HEADLINE: Jokowi dan Keluarga Dilaporkan Kolusi-Nepotisme, Bakal Diproses KPK?

Jokowi pun mengatakan hal itu merupakan bagian dari proses demokrasi. Dia mengaku akan menghormati semua proses hukum tersebut.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 25 Okt 2023, 00:42 WIB
Presiden Jokowi berbincang dengan Ibu Negara, Iriana serta Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep sambil menunggu tamu yang pulang dari kediamannya di Jalan Kutai Utara, Solo usai prosesi siraman Kahiyang Ayu, Selasa (7/11). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya tersenyum kecil ketika ditanya soal dirinya dan keluarganya dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Jokowi pun mengatakan hal itu merupakan bagian dari proses demokrasi. Dia mengaku akan menghormati semua proses hukum tersebut.

"Ya itukan proses demokrasi di bidang hukum ya kita hormati semua proses itu," ujar Jokowi di Plataran Hutan Kota Senayan Jakarta, Selasa (24/10/2023).

Jokowi bersama kedua putranya, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep serta adik iparnya yang merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dilaporkan ke KPK atas dugaan kolusi dan nepotisme. 

Sementara Gibran sendiri mengaku menghormati adanya laporan tersebut dan mempersilakan jika ada pihak yang merasa dirugikan untuk melapor ke KPK.

"Monggo, silakan," kata Gibran di Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (24/10/2023).

Gibran pun akan menyerahkan sepenuhnya proses hukum tersebut ke lembaga antirasuah.

"Ya, biar ditindaklanjuti KPK," imbuhnya.

Mereka dilaporkan oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Persatuan Advokat Nusantara yang merasa bahwa keluarga Jokowi telah melakukan kolusi dan nepotisme usai putusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden 40 tahun atau pernah jadi kepala daerah.

"Melaporkan dugaan adanya tadi kolusi, nepotisme yang diduga dilakukan oleh Presiden kita RI Joko Widodo dengan Ketua MK Anwar, juga Gibran dan Kaesang dan lain-lain," kata Koordinator TPDI Erick S Paat di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

"Kaitannya bahwa Presiden dengan Anwar itu ipar, karena dia menikah dengan adiknya presiden Jokowi. Nah kemudian Gibran anaknya, berarti dengan ketua MK hubungannya sebagai paman dengan ponakan," ucap Erick.

Erick mengatakan, putusan MK dinilai untuk memperjuangkan kepentingan dan membukakan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres.

"Seolah-olah ada unsur kesengajaan yang dibiarkan, dalam penanganan perkara ini. Itu yang kami lihat adalah dugaan kolusi nepotismenya antara ketua MK sebagai ketua majelis hakim dengan Presiden Jokowi, dengan keponakannya Gibran, dengan Kaesang," ujar Erick.

Laporannya telah diterima bagian pengaduan masyarakat. Dia berharap KPK menindaklanjuti laporan tersebut.

"Kita tunggu aja tindak lanjutnya. Ini adanya dugaan kolusi nepotisme. Bagaimana mau menegakkan hukum, ini berkaitan juga dengan masalah korupsi tidak akan terjadi kalau pemimpinnya sudah melanggar hukum siapa yang mau di dengar siapa yang mau dihormati," ujarnya.

Sementara KPK sendiri akan menganalisis terlebih dahulu terkait laporan tersebut. 

"Kami analisis dan verifikasi untuk memastikan apakah memenuhi syarat dan menjadi kewenangan KPK," ujar Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK Ali Fikri.

Dia pun mengapresiasi partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi sangat di butuhkan diantaranya melaporkan dugaan korupsi yang ada disekitarnya, tentu dengan didukung data awal sebagai bahan telaah dan analisis lanjutannya," ujar dia.

Infografis Jokowi dan Keluarga Dilaporkan Kolusi-Nepotisme ke KPK. (Liputan6.com/Abdillah)

KSP Minta Tuduhan Kolusi-Nepotisme ke Jokowi dan Keluarga Dibuktikan

Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) Juri Ardiantoro menegaskan bahwa pihak yang melaporkan Jokowi dan keluarga harus membuktikkan tuduhannya.

"Menyangkut Pak Presiden dan keluarga, saya ingin menyampaikan bahwa sesuai prinsip hukum: siapa yang menuduh dia yamg harus membuktikan," jelas Juri.

Dia mengingatkan pihak-pihak yang dituduh atau dilaporkan ke KPK merupakan seorang kepala negara dan keluarga. Sehingga, Juri menekankan pelapor harus membuktikkan bahwa Jokowi dan keluarga betul-betul melakukan tindak pidana kolusi dan nepotisme seperti yang dituduhkan.

"Jadi hati-hati melaporkan hanya dengan asumsi tanpa bukti. Apalagi, yang dituduh adalah presiden dan keluarga. Terhadap pihak lain yang dituduh saya tidak berkomentar," tutur Juri.


