Dalam Setahun Ada 450 Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak di Kota Bandung

Empat jenis kekerasan yang tertinggi adalah kekerasan psikis, fisik, seksual, dan penelantaran.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 24 Okt 2023, 03:00 WIB
Ilustrasi kasus kekerasan perempuan dan anak (Istimewa)

Liputan6.com, Bandung - Kasus kekerasan perempuan dan anak di Kota Bandung dinilai cenderung tinggi. Pemerintah kota diharapkan tidak hanya menangani laporan yang diterima tapi juga turut mencegah munculnya kasus.

Berdasarkan data yang disampaikan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung, pada tahun 2022 tercatat ada 450 laporan kasus kekerasan yang diterima UPTD PPA.

Dari ratusan kasus tersebut, empat jenis kekerasan yang tertinggi adalah kekerasan psikis, fisik, seksual, dan penelantaran.

Kepala DP3A Kota Bandung, Uum Sumiati, mengatakan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak bisa dilakukan dengan meningkatkan kewirausahaan, menekan angka pekerja anak, mencegah perkawinan anak, serta meningkatkan peran ibu dan keluarga dalam pengasuhan anak.

"Dari unsur pendidikan, kami mengutamakan juga para guru BK, kepala sekolah, dan pengurus OSIS untuk penguatan sosialisasi dan edukasi pencegahan kekerasan secara sistematis," katanya dikutip lewat keterangan tertulis, Bandung, Senin, 23 Oktober 2023.

 


Selesaikan Masalah dari Hulu ke Hilir

Sementara, Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna menyampaikan, DP3A sebagai leading sektor harus mampu menginventarisasi kasus tak hanya di hilir, tapi juga di hulu.

"Dalam menangani persoalan ini jangan tiba-tiba yang jadi orientasi kita itu di hilir. Tetapi saya berpendapat itu idealnya kita inventarisasi persoalan itu di hulu," ucap Ema.

"Kita harus tahu apa sebetulnya yang menjadi persoalan utama dari yang tadi diungkapkan. Apakah faktor ekonomi, di luar ekonomi, atau faktor-faktor lain," lanjutnya.

Sebab menurutnya, persoalan kekerasan yang terjadi bukan hanya ditangani DP3A, tapi beririsan dengan organisasi perangkat daerah (OPD) lain, seperti kesehatan, pendidikan, kependudukan, tenaga kerja, dan dengan aspek lain. Sehingga penanganan masalah harus komprehensif.

"Nanti pun bila perlu dan kalau kita mampu persoalan ini diurutkan berdasarkan wilayah administrasi, bisa berbasis kecamatan atau kelurahan. Sehingga nanti di kecamatan mana yang paling dominan banyak persoalan-persoalan yang harus dipecahkan ini sesuai dengan kultur masyarakat di daerah tersebut," katanya.

"Ini menjadi atensi juga jika hal-hal semacam ini idealnya nanti tersampaikan juga di dunia pendidikan, supaya anak-anak itu mendapatkan penguatan dari aspek sistem moral," imbuh Ema.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya