Liputan6.com, Jakarta - Sambil menangis tersedu-sedu, Mahrita mengadu ke Indonesia Police Watch (IPW) terkait kasus yang menimpa suaminya Bachtiar Rahman pasca-menjual tanah miliknya sendiri di Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Rencananya perkara dengan nomor registrasi PDM-256/PLANG/07/2023 itu akan diputus majelis hakim Pengadilan Negeri Palangka Raya pada Rabu, 25 Oktober 2023.
Baca Juga
Advertisement
Bachtiar Rahman alias Haji Imron ditahan sejak 30 Mei 2023. Ia ditetapkan tersangka dengan dugaan tindak pidana penipuan dengan memberikan keterangan palsu dalam Akta Jual Beli (AJB) tanggal 4 April 2022 yang dibuat di hadapan notaris Pioni Noviari.
Kejadian bermula saat Bachtiar Rahman menyewakan lahan miliknya kepada PT STP. Perjanjian sewa itu berlaku sejak 30 September 2019 hingga 29 September 2031 berdasarkan perjanjian sewa lahan yang dibuat di hadapan notaris Irwan Junaidi.
"Pak tolong bebaskan suami saya," kata Mahrita, Senin (23/10/2023).
Menurutnya, ada empat termin pembayaran sewa lahan yang disepakati kedua pihak. Dua termin pembayaran sewa lahan berjalan lancar. Namun masalah muncul saat jatuh tempo pembayaran sewa lahan termin ketiga saat terdakwa menagih pembayaran sewa lahan kepada pihak PT STP.
Karena adanya kebutuhan yang mendesak, Bachtiar Rahman pun menawarkan secara lisan ke pihak PT STP untuk membeli lahannya tersebut. Namun pihak perusahaan menolak tawaran tersebut, hingga akhirnya pemilik menjual lahan yang disewakkan oleh PT STP kepada seorang bernama TRH.
Penjualan tercatat dalam akta jual beli antara Bachtiar Rahman dengan TRH di hadapan Notaris Pioni Noviari pada 4 April 2022. Dalam perjajian tersebut, lahan baru dapat dimiliki secara fisik oleh pembeli TRH setelah jangka waktu sewa lahan oleh STP berakhir.
Namun setelah mengetahui adanya jual beli lahan, pada 15 Juli 2022 pihak STP kemudian melaporkan Bachtiar Rahman ke Polda Kalteng dengan tuduhan pidana penipuan hingga akhirnya ia ditetapkan sebagai tersangka.
Ketua IPW Buka Suara
Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santosa, mengaku geram dengan kasus tersebut. Menurutnya, persoalan tersebut semestinya diselesaikan terlebih dahulu perkara perdatanya karena pidana merupakan ultimum remedium atau alat terakhir.
"Hanya karena pemilik tanah rakyat biasa ketika berhadapan dengan orang kuat maka hukum menjadi tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Semestinya polisi mengupayakan mediasi terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkara pidana tersebut," kata Sugeng.
Sugeng berpendapat terdakwa tidak memiliki niat jahat atau mens rea. Hal itu terlihat dari pemilik tanah yang mencoba menawarkan opsi untuk menjual tanah tersebut ke pihak penyewa yakni PT SP namun tidak ditanggapi. Hingga akhirnya jual beli itu pun dilakukan secara bersyarat kepada pihak lain dengan ketentuan bahwa tanah tersebut baru akan diserahkan hingga masa sewa berakhir.
"Hal itu sebenarnya menjadi alasan penghapus pidana," tambah Sugeng.
Sugeng juga meminta Mahrita dan anak terdakwa agar sabar dalam menghadapi kasus hukum tersebut. Ia pun berjanji akan ikut mengawal kasus tersebut. "Kasus sudah disidang semoga hakim mendengarkan hati nuraninya untuk memutuskan seadil-adilnya," pungkas Sugeng.
Advertisement