skema kontrak jangka panjang dengan penambang. Hal terjadi dijadikan strategi jitu untuk mengamankan pasokan batu bara bagi pembangkit milik perseroan.

Pemerintah telah menyiapkan program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap, atau PLTU batu bara untuk mendukung pengurangan emisi karbon di dalam negeri. Namun, kebijakan itu diminta tidak gegabah dieksekusi lantaran bakal berimbas negatif terhadap ekonomi.

Anggota Dewan Energi Nasional sekaligus Guru Besar UI, Rinaldy Dalimi, tak memungkiri jika mematikan PLTU berbahan bakar batu bara jadi cara paling efektif untuk mengurangi emisi.

Saat ini, Rinaldy mengatakan, sejumlah negara maju telah berusaha untuk melakukan pensiun dini PLTU batu bara, dan menggantikannya dengan pembangkit listrik energi terbarukan.

"Indonesia tidak harus cepat-cepat mematikan PLTU-nya, karena PLTU batu bara adalah pasokan listrik utama kita. Biarkan PLTU beroperasi sesuai dengan nilai keekonomiannya, karena Indonesia bukan penghasil emisi yang besar. Tidak termasuk 15 negara terbesar penghasil emisi di dunia," ujarnya di Menara Bidakara, Jakarta, Kamis (19/10/2023).

Dinilai Latah

Menurut dia, jika Indonesia latah cepat-cepat mematikan PLTU dan menggantikannya dengan pembangkit energi terbarukan, maka akan merugikan secara ekonomis.

"Biaya produksi listrik meningkat, juga merugikan secara teknis, karena karakteristik energi terbarukan yang fluktuatif. Sehingga dapat mengganggu ketahanan energi nasional kita," imbuh Rinaldy.

"Apabila Indonesia ikut-ikutan seperti negara maju untuk mematikan PLTU dan menggantikannya dengan energi terbarukan, akan mengakibatkan biaya transisi energi akan sangat besar," ungkap dia.

 


Investasi

Pemerintah siap mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada acara puncak KTT G20 di Bali. (Dok. Kemenko Marves)

Mengacu pada perhitungan PLN, Rinaldy menambahkan, biaya transisi energi dengan memasang teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCUS) di PLTU batu bara butuh ongkos luar biasa besar, mencapai USD 700 miliar.

Untuk mengurangi biaya tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan negative load dari rooftop dan PLTS. Sebagai contoh, ia menyebut jika kebutuhan listrik berkurang 200 MW akibat penggunaan rooftop dan PLTS, maka matikan PLTU 200 MW.

"Jika negative load mencapai 400 MW, matikan PLTU 400 MW, dan seterusnya. Sehingga, biaya yang dikeluarkan untuk transisi energi dengan cara ini akan tidak terlalu besar, karena investasi rooftop dan PLTS akan ditanggung oleh konsumen, bukan oleh pemerintah," tuturnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya