DPD RI Soroti Pasangan Bakal Capres-Cawapres yang Maju di Pilpres 2024

Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin memberi catatan khusus pada komposisi bakal calon presiden (capres) dan bakal calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Pilpres atau Pilpres 2024.

oleh Devira PrastiwiLiputan6.com diperbarui 24 Okt 2023, 21:51 WIB
Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin memberi catatan khusus pada komposisi bakal calon presiden (capres) dan bakal calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Pilpres atau Pilpres 2024. (Liputan6.com/Trie yas)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Sultan B Najamudin memberi catatan khusus pada komposisi bakal calon presiden (capres) dan bakal calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024.

Sultan menilai, para bakal capres-cawapres yang diusung oleh partai politik (parpol) saat ini tidak mewakili realitas ke-Indonesiaan yang plural, bahkan bisa dikatakan sangat Jawasentris.

"Kami menghormati hasil nominasi para capres dan cawapres oleh partai politik yang penuh dengan dinamika. Namun, Pertimbangan pada peta elektoral yang cenderung kuantitatif ini, tidak sepenuhnya berdampak pada kualitas dan masa depan demokrasi Indonesia," ujar Sultan melalui keterangan tertulis, Selasa (24/10/2023).

Akibatnya, lanjut dia, timbul kecurigaan dan sikap saling tuduh antar elit. Ke depannya, menurut Sultan, perlu mengubah pola nominasi bakal capres dan cawapres agar menjadi lebih inklusif serta Indonesiasentris, tanpa mensyaratkan presidensial treshold.

"Dari sisi komposisi capres dan cawapres, Pilpres 2024 tidak banyak menyatukan dan mengkonsolidasikan gagasan dan potensi anak bangsa dari semua kalangan di Daerah. Sangat wajar jika koalisi yang dibangun parpol cenderung melihat sisi untung rugi politik dan dampaknya pada hasil pemilihan anggota legislatif," papar mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu.

Kemudian, Sultan mengkritisi pertimbangan politik elit yang hanya melihat variabel jumlah suara di beberapa provinsi di Pulau Jawa. Sehingga muncul istilah 'bettle ground' yang menjadi lokus pertempuran politik elektoral.

"Menciptakan 'bettle ground' hanya akan menyebabkan meningkatnya polarisasi dan pergeseran sosial oleh banyak fraksi politik. Jawasentrisme politik dalam pilpres sangat mempengaruhi cara berpikir dan tradisi politik bangsa Indonesia yang cenderung feodal hari-hari ini", sambungnya.

 


Pentingnya Pemilu

Ilustrasi Pilpres (Liputan6.com/Trie yas)

Lebih lanjut, mantan aktivis KNPI itu menerangkan bahwa Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 akan meninggalkan banyak pengalaman berharga bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Sehingga, kata Sultan, sebagai bangsa Indonesia perlu mengevaluasi sistem demokrasi yang cenderung makin mengarah liberal saat ini.

"Selain menghilangkan syarat pencalonan atau presidential treshold (PT 20 persen), kami mengusulkan agar diterapkan sistem electoral college oleh anggota Parlemen baik anggota DPR dan DPD RI pada pemilihan presiden," papar Sultan.

"Secara pribadi juga kami pernah mengusulkan jika perlu wapres itu lebih dari satu untuk mengakomodir kewilayahan indonesia yang sangat luas dan beragam, banyak sekali ide gagasan dan opsi ke depan untuk memperbaiki sistem demokrasi kita agar makin hari makin ideal, akomodatif, dan menghindari polarisasi," sambung dia.

Bahkan lebih dari ini, lanjut Sultan, patut menjadi bahan pertimbangan dan renungan kita semua agar mengembalikan sistem pemilihan presiden ke MPR adalah salah satu opsi yang lebih ideal dan akomodatif.

"Tujuannya agar tidak di serahkan ke mekanisme pasar seperti sekarang ini karena biaya politik akhirnya makin lama mahal sekali. Sistem ini juga lebih efektif untuk mengelolah bangsa sebesar ini sesuai dgn konsep bernegara Pancasila," tutup Sultan.

Infografis Keakraban Prabowo Subianto dan Erick Thohir Jelang Pilpres 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya