Liputan6.com, Jakarta - Para ilmuwan iklim mengatakan tahun ini akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat di dunia. Panas ekstrem di seluruh dunia, dengan suhu hangat Bumi yang tidak sesuai musim, bisa membawa banyak perubahan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengutip dari Euro News, Selasa (24/10/2023), hal ini terjadi setelah musim panas yang terik bersama gelombang panas yang melanda Eropa dengan catatan suhu yang memecahkan rekor di seluruh dunia. Disebutkan, panas ekstrem telah menimbulkan dampak buruk bagi ekologi dan manusia.
Advertisement
Tetapi ada juga beberapa dampak aneh dari kenaikan suhu yang mungkin akan segera menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa di antaranya:
1. Sinyal TV bisa menjadi lebih buruk
Awal bulan ini, hampir separuh pemilik TV Prancis kesulitan mendapatkan sinyal TV di tengah bulan Oktober yang hangat dan tidak sesuai musimnya. Di Inggris, platform TV Freeview memperingatkan bahwa suhu tinggi juga akan mempengaruhi penerimaan sinyal di beberapa wilayah negara tersebut.
Dijelaskan bahwa sinyal TV dapat terpengaruh oleh kondisi tekanan tinggi yang disebabkan oleh cuaca panas. Masalahnya biasanya bersifat sementara dan hilang setelah tekanan tinggi hilang.
2. Anjing mungkin menjadi lebih agresif
Penelitian terbaru menemukan bahwa serangan anjing menjadi lebih sering terjadi pada hari-hari yang panas dan berpolusi. Anjing 11 persen lebih mungkin menggigit orang pada hari-hari dengan tingkat sinar UV yang lebih tinggi, menurut penelitian Harvard Medical School.
"Anjing, atau interaksi antara manusia dan anjing, lebih bermusuhan pada hari-hari yang panas, cerah, dan berasap," para penulis penelitian menyimpulkan sambil menambahkan bahwa, "Beban masyarakat akibat panas ekstrem dan polusi udara juga mencakup dampak agresi terhadap hewan."
3. Minyak Zaitun Bisa Langka
Panas ekstrem pada musim panas ini telah membawa industri minyak zaitun Eropa ke dalam krisis. Ketika merkuri meningkat, pohon zaitun akan menjatuhkan buahnya atau kesehatannya akan menurun ketika mencoba menghemat air.
Spanyol, produsen minyak zaitun terbesar di dunia, mengalami penurunan produksi menjadi sekitar 620.000 metrik ton tahun ini, dibandingkan dengan rata-rata selama lima tahun terakhir yang berjumlah sekitar 1,3 juta metrik ton. Jika musim semi dan musim panas di masa depan terus sepanas ini, minyak zaitun akan langka dan harganya akan meroket.
4. Bir mungkin terasa berbeda
Suhu yang lebih tinggi dan kekeringan akan mengakibatkan lebih rendahnya produksi dan kualitas hop yang digunakan untuk memberi rasa pada bir, menurut temuan penelitian baru. Studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communications mengatakan hasil hop akan turun sebesar 4 hingga 18 persen pada 2050.
Kandungan asam pahit pada hop, yang penting untuk menghasilkan rasa khas bir, bisa turun 20 hingga 31 persen. Hal ini berarti bir Anda mungkin akan terasa berbeda jika suhu dunia terus memanas.
Advertisement
5. Tahun Ajaran Baru Mungkin Berubah
Pada awal Oktober 2023, sekolah-sekolah di Kepulauan Canary terpaksa ditutup karena suhu panas hingga 38 derajat celcius melanda kepulauan tersebut. Selama tahun ajaran, cuaca biasanya sejuk dan seperti musim semi sehingga sebagian besar ruang kelas tidak memiliki AC.
Di seluruh Eropa, suhu hangat yang tidak sesuai musim dapat mengubah pola tahun ajaran. Sejumlah sekolah akan segera memperkenalkan tanggal awal dan akhir tahun ajaran yang bervariasi.
Di Amerika, sudah ada tanda-tanda apa yang akan terjadi. Sekolah-sekolah di Detroit, Philadelphia dan Pittsburgh beralih ke pembelajaran online pada Juni tahun ini untuk mengatasi cuaca panas. Sekolah juga mengizinkan siswanya pulang lebih awal untuk menghindari jam-jam terpanas di siang hari.
6. Jam kerja mungkin berubah
Demikian pula, jam kerja mungkin harus diubah, khususnya bagi orang yang bekerja di luar ruangan, harus bepergian, atau berada di gedung tanpa AC. Hal ini dapat menyebabkan negara-negara Eropa utara mengadopsi tidur siang dan mengubah jam kerja menjadi lebih awal di pagi hari dan kemudian di malam hari.
Kesadaran Perubahan Iklim di Indonesia Masih Rendah
Indonesia termasuk salah satu negara yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Pusat Komunikasi Perubahan Iklim Universitas Yale di Amerika Serikat (AS) yang dirilis pada Senin, 3 Oktober 2023, mengupas studi mereka mengenai sikap, pengetahuan, perilaku dan preferensi kebijakan yang dianut masyarakat tentang fenomena perubahan iklim di sejumlah negara, termasuk di Indonesia.
Masyarakat ternyata paling menggantungkan harapan pada pemerintah dalam hal ini. Sebanyak 75 persen responden berharap pemerintah dapat mengurangi kerusakan lingkungan akibat manusia, baru disusul masyarakat (73 persen) dan warga Indonesia (71 persen).
"Temuannya mengindikasikan pemerintah, sektor bisnis, para edukator dan masyarakat sipil perlu bekerja bersama untuk membangun pemahaman bersama dan mendukung aksi-aksi iklim," jelas Anthony Leiserowitz, PhD, peneliti utama dalam studi hasil kerja sama Yale Program on Climate Change Communication, Development Dialogue Asia, Communication for Change serta Kantar Indonesia.
Walau Indonesia termasuk negara yang rentan akibat perubahan iklim, penelitian tentang persepsi masyarakat dalam hal ini belum banyak. Hasil studi Yale ini memberikan arahan yang lebih jelas untuk para pelaku dan aktivis perubahan iklim di Indonesia, termasuk yang bergerak di bidang komunikasi perubahan iklim serta bagi pemerintah sebagai upayanya melayani masyarakat.
Advertisement