Liputan6.com, Jakarta - Kabar duka terus berdatangan di tengah berkecamuknya perang Hamas vs Israel. Salah satu imbas perang tersebut, warga Gaza di Palestina terpaksa minum air kotor dan asin karena bahan bakar yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem air telah habis.
Dikutip dari CNN, Rabu, 25 Oktober 2023, salah seorang warga Gaza, Mohammad Al Shanti terpaksa bepergian hampir 4 mil atau sekitar 6,4 kilometer ke Rumah Sakit Al-Aqsa di Gaza tengah untuk mengisi botol plastik dengan air. Itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya.
Advertisement
"Kami tidak mencuci pakaian kami, kami menabung setiap tetesnya," katanya kepada CNN.
Ia menggambarkan situasi krisis air tersebut sebagai bencana besar. Menemukan air bersih menjadi tantangan yang sangat menyita waktu dan semakin sulit bagi banyak warga Gaza.
Serangan Hamas di Israel pada 7 Oktober 2023 menewaskan sedikitnya 1.400 orang dan kelompok tersebut menyandera lebih dari 200 orang, klaim pihak berwenang Israel. Setelah serangan itu, Israel melancarkan serangan udara ke Gaza yang menurut para pejabat kesehatan Palestina telah menewaskan lebih dari 5.000 orang.
Israel juga mengumumkan "pengepungan total" terhadap wilayah tersebut, menahan pasokan air, makanan, dan bahan bakar yang penting. Israel sejak itu mengizinkan sejumlah air mengalir melalui salah satu dari tiga jaringan pipa yang mengalir ke Gaza, namun para ahli mengatakan itu hanya mencakup sebagian kecil dari kebutuhan wilayah tersebut. Sebagian besar air di Gaza berasal dari sumber lokal, namun bahan bakar yang dibutuhkan untuk memompa dan membersihkannya cepat habis.
Picu Kekhawatiran
Ketika sistem air tak berjalan, sebagian warga Gaza terpaksa minum air kotor dan asin. Kondisi ini memicu kekhawatiran akan krisis kesehatan dan ketakutan bahwa orang-orang akan meninggal karena dehidrasi. Produksi air di Gaza saat ini berada pada 5 persen dari tingkat normal, menurut laporan UNICEF pada 17 Oktober 2023, mengutip Otoritas Air Palestina (PWA).
Menurut PBB, warga Gaza kini hidup dengan kebutuhan air kurang dari 3 liter per hari. Jumlah ini jauh di bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 50 liter sebagai kebutuhan minimum wajib untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk minum, memasak, dan kebersihan.
"Satu-satunya air yang dimiliki masyarakat pada dasarnya adalah air laut yang tidak dapat diminum dan bercampur dengan limbah," kata Natasha Hall, peneliti senior Middle East Program di Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Beberapa warga terpaksa minum dari sumur pertanian, menurut organisasi nirlaba Oxfam. Mazen Ghunaim, ketua PWA, mengatakan bahwa tanpa intervensi skala besar, kekurangan air akan memicu bencana kemanusiaan.
Advertisement
Secercah Harap
Ada secercah harapan pada akhir pekan lalu ketika konvoi pertama truk bantuan yang memuat air, makanan, dan pasokan medis memasuki Gaza selatan melalui penyeberangan Rafah, di perbatasan dengan Mesir. Namun Gaza hanya menerima 60.000 liter air pada Sabtu, 21 Oktober 2023, kata Ghunaim.
Ia menambahkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pokok 2,3 juta orang yang tinggal di daerah tersebut membutuhkan 33 juta liter air setiap hari. Perwakilan WHO untuk Tepi Barat dan Gaza Richard Peeperkorn mengatakan upaya pertolongan pertama ini hanya langkah awal.
Salah satu pasokan penting yang hilang dari konvoi bantuan adalah bahan bakar. Tanpanya, sistem air di Gaza akan hancur. "Bahan bakar adalah air," kata Hall. "Menghentikan bahan bakar berarti memutus air."
Bagi warga Gaza, tidak adanya aliran listrik berarti keran air telah kering. "Kalaupun beruntung dan punya sumur, Anda tidak akan bisa memompa (air) ke lantai yang tinggi karena kami tidak punya listrik," kata Al Shanti.
Proses Buat Air Tawar dari Air Laut
Menurut Omar Shaban, pendiri dan direktur lembaga pemikir independen PalThink for Strategic Studies yang berbasis di Gaza, banyak truk air yang diandalkan warga Gaza untuk mengisi wadah air tidak dapat menjangkau rumah-rumah penduduk karena kekurangan bahan bakar dan karena pemboman.
Membuat air dapat diminum juga bergantung pada bahan bakar. Kelima instalasi pengolahan air limbah dan dua dari tiga instalasi desalinasi (proses membuat air tawar dari air asin) telah berhenti beroperasi.
Pabrik desalinasi besar terakhir yang tersisa di wilayah tersebut, yang mana telah ditutup selama hampir seminggu, kembali beroperasi pada Sabtu, 21 Oktober 2023, namun kapasitasnya kurang dari 7 persen dari kapasitas biasanya. Meskipun beberapa unit desalinasi yang lebih kecil masih beroperasi, unit-unit tersebut masih bersifat lokal dan masih jauh dari memadai. Pasokan bahan bakar Gaza bisa habis dalam waktu 48 hingga 72 jam, kata Ghunaim.
Kekhawatiran terhadap penyakit semakin meningkat. Orang-orang terpaksa mengisi wadah dan menyimpan air untuk menambah persediaan.
Advertisement