Aroma Nepotisme

Presiden RI Jokowi - Gibran Rakabuming Raka (Foto: Instagram/@jokowi @gibranrakabumiing)

Pengamat Politik dari Indonesia Politik Opinion (IPO) Dedi Kurniansyah pesimis jika laporan TPDI ke KPK tersebut dapat diterima dan diusut tuntas. Ia yakin, laporan dugaan nepotisme Jokowi tersebut bernasib sama dengan laporan yang pernah ditujukan ke KPK terkait dugaan korupsi keluarga Jokowi.

"Bukan karena faktor dasar hukum yang tidak kuat, tetapi karena kekuasaan Jokowi," kata Dedi kepada Liputan6.com di Jakarta.

Meskipun sebenarnya, kata Dedi, dari sisi hukum memang ada upaya praktik nepotisme dalam satu rangkaian.

"Kita bisa membayangkan Jokowi sebagai Presiden yang punya kekuasaan mengendalikan alat negara, polisi dan militer, termasuk dalam praktik mengendalikan penyelenggara pemilu. Lalu, jika Gibran kalah dalam Pilpres ada potensi gugatan ke MK, dan sekali lagi di ruang sidang ada Anwar Usman sebagai paman yang punya akses memutuskan," kata dia.

Untuk itu, laporan ke KPK tidaklah cukup sehingga seharusnya diteruskan ke Ombudsman.

"Serta mendesak Jokowi serta Anwar Usman untuk mundur dari kekuasaanya saat ini," ujarnya.

Sementara Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing menilai TPDI salah tempat dengan melaporkan Jokowi dan keluargannya ke KPK atas tuduhan kolusi dan nepotisme. Menurutnya, selama ini KPK hanya mengusut tindak pidana korupsi, bukan kolusi dan nepotisme. 

"Selama ini saya melihat bahwa KPK hanya memproses tindak pidana korupsi, apakah nepotisme tepat dilaporkan ke KPK?Seharusnya ini diajukan melalui proses pengaduan umum kalau ada pasalnya, atau lembaga penegakan umum. Kenapa tidak dilaporkan ke polisi saja?," kata Emrus kepada Liputan6.com di Jakarta. 

Namun, kata Emrus, TPDI juga harus membuktikan adanya korupsi dalam nepotisme tersebut agar dapat diproses oleh KPK.

"Kalau nepotisme itu ada di situ, tentu buktikan korupsinya. Supaya bisa diproses KPK. Mereka akan dilihat secara tindak pidana korupsinya," ujar dia.

Meski demikian, Emrus mengakui bahwa putuan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan kepala daerah di bawah 40 tahun bisa maju di Pilpres 2024 ada aroma nepotisme. 

"Kalu dilihat tak lam setelah putusan MK itu lalu Gibran diumumkan menjadi cawapres, maka amat sulit diterima akal sehat itu tidak ada nepotismenya," kata dia.

Dia menilai keputusan MK juga diskriminatif terhadap kaum muda. Sebab, hanya kepala daerah saja yang diberi kesempatan maju pilpres diusia muda. 

"Apa hebatnya kepala daerah? Kenapa harus diberi previlage kepada kepala daerah? Harusnya diberikan kepada semua warga negara Indonesia," ujarnya.

Emrus pun berharap agar Majelis Kehormatan MK bisa memutuskan apakah hakim MK melanggar kode etik atau tidak.

"Untuk memastikan apakah ada nepotisme atau tidak, sekarang di proses di MKMK, bagaimana prosedur hal tersebut, Dewan kehormatan akan lakukan sidang etik nanti. Bisa saja hakim diputus melanggar etika, tapi keputusannya terus berlaku," ujarnya. 

Sementara Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari menilai berdasarkan undang-undang, Ketua MK Anwar Usman dan Presiden Jokowi jelas melakukan nepotisme. 

Seperti pada pasal 1 nomor 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi Nepotisme disebutkan bahwa: "Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara'. 

"Maka terang benerang apa yang dilakukan Jokowi dan Anwar Usman adalah nepotisme," kata Feri kepada Liputan6.com di Jakarta. 

Sehingga Anwar Usman dan Jokowi bisa dipidana jika terbukti melakukan nepotisme. Hal tersebut terdapat pada pasal 22 yang menyebut:

"Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)," tulis UU tersebut.

"Sebagaimana ketentuan pasal 22 dapat disanksi pidana menurut saya sudah cukup tepat jika dilihat di putusan MK lalu konsolidasi politik di Koalisi Indonesia Maju yang mencalonkan Gibran jadi cawapres," ujarnya. 

"Jadi wajar saja kalau ada upaya melaporkan, karena penyelenggara negara memang harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme," lanjut Feri. 


Hakim Mahkamah Konstitusi Bakal Diperiksa

Atas peristiwa ini Mahkamah Konstitusi (MK) membentuk Majelis Kehormatan MK untuk menindak dugaan pelanggaran etik hakim MK.

Ketua MK Anwar Usman mengaku ada beberapa laporan yang masuk terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku Hakim. Laporan ini ada usai putusan batasan usia capres-cawapres dalam gugatan Undang-Undang Pemilu.

"Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa akhir-akhir ini pemberitaan mengenai putusan MK sudah mengarah ke mana-mana atau lewat beberapa hari dan sudah ada beberapa laporan yang masuk," kata Anwar Usman.

Hakim MK Enny Nurbaningsih mengatakan, pihaknya sepakat membentuk Majelis Kehormatan MK yang beranggotakan Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih dan Wahiduddin Adams yang bersifat Ad Hoc.

"Jadi seluruh laporan yang sudah masuk ini ada 7, sudah kami klasifikasi. Untuk itu karena Hakim MK, 9 Hakim itu tidak bisa memutus, apalagi berkaitan dengan persoalan laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim," jelasnya.

"Maka kami telah melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), untuk menyegerakan membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK," sambungnya.

Enny menegaskan, jika pihaknya telah bersepakat untuk menyerahkan sepenuhnya kepada MKMK.

"Jadi kami sudah bersepakat untuk menyerahkan sepenuhnya ini kepada MKMK. Biarlah MKMK yang bekerja, sehingga kami hakim konstitusi akan konsentrasi kepada perkara yang harus kami tangani sebagaimana kewenangan dari Mahkamah Konstitusi," tegasnya.

"Kami serahkan sepenuhnya kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan terkait dugaan yang dimaksudkan tersebut," pungkasnya.

Integritas Anggota Majelis Etik MK Dipertanyakan

Namun, integritas anggota Majelis Kehormatan ini diragukan oleh Lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI).

Sebab, komposisi keanggotaan majelis etik MK saat ini mengandung potensi konflik kepentingan dari sebagian anggotanya dengan adanya nama mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.

“Jimmly pernah menemui Prabowo pada awal Mei 2023. Dari pertemuan itu, Jimly pernah mengakui dukungannya kepada Prabowo dalam Pilpres 2024. Kemudian, salah seorang anak Jimmly, yaitu Robby Ashiddiqie juga merupakan calon legislator Partai Gerindra pimpinan Prabowo,” kata Direktur Eksekutif PVRI, Yansen Dinata.

Yansen menambahkan, dalam sistem politik ketatanegaraan, MK memiliki kewenangan memutus perselisihan pemilu, termasuk jika ada pelanggaran oleh Presiden yang sedang berkuasa atau peserta Pemilu.

Apalagi pada pekan kemarin, putusan MK yang meloloskan batas usia minimal di bawah 40 tahun bisa menjadi calon presiden atau calon wakil presiden selama pernah menjadi kepala daerah seakan memuluskan langkahGibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi untuk maju berkontestasi di Pilpres 2024 bersama Prabow Subianto.

“Pemilu yang adil memerlukan kekuasaan kehakiman yang berani melakukan check and balances atas penyelenggara negara eksekutif. Dengan kondisi MK saat ini serta komposisi Majelis Kehormatan yang kental konflik kepentingan, sulit berharap adanya putusan yang berkeadilan jika ada sengketa politik peserta Pemilu,” tambah Yansen.

Yansen memperkirakan, Mahkamah Konstitusi (MK) berpotensi memicu konflik politik yang serius dalam Pemilu 2024 dan membuat demokrasi Indonesia berada di ujung tanduk.

Dia menilai, pembentukan komposisi MK itu menambah daftar pelemahan kredibilitas Mahmakah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi di Indonesia.

“Pelemahan demokrasi dan kebebasan sipil membesar jika Pilpres 2024 memenangkan dinasti. Ini bagian dari rentetan peristiwa yang menandai kemunduran demokrasi. Ini juga merupakan bentuk pewajaran praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Publik disuguhi pasangan dinasti era Soeharto dan era Jokowi,” jelas Yansen.

Dalam kesempatan yang sama, pengurus PVRI Anita Wahid menambahkan, penentuan Bacapres yang dimuluskan MK mengabaikan secara terang-terangan etika politik.

“Ini membuat demokrasi Indonesia ada di ujung tanduk. Kondisi saat ini mengkhawatirkan. Rangkap jabatan kembali lumrah. Pembuatan kebijakan terang-terangan mengabaikan masyarakat. Lembaga pemberantas korupsi dilemahkan dengan retorika anti radikalisme.” jelas Anita yang juga merupakan puteri ke-3 Presiden ke-4 KH. Abdurrahman Wahid.

Anita menyadari, budaya politik Indonesia telah lama lekat dengan KKN. Namun preseden kali ini terlalu mempertaruhkan bangunan masa depan demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, bersama PVRI, dia berusaha mencegah agar berbagai fenomena politik yang mengarah pada politik otoritarianisme dan oligarkisasi harus dicegah.

“PVRI mengajak masyarakat untuk mendukung Maklumat Juanda dan mengimbau agar masyarakat tidak takut menyuarakan pendapat kritis, serta melakukan aksi kolektif untuk melawan kemunduran demokrasi,” dia menandasi.

 

Infografis Ragam Tanggapan Jokowi dan Keluarga Dilaporkan Kolusi-Nepotisme ke KPK. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya