Liputan6.com, Jakarta - Ingar bingar Pemilu dan Pilpres 2024 sudah mulai terasa di penghujung tahun ini. Seperti kampanye sudah menjadi hal yang wajar dilakukan oleh para calon pemimpin dengan menyampaikan visi misi, program dan citra diri sekaligus memikat hati para calon pemilihnya.
Keterlibatan kita sebagai seorang muslim dalam pesta demokrasi ini tentunya merupakan suatu keniscayaan. Demokrasi sendiri merupakan sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
Baca Juga
Advertisement
Sistem ini menganut pemahaman bagaimana setiap orang dapat mengambil bagian perihal keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya dalam bernegara. Demokrasi dalam Islam juga memiliki prinsip-prinsip kemanusiaan, persamaan derajat, dan keadilan sosial yang tercermin dalam beberapa ayat Al-Quran sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Namun kemudian, persoalannya bagaimana ketika janji-janji saat kampanye tersebut belum terlaksana atau tidak terlaksana saat mereka sudah menjadi pemimpin? Apakah janji-janji manis yang dilontarkan para calon pemilu menjadi nadzar?
Saksikan Video Pilihan ini:
Bukan Nadzar, Tapi Haram Jika Diingkari
Mengutip dari laman NU Online Jabar, masalah ini kemudian menjadi bahan kajian dalam bahasan bahtsul masail. Apakah janji-janji manis yang dilontarkan para calon pemilu menjadi nadzar?
Dari hasil kajian tersebut kemudian diputuskan bahwasanya hal tersebut bukanlah termasuk nadzar, namun disebut wa’dun (janji), karena:
1. Disampaikan dengan kalimat “janji”, bukan dengan shighat nadzar.
2. Janji tersebut disampaikan dengan tujuan menarik simpati dan dukungan rakyat, bukan kesanggupan melakukan ibadah (iltizamul qurbah).
Namun demikian, hukum menyelisihi/mengingkari “janji-janji manis” oleh para calon pemimpin adalah “haram” bila saat menyampaikan janji-janji tersebut tidak didasari tekad yang serius/ kuat (‘azm) untuk memenuhinya, bukan sebatas janji pemanis untuk meraup dukungan dan suara rakyat.
Advertisement