Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menggandeng Asian Development Bank (ADB) dan United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), untuk menyelenggarakan “trade and entrepreneurship e-course learning”. Pelatihan ini dilakukan untuk meningkatkan implementasi kebijakan berbasis kesetaraan gender di Indonesia.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM (SesmenKopUKM) Arif Rahman Hakim mengatakan upaya ini diambil KemenkopUKM untuk mendukung pembangunan dan transformasi ekosistem entrepreneurship, bagi UMKM terutama untuk wirausaha perempuan. Pengembangan program dan kegiatan berbasis kesetaraan gender adalah salah satu prioritas KemenKopUKM.
“Selama ini kita telah melihat bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan dalam mencapai kesetaraan gender. Data dari World Economic Forum pada Global Gender Gap Report 2022, secara umum Indonesia mendapat skor indeks ketimpangan gender 0,697 dan berada di peringkat ke-92 dari 146 negara,” kata Arif Rahman.
Baca Juga
Advertisement
Sedangkan data dari Data United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan Indeks Pemberdayaan Perempuan atau Women’s Empowerment Index (WEI) 2022 menggolongkan Indonesia ke dalam kelompok pemberdayaan perempuan rendah di dunia.
Sementara, dalam peluncuran kursus e-learning mengenai "Trade and Entrepreneurship in Indonesia from a gender and development perspective” itu, hadir berbagai pemangku kepentingan berkumpul untuk mengedepankan pentingnya kesetaraan gender dalam sektor perdagangan dan kewirausahaan.
Salah satu pemangku kepentingan yang hadir di acara tersebut adalah Dalam diskusi panel tersebut, Rinawati Prihatiningsih, Co-Partner dari PT. Infinitie Berkah Energi, wakil Ketua Umum dari IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia), dan juga Co-Chair G20 EMPOWER menyampaikan penghargaan dan dukungannya terhadap studi yang dilakukan oleh UNCTAD/ADB.
Studi tersebut menyajikan informasi yang berharga tentang dinamika perekonomian global dan regional serta tantangan yang dihadapi oleh negara-negara anggota, khususnya dalam konteks hubungan antara perdagangan dan kewirausahaan dengan perspektif gender dan pembangunan di Indonesia.
“Fakta bahwa perempuan memiliki tingkat pendidikan yang sebanding dengan laki-laki tetapi masih mengalami ketimpangan dalam lapangan pekerjaan menunjukkan tantangan nyata yang kita hadapi. Lebih jauh, meskipun Indonesia memiliki reputasi baik dalam hal kesetaraan gender dalam kewirausahaan, fakta bahwa perempuan lebih cenderung berkonsentrasi pada bisnis berorientasi pada kebutuhan dasar menggambarkan tantangan sosio-budaya dan administratif yang mereka hadapi,”katanya.
Lalu, perempuan pengusaha, banyak di antaranya adalah anggota IWAPI dan mewakili tren yang lebih luas di Indonesia, seringkali beroperasi di level mikro. Kondisi tersebut lebih cenderung karena pengaruh kuat dari budaya lokal, tradisi, dan norma gender di daerah sangat signifikan dan tidak bisa diabaikan.
Setiap industri menampilkan tantangan unik bagi perempuan. Ini bukan hanya tentang peningkatan representasi atau upah yang adil, tetapi juga mengatasi masalah mendasar seperti peralatan keselamatan yang tidak memadai atau bahkan tidak ada.
Di sektor kelapa sawit misalnya, kondisi kerja berbahaya yang dihadapi perempuan dan ketidaksetaraan dalam keikutsertaan mereka dalam koperasi menunjukkan perlunya tindakan konkret untuk memperbaiki kondisi ini. Selanjutnya, di industri pakaian jadi, meskipun perempuan mendominasi angkatan kerja, masalah pelecehan seksual dan ketidaksetaraan hak menjadi isu kritis.
“Sementara, di sektor pariwisata, perempuan menghadapi hambatan seperti terbatasnya akses ke pendidikan teknis dan sumber daya serta risiko pelecehan seksual,” katanya.
Rinawati menekankan pentingnya mendukung dan memberdayakan perempuan, terutama dalam kapasitas mereka sebagai entrepreneur. Berdasarkan data BPS 2020, terdapat sekitar 12,94 juta perempuan di Indonesia, yang berkontribusi dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan begitu banyaknya perempuan yang terlibat dalam bisnis dan perdagangan, mendukung mereka melalui kebijakan yang responsif gender bukan hanya menjadi sebuah kebutuhan, namun sebuah kewajiban.