Liputan6.com, New York - Chief Executive Officer (CEO) JPMorgan Chase Jamie Dimon dan keluarganya berecana menjual satu juta saham JPMorgan mulai 2024. Hal itu menurut pengajuan sekuritas baru.
Dikutip dari CNN, Sabtu (28/10/2023), Jamie Dimon dan keluarganya saat ini memiliki sekitar 8,6 juta saham di perusahaan tersebut. Langkah ini menandai penjualan saham pertama Dimon selama 17 tahun memimpin JPMorgan.
Advertisement
Saham JPMorgan Chase ditutup ke posisi USD 140,76 pada Kamis dengan nilai transaksi USD 141 juta. Pada Jumat, 27 Oktober 2023, saham JPMorgan turun 3,6 persen.
“Mr.Dimon tetap yakin prospek perusahaan sangat kuat dan kepemilikannya di perusahaan akan tetap sangat signifikan,” kata JPMorgan Chase dalam pengajuannya.
CNN telah hubungi JPMorgan untuk memberikan komentar.
Saham JPMorgan Chase telah naik sekitar 5 persen pada 2023 di tengah kondisi sulit bagi bank. Laju kenaikan suku bunga the Federal Reserve (the Fed) yang agresif yang dimulai pada 2022 telah mengurangi permintaan pinjaman dan memaksa bank membayar kepemilikan nasabah yang memberikan imbal hasil tinggi. Pada saat yang sama bank telah menyaksikan nilai investasi obligasi terpangkas nilainya.
JPMorgan Chase, bank AS dengan aset terbesar telah hasilkan laba lebih baik pada 2023 meski dalam kondisi penuh badai. Bank tersebut pada Mei akuisisi sebagian besar aset dari pemberi pinjaman regional First Republic yang bangkrut. Langkah itu membatu laba JPMorgan Chase melonjak 35 persen pada kuartal terakhir.
Namun, Dimon telah memperingatkan perjuangan the Federal Reserve melawan inflasi belum berakhir dan dapat melemahkan ketahanan ekonomi. Ia juga telah memberikan peringatan perang di Ukraina, Israel dan Gaza dapat berdampak buruk terhadap pasar keuangan global dan hubungan geopolitