Liputan6.com, Berlin - Pelarangan demo bela Palestina di Jerman menuai kritikan dari para intelektual Yahudi. Lebih dari 100 intelektual Yahudi-Jerman juga menyorot bahwa aksi Yahudi yang mendukung perdamaian di Timur Tengah turut dilarang.
Menurut laporan Anadolu Agency, Senin (23/10/2023), kelompok intelektual Yahudi itu berkata dalam beberapa pekan terakhir ada pelarangan kumpul-kumpul publik di Jerman jika dicurigai bersimpati pro-Palestina.
Advertisement
Para intelektual Yahudi-Jerman itu menolak larangan yang memblokir solidaritas mereka dengan tetangga-tetangga Arab, Muslim, dan Palestina.
Berdasarkan surat para intelektual itu yang diterbitkan koran Tageszeitung, tindakan pelarangan demo itu adalah bentuk "penekanan ekspresi politik yang sah dan tidak berbahaya, yang dapat termasuk kritikan kepada Israel."
"Di distrik Neukoelln, rumah dari komunitas besar Turki dan Arab, sekarang menjadi area yang diduduki polisi. Kendaraan van lapis baja dan polisi anti huru-hara bersenjata berpatroli di jalanan, mencari-cari penampilan dukungan spontan terhadap rakyat Palestina atau simbol-simbol identitas Palestina," tulis para intelektual Yahudi-Jerman itu.
Hak Konstitusi
Pekan lalu, pemerintah Jerman membela keputusan mereka untuk mencekal demo anti-Israel. Hal itu memicu protes dari komunitas Jerman-Palestina.
Menteri Dalam Negeri Jerman Rita Schwarzeluehr-Sutter berkata semua orang berhak unjuk rasa damai di Jerman.
"Tetapi hal itu memiliki sebuah garis merah yang tebal: Ada toleransi nol bagi ucapan anti-Semit dan nti-Israel. Ada toleransi nol terhadap kekerasan," ucapnya.
Dilansir Middle East Monitor, kelompok pro-Palestina berjanji akan protes terhadap pelarangan demo tersebut. Kelompok Palestine Campaign Initiative berkata pelarangan itu tidak konstitusional.
"Kami akan mengambil tindakan hukum untuk menegakkan hak kami di masa depan," ujar kelompok tersebut.
Mantan Pejabat Israel Ramai-ramai Desak Netanyahu Mundur Pasca Serangan Hamas
Sebelumnya, mantan pejabat politik, militer, dan intelijen Israel menyatakan keraguannya terhadap kepemimpinan Benjamin Netanyahu. Pendapat mereka muncul di tengah perdebatan sengit di dalam negeri mengenai respons pemerintah Netanyahu terhadap serangan Hamas pada Sabtu 7 Oktober 2023 yang menewaskan sedikitnya 1.400 orang di Israel.
Ehud Barak, perdana menteri (PM) Israel periode 1999-2001 yang juga mantan menteri pertahanan, mantan menteri luar negeri, dan mantan panglima angkatan bersenjata, menggambarkan serangan Hamas sebagai pukulan paling parah yang dialami Israel sejak negara itu berdiri.
"Saya tidak yakin bahwa masyarakat mempercayai Netanyahu untuk memimpin saat dia berada di bawah beban peristiwa dahsyat yang terjadi pada masa jabatannya," ujar Barak kepada Observer, seperti dilansir The Guardian, Senin (23/10/2023).
"Jelas ini adalah kelalaian dan kegagalan di beberapa level. Kegagalan intelijen kita mengikuti persiapan (Hamas) yang dilakukan selama setahun terakhir, mungkin lebih lama lagi. Tidak mudah untuk langsung memutuskan apa yang sebenarnya terjadi, namun yang pasti, masyarakat kehilangan kepercayaan, baik terhadap militer maupun kepemimpinan politik."
Pembebasan sekitar 200 sandera yang ditawan Hamas di Gaza menjadi isu utama di Israel. Barak yang pernah terlibat dalam sejumlah operasi penyelamatan sandera menuturkan, "Para sandera adalah isu besar, yang menjadi perhatian para pemimpin dan rakyat kita, namun pada saat yang sama ada kebutuhan untuk menghilangkan kemampuan militer Hamas dan perannya sebagai penguasa Jalur Gaza."
"Anda tidak dapat memimpin Israel melewati krisis, baik secara politik maupun strategis, ketika Anda bertanggung jawab atas kegagalan paling parah pemerintah dalam sejarah negara ini dan Anda tidak dapat membangun kembali kepercayaan ini dari nol. Jadi, negara ini harus menemukan cara untuk menggantikannya dalam memimpin pemerintahan."
Tidak hanya Barak, sejumlah mantan petinggi Israel lainnya pun mendesak Netanyahu mundur.
Advertisement
Semua Minta Maaf kecuali Netanyahu
Netanyahu, yang menjabat selama lebih dari 16 tahun, telah menuai kritik luas dari sebagian besar masyarakat Israel, mantan pemimpin militer dan mantan pejabat lainnya mengenai upayanya untuk merombak sistem peradilan Israel sebelum perang Hamas Vs Israel meletus. PM Israel itu juga masih terlibat dalam persidangan korupsi atas berbagai tuduhan termasuk penipuan, pelanggaran kepercayaan publik dan menerima suap, yang semuanya dia bantah.
Para menteri kabinet termasuk menteri keuangan sayap kanan yang kontroversial Bezalel Smotrich, panglima militer Herzi Halevi, dan kepala badan intelijen dalam negeri Israel Ronen Bar, semuanya telah meminta maaf atas kegagalan pemerintah Israel untuk melindungi warganya pasca serangan Hamas.
Sementara itu, Letjen Dan Halutz, mantan kepala staf pasukan pertahanan Israel (IDF) dan komandan angkatan udara Israel sekaligus anggota gerakan yang vokal menentang reformasi peradilan Netanyahu, menilai bahwa sang PM Israel tidak mungkin mengeluarkan permintaan maaf publik.
"Kepala staf, kepala intelijen, kepala lembaga militer sudah mengatakannya: mereka bertanggung jawab penuh atas apa yang terjadi. Saya yakin mereka semua melihat misinya saat ini adalah untuk menang, lalu pulang," kata dia.
"Saya mengharapkan hal yang sama dari PM kita, namun dia berurusan dengan politik kecil-kecilan. Semenit setelah peristiwa di Gaza dimulai, dia mulai memikirkan masa depannya dibandingkan rakyatnya."
Sebuah jajak pendapat baru-baru ini menemukan bahwa 80 persen warga Israel ingin Netanyahu bertanggung jawab atas kegagalan yang memungkinkan serangan Hamas. Dalam jajak pendapat terpisah awal bulan ini, 56 persen mengatakan Netanyahu harus mengundurkan diri setelah perang berakhir.
Pembebasan Sandera Adalah yang Utama
Krisis penyanderaan, kata Halutz, dapat memengaruhi jadwal kegiatan apapun.
"Secara pribadi, menurut saya, jika masalah ini dapat diselesaikan dengan cepat, saya lebih memilih untuk menyelesaikan masalah para sandera terlebih dahulu dan kemudian melanjutkan dengan serangan militer ... Keluarga para sandera mengharapkan (Netanyahu) menyelesaikan misi ini dan membawa mereka kembali ... Siapapun di Israel yang mungkin memegang kendali memahami bahwa para sandera adalah prioritas utama kita," tutur Halutz.
"Dari sudut pandang saya, (Netanyahu) harus mengundurkan diri sekarang ... Ada orang yang lebih baik untuk menanganinya."
Halutz menambahkan, "Dia berpikir bahwa dia berada di atas Tuhan, dia berpikir bahwa dia adalah penyelamat Israel dan sayangnya kita gagal menjelaskan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya bahwa dia adalah penghancur Israel dan masalah pribadinyalah yang membawa dia dan bukan negaranya mendapatkan keuntungan."
"Ada perbedaan pendapat, tapi saya yakin bahwa saya mewakili setidaknya setengah populasi (Israel) dengan apa yang saya katakan."
Advertisement