Presiden Uganda Larang Impor Pakaian Bekas dari Barat, Sebut Bekas Orang Meninggal

Presiden Uganda, Yoweri Museveni, yang berkuasa sejak tahun 1986, sejatinya sudah mengumumkan melarang impor pakaian bekas sejak Agustus.

oleh Erina Putri diperbarui 28 Okt 2023, 18:35 WIB
Warga Uganda membeli pakaian bekas di Pasar Owino, di Kampala, Uganda, 15 September 2023. (AP Photo/Hajarah Nalwadda)

Liputan6.com, Kampala - Owino Market di Kampala, ibu kota Uganda, adalah tempat di mana orang-orang kaya dan miskin berkumpul. Mayoritas pengunjung di sini mencari pakaian thrifting, yaitu pakaian yang sudah pernah dikenakan orang lain.

Meskipun bukan barang baru, harganya terjangkau, kualitasnya pun tetap baik.

Pakaian bekas ini biasanya berasal dari Eropa dan Amerika yang tidak lagi memerlukan pakaian tersebut. Bisnis membeli pakaian bekas ini dan mengekspornya ke Afrika.

Bisnis ini bernilai jutaan dolar.

Beberapa orang berpendapat bahwa permintaan akan pakaian bekas ini menunjukkan bahwa orang Afrika lebih memilih mode Barat daripada pakaian buatan Afrika.

Pada tahun 2017, Badan Amerika untuk Pembangunan Internasional berusaha untuk mencari tahu mengenai pakaian yang dibeli orang-orang di Timur Afrika.

Melansir dari VOA News, Sabtu (28/10/2023), studi mereka menemukan bahwa sekitar dua pertiga penduduk tujuh negara di Timur Afrika pernah "membeli paling tidak sebagian dari pakaian mereka dari pasar pakaian bekas."

Meskipun pakaian bekas populer, kini mereka menghadapi perlawanan yang semakin meningkat.

Presiden Uganda, Yoweri Museveni, yang berkuasa sejak tahun 1986, sejatinya telah mengumumkan pelarangan impor pakaian bekas pada bulan Agustus lalu.

Dia menyebut pakaian tersebut "dari orang yang sudah meninggal."

"Ketika orang kulit putih meninggal, mereka mengumpulkan pakaian mereka dan mengirimkannya ke Afrika," ujar Museveni.

 


Perintah Ini Belum Dijalankan

Komunitas baju Nairobi gunakan limbah pakaian bekas untuk inspirasi bajunya untuk dijual di pasar Gikomba Afrika Timur. (Ilustrasi: Pixabay/Alan Frijns).

Para pejabat perdagangan belum menjalankan pernyataan presiden tersebut, yang memerlukan tindakan hukum, seperti perintah eksekutif.

Pemerintah Afrika lainnya juga berusaha menghentikan impor pakaian bekas, dengan alasan bahwa bisnis ini seperti mengirimkan limbah ke Afrika dan merugikan industri kain lokal.

Komunitas perdagangan Afrika Timur, yang meliputi Burundi, Kongo, Kenya, Rwanda, Sudan Selatan, Tanzania, dan Uganda, telah menyarankan untuk melarang impor pakaian bekas sejak tahun 2016. Namun, negara-negara anggota belum menerapkan larangan tersebut.

Di Uganda, pernyataan presiden telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pedagang. Sebab larangan itu akan mengancam bisnis mereka. Para pedagang menjual pakaian bekas di seluruh negara dengan populasi 45 juta orang. Mereka beroperasi di pasar terbuka besar, stan di pinggir jalan, dan bahkan di pusat perbelanjaan.

Sebuah kelompok pedagang di Kampala, yang dikenal sebagai KACITA, menentang larangan pakaian bekas.

Mereka mengusulkan untuk secara bertahap mengurangi impor sehingga produsen pakaian lokal dapat memenuhi permintaan.

Beberapa pengerajin pakaian Uganda, seperti Winfred Arinaitwe, mengakui bahwa kualitas kain buatan lokal seringkali rendah. Banyak orang memilih untuk membeli pakaian bekas, katanya.

"Karena lebih tahan lama," katanya, "dan harganya terjangkau."

 


Larangan Ini Dianggap Tidak Masuk Akal

Senang sekali jika melihat hasil cucian yang bersih, rapi, dan wangi (Foto: Unsplash.com/Sarah Brown)

Di Owino Market, larangan pakaian bekas dianggap tidak masuk akal oleh banyak orang. Beberapa bahkan tidak percaya dengan ancaman presiden.

Abdulrashid Ssuuna memiliki pekerjaan untuk mengundang orang ke bisnis pakaian bekas milik saudaranya di pasar. Bagi dia, larangan akan menghancurkan sumber penghasilan.

"Seperti mereka ingin mengusir kami dari negara ini," katanya tentang perintah presiden. Dia tidak mampu menjual pakaian baru.

Pasar ini kompetitif, dengan penjual duduk di belakang tumpukan pakaian dan berseru menyambut calon pembeli.

"Jika saya membantu saudara saya menjual pakaian," katanya, "saya akan mendapat sesuatu." Ssuuna memulai pekerjaan ini setelah putus sekolah pada tahun 2020.

Pasar selalu ramai dengan pembeli, tetapi bisnis ini tidak dapat diprediksi. Pedagang harus berusaha menebak apa yang diinginkan oleh orang sebelum pedagang lain melakukannya.

Tadeo Walusimbi telah menjadi pedagang pakaian bekas selama enam tahun. Dia mengatakan beberapa hari lebih baik daripada yang lain, tetapi dia memperingatkan bahwa larangan pemerintah tidak akan mendapat dukungan.

"Ini tidak akan berhasil bagi saya dan banyak orang lainnya," ujar Walusimbi.


Ditolak Indonesia, Beli Baju Bekas Digemari Negara Maju

Para calon pembeli memilih pakaian impor bekas di Pasar Senen, Jakarta, Kamis (9/3/2023). Larangan impor baju bekas tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Beberapa waktu lalu, pada April 2023, pemerintahan Presiden Joko Widodo juga sedang gencar melawan datangnya impor baju bekas.

Argumen yang digunakan pemerintah adalah baju bekas mengganggu industri tekstil serta membawa penyakit kulit. 

Di negara maju, thrifting justru tetap digemari dengan berbagai alasan. Namun, ada perbedaan penting antara thrifting di Aussie dan Indonesia. Salah satunya karena baju bekas di Negeri Kanguru lebih terjaga kualitasnya.

Dilaporkan ABC Australia, Kamis (6/4/2023), mahasiswi Australia bernama Alma Adelaide Kalosa mengatakan hampir semua pakaian yang dikenakannya adalah baju bekas orang lain.

"Saya bisa bilang 70 persen [adalah bekas pakai] dan 30 persen yang baru itu adalah pakaian yang saya beli lima tahun yang lalu," katanya.

"Jarang banget saya beli baju yang baru sekarang."

Kebiasaan berbelanja baju bekas sudah dilakukan Alma sejak dirinya masih duduk di bangku SMP tujuh tahun yang lalu.

Karenanya, setelah pindah ke Adelaide, ibu kota Australia Selatan untuk melanjutkan kuliah, hobinya tersebut malah menjadi gaya hidup.

"Karena [harganya] lebih murah, apalagi kalau memikirkan biaya hidup yang semakin mahal," ujar mahasiswi University of South Australia tersebut.

"Saya tidak punya anggaran tambahan untuk pakaian baru, jadi saya akhirnya thrifting."

Salah satu hasil 'thrifting', atau hasil berbelanja ke toko barang bekas, kebanggaan Alma di Australia adalah sebuah 'coat' untuk musim dingin yang dibelinya hanya AU$16, atau kurang dari Rp 200 ribu.

Padahal beberapa 'coat' baru di Australia harganya bisa mencapai di atas AU$100.

Alma juga menemukan kamera film Hanimax SnapShot, yang di pasaran memiliki harga $29, namun di toko barang bekas hanya $10.

Tidak jarang Alma juga menemukan topi atau kaos yang menurutnya "one of a kind" atau jarang ditemukan.

"I like the idea of finding things, menurut saya unik saja," katanya.

Infografis film dengan tema kehancuran bumi di masa depan (Triyasni/Liputan6.com)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya