Inovasi Blazer Berbahan Kulit Sintetis dari Fermentasi Bakteri Selulosa Kombucha

Ganni x Polybion menciptakan prototipe blazer berbahan dasar bakteri selulosa yang diberi nama Celium, yang berasal dari Kombucha.

oleh Farel Gerald diperbarui 23 Okt 2023, 14:02 WIB
Ganni x Polybion menciptakan prototipe jaket berjenis blazer yang berbahan dasar bakteri selulosa. (sumber: laman resmi Ganni)

Liputan6.com, Jakarta - Bakteri dan limbah buah dari industri mungkin tidak terdengar menarik bagi banyak orang. Namun, bagaimana jika kombinasi keduanya dapat menghasilkan sesuatu yang menakjubkan?

Inilah keajaiban yang diciptakan oleh kolaborasi antara Ganni, sebuah merek fesyen terkenal asal Denmark, dan Polybion, perusahaan biomaterial yang berbasis di Meksiko. Keduanya berkolaborasi menciptakan prototipe blazer yang tidak hanya menarik dari segi estetika, tetapi juga menonjol dari segi material.

Bahan dasar blazer ini berasal dari bakteri selulosa. Alih-alih menciptakan sesuatu yang menyerupai kulit, tujuannya adalah menciptakan bahan yang sepenuhnya baru, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Hasilnya? Sebuah blazer yang memiliki tekstur dan tampilan yang benar-benar unik.

Alexis Gómez-Ortigoza, salah satu pendiri Polybion, mengklaim bahwa banyak yang menyukai blazer ini karena karakteristik bahannya. "Kami terkesan dengan banyaknya orang yang menyukai jaket ini karena bahannya tidak menyerupai kulit," kata Gómez-Ortigoza.

"Sangat mudah untuk mengenali bahwa ini bukan kulit, tetapi juga bukan plastik. Ada kesan unik di dalamnya," tambahnya.

Salah satu keunggulan lain dari blazer ini adalah dampak lingkungannya. Meskipun proses pembuatannya mungkin terdengar mirip dengan produksi kulit tradisional, blazer ini memiliki jejak karbon yang lebih rendah.

Tidak hanya itu, pencapaian ini mencatatkan namanya dalam sejarah industri biomaterial. Seperti yang ditekankan oleh Gómez-Ortigoza, ini adalah langkah besar dan penting. "Sebuah jaket dari nanoselulosa bakteri yang diproduksi oleh sebuah merek global menunjukkan potensi besar biomaterial di masa depan," ujarnya.


Bakteri Sebagai Alternatif Kulit

Ilustrasi teh Kombucha (iStock)

Gómez-Ortigoza yang berprofesi sebagai ahli keuangan, mendirikan Polybion pada 2014 bersama Axel, saudaranya yang berlatar belakang di bidang bioteknologi. Mereka, bersama dengan Bárbara González Rolón, seorang ilmuwan material, mulanya memusatkan perhatian pada miselium, sejenis jaringan jamur.

Namun, sebuah peristiwa tak terduga berubah, saat lima tahun lalu, seorang temannya membawa sebotol kombucha ke kantornya. Bakteri pertama yang mereka isolasi berasal dari minuman tersebut.

Kombucha, minuman teh fermentasi yang kian terkenal, menjadi sumber bakteri yang digunakan untuk menciptakan bahan jaket, yang diberi nama Celium. Sejak saat itu, fokus utama Polybion bergeser ke fermentasi bakteri, yang dianggap memiliki potensi sebagai alternatif kulit berkualitas tinggi.

Limbah buah dari pabrik lokal, terutama mangga, dijadikan makanan untuk bakteri teh tersebut. Gómez-Ortigoza mengatakan, "Dengan menambah formula khusus yang kami ciptakan, limbah buah ini diubah menjadi media pertumbuhan bagi bakteri."

Dalam prosesnya, bakteri tersebut menghasilkan matriks nanoselulosa sebagai hasil metabolisme. Setelah dua minggu, matriks tersebut dipanen dan melalui proses penyamakan dan penyelesaian. Jika tidak digunakan, limbah buah tersebut akan membusuk dan mengeluarkan metana. Setelah proses penyamakan, nanoselulosa diolah menggunakan metode yang biasa digunakan dalam industri penyamakan kulit.


Potensi Bakteri yang Luas

Komunitas baju Nairobi gunakan limbah pakaian bekas untuk inspirasi bajunya untuk dijual di pasar Gikomba Afrika Timur. (Ilustrasi: Pixabay/Alan Frijns).

Namun, Gómez-Ortigoza menekankan, "Kami tidak menggunakan bahan kimia berbahaya. Karena bersifat organik, bahan ini memberi kesan alami, bisa bernapas dan mengalami degradasi seperti kulit, hal yang sangat penting untuk brand-brand mewah."

Polybion saat ini sedang menilai potensi Celium dalam berbagai produk lain seperti karton, benang, bahan konstruksi yang menyerupai kayu, hingga pembalut luka. Meskipun demikian, seperti yang ditekankan oleh Gómez-Ortigoza, saat ini perhatian mereka terutama terfokus pada aplikasi di bidang tekstil, khususnya sebagai alternatif kulit, karena prospek pemasarannya paling cepat.

Bagi para pecinta mode yang tertarik dengan jaket berbahan bakteri ini, ada kabar sedikit mengecewakan. Lauren Bartley, Direktur Keberlanjutan dan CSR dari Ganni, menjelaskan bahwa blazer inovatif ini saat ini tidak untuk dijual. Namun, dengan target ambisius dalam pengurangan emisi karbon dan inovasi bahan kain baru, Ganni berencana merilis pakaian dengan bahan Celium ini pada 2024.

Selain itu, blazer dengan bahan bakteri ini tidak meninggalkan desain khas Ganni. Desain siluetnya sejalan dengan koleksi sebelumnya yang menggunakan bahan tradisional. Bahkan, versi katun organik dari desain ini pernah dikenakan oleh mantan Ibu Negara AS, Michelle Obama.

Pilihan warna kuning yang cerah, menurut Bartley, merupakan upaya untuk menciptakan efek yang sama dengan versi blazer berwarna merah muda cerah dan hijau berbahan wol pada koleksi sebelumnya.


Material Tekstil dan Isu Keberlanjutan

Ilustrasi tekstil (Unsplash)

Semakin banyak rumah mode yang berupaya memanfaatkan bahan inovatif dalam penciptaan pakaian agar lebih berkelanjutan.

Kate Goldsworthy, seorang profesor spesialisasi dalam Desain dan Inovasi Melingkar di Universitas Seni London (yang tidak berkolaborasi dengan Polybion) menyatakan, "Sektor tekstil kini menggunakan sisa pertanian dan makanan sebagai komponen utama dalam penciptaan material baru sebagai solusi atas krisis perubahan iklim, dengan tujuan menggunakan sumber daya planet kita dengan lebih efisien tanpa menghabiskan sumber daya alami."

Goldsworthy menambahkan, "Polybion mengintegrasikan pendekatan ramah lingkungan dalam setiap tahap produksinya. Selain itu, mereka memiliki rantai pasokan yang dekat, kurang dari 30 mil." Namun, ia juga menekankan bahwa langkah berikutnya adalah meningkatkan skala produksi dan mendorong konsumen untuk mengadopsi penggunaan bahan tersebut.

Sementara itu, Kate Fletcher, seorang profesor dari Royal Danish Academy di Copenhagen dan Oslo Metropolitan University di Norwegia, percaya bahwa meskipun bahan alternatif seperti Celium adalah penambah yang baik dalam dunia mode berkelanjutan, hal tersebut tidak sepenuhnya mengatasi inti masalah keberlanjutan di industri fashion.

"Inti tantangannya adalah mengatasi pertumbuhan konstan di industri fashion dan mengurangi produksi yang berlebihan. Tanpa itu, dampak lingkungan akan tetap meningkat, terlepas dari jenis bahan yang kita gunakan," ungkapnya.

Macam-macam material fesyen berkelanjutan. (dok. Liputan6.com/Trie Yasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya