Liputan6.com, Jakarta - Suhu udara panas rupanya juga mempengaruhi kemampuan orang untuk fokus atau berkonsentrasi. Bahkan beberapa individu mengaku mengalami brain fog.
Beberapa waktu lalu, para peneliti di Boston mempelajari orang dewasa muda yang tinggal di asrama kampus selama musim panas dan suhu udara meningkat.
Advertisement
Beberapa mahasiswa memiliki alat pendingin (AC) sentral dan tidur dengan suhu 71 derajat Fahrenheit atau sekitar 21 derajat Celsius. Sementara beberapa di antara para mahasiswa itu tidur dalam kamar tanpa alat pendingin ruangan, dimana suhu ruangan berkisar pada 80 derajat Fahrenheit (26 derajat Celsius).
Setiap pagi, selama hampir dua pekan, para mahasiswa itu menjalani sejumlah tes yang dilakukan melalui ponsel mereka. Diketahui, para mahasiswa yang tidur di kamar asrama dengan suhu ruang lebih panas memiliki hasil yang jauh lebih buruk.
Materi tes yang diberikan mencakup matematika yang memerlukan penjumlahan dan pengurangan sederhana. Sementara tes kedua merupakan tes Stroop, mencampurkan warna dan kata.
"Jadi, jika saya menunjukkan kata 'merah' dalam warna biru, partisipan harus menjawab 'biru'," ungkap penulis studi Joese Guillermo Cedenio Laurent yang juag asisten profesor di Rutgers School of Public Health, dilansir NPR.
Sangat mudah untuk terkecoh jika fokus atau waktu reaksi Anda melambat, ujar Cedeno Laurent. Dan tampaknya itu merupakan dampak dari panas.
"Besaran dampaknya sungguh menakjubkan," kata Cedeno Laurent.
"Kami melihat waktu respons dan akurasi yang berkurang sekitar 10 persen," lanjutnya.
Sebagian dari efek tersebut bisa jadi disebabkan oleh gangguan tidur. Istirahat malam yang baik sulit didapat bila Anda tidak terbiasa dengan panas, sementara kondisi kurang tidur bisa mengganggu fokus dan kecepatan reaksi. Meski demikian ada sejumlah bukti yang menunjukkan jika panas itu sendiri mungkin mengganggu kognisi.
Suhu Udara Panas Berdampak pada Kinerja Pegawai Kantoran
Studi serupa yang dipublikasikan pada 2021 juga mendokumentasikan adanya penurunan kinerja kognitif pada suhu udara 79 derajat Fahrenheit atau 26 derajat Celsius.
Para peneliti mendapati bahwa ketika suhu udara meningkat, aktivitas sistem saraf parasimpatis, sistem anti-stres yang bisa membantu kita tetap tenang dan rileks menurun. Ditambah lagi, tingkat saturasi oksigen dalam darah pun ikut terpengaruh. Pada suhu udara tinggi, saturasi oksigen jadi lebih rendah. Hal ini, menurut para peneliti diperkirakan akan mengakibatkan penurunan kinerja kognitif.
Sementara penelitian lain menemukan pengaruh panas terhadap karyawan kantoran dan kinerja nilai tes standar mereka. Hal tersebut disampaikan dotker emergensi yang juga menjabat sebagai direktur solusi perawatan kesehatan di Harvard Chan Center for Climate, Health and Global Environment.
Salah satu dari sejumlah penelitian tersebut menunjukkan bahwa produktivitas di tempat kerja paling tinggi saat suhu udara berkisar di 22 derajat Celsius. Produktivitas mulai menurun ketika suhu udara berada pada pertengahan 20-an derajat Celsius. Lalu, penelitian terhdap siswa sekolah menunjukkan, mereka yang mengikuti tes standar di hari yang panas dikaitkan dengan kinerja belajar yang lebih buruk.
Dresser mengatakan, bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa panas bisa mempengaruhi kita dengan cara yang terkadang tidak dapat dipahami.
"Semua (studi) ini tampaknya menunjukkan berkurangnya kemampuan berpikir jernih, cepat dan efisien ketika tubuh dalam kondisi terlalu panas," ujarnya.
Advertisement
Suhu Panas Pengaruhi Kondisi Mental
Ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa panas bisa membuat individu lebih murung atau jengkel, sebagiannya mungkin disebabkan oleh hormon kortisol yang meningkat dan memicu respons stres.
Setelah beberapa hari terpapar suhu udara panas, tentu saja Anda akan bisa menyesuaikan diri. Tubuh kita memiliki beberapa mekanisme penanggulangan yang membantu mendinginkan suhu tubuh. Sebagai contoh, tubuh akan mulai berkeringat dan aliran darah ke kulit meningkat yang bisa membawa panas keluar dari inti tubuh.
Namun, jika mengingat gelombang panas ekstrem yang semakin sering terjadi, minat untuk lebih memahami mekanisme panas yang bisa memperburuk suasana hati atau memicu kecemasan menjadi pun semakin meningkat. Untuk ini, Dresser merujuk pada penelitian yang diterbitkan di JAMA Psychiatry pada 2022 yang menemukan adanya peningkatan kunjungan ke UGD rumah sakit karena masalah kesehatan mental pada hari-hari dengan panas ekstrem.
“Saya pikir ini konsisten dengan apa yang akan diberitahukan oleh banyak dokter kepada Anda jika mereka bekerja dalam kondisi panas,” kata Dresser.
Kesehatan mental selalu menjadi perhatian, “tetapi hal ini bisa menjadi kekhawatiran yang lebih besar saat kondisi sangat panas,” katanya.
Perlu Pemahaman yang Lebih Baik
Berbagai faktor mungkin menjelaskan bagaimana panas memperburuk risiko, selain perubahan hormon stres dan gangguan tidur. Dresser menunjukkan bahwa ada tumpang tindih antara populasi yang rentan terhadap masalah kesehatan mental dan populasi yang tidak memiliki tempat tinggal atau memiliki akses yang terputus-putus terhadap perumahan.
Dan yang jelas, jika seseorang tinggal di luar ruangan saat gelombang panas terjadi, kemungkinan besar akan terjadi dampak yang signifikan. “Mungkin sedang terjadi permasalahan sosial yang rumit,” katanya.
Pemahaman yang lebih baik tentang semua faktor ini dapat membantu merumuskan strategi untuk mencegah atau mengelola tantangan tersebut. “Saat kita belajar untuk hidup di dunia yang semakin panas dan musim panas semakin terik, kita perlu ekstra waspada untuk mengenali kapan kondisinya berbahaya dan mengambil langkah-langkah untuk tetap aman,” kata Dresser.
Advertisement
Hidrasi Jadi Solusi Kunci
Salah satu strategi kuncinya adalah tetap terhidrasi dengan baik. Ini mungkin terdengar jelas, namun dehidrasi sering terjadi di musim panas, dan banyak orang meremehkan berapa banyak cairan yang perlu mereka ganti ketika mereka banyak berkeringat atau menghabiskan waktu di luar ruangan.
Faktanya, para peserta studi di asrama perguruan tinggi mendapat manfaat dari tetap terhidrasi dengan baik. Selama penelitian, para peneliti mengirim pesan teks menanyakan semua peserta berapa banyak cairan yang mereka konsumsi, dan ternyata peserta yang tidur di kamar asrama yang panas dan minum kurang dari enam gelas cairan per hari memiliki hasil tes yang lebih buruk. Dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dehidrasi ringan sekalipun dapat mengganggu kinerja kognitif.
Ini adalah pengingat bahwa langkah sederhana – mengingat untuk minum banyak air – dapat membantu melindungi tidak hanya kesehatan fisik kita, tetapi juga kesejahteraan mental kita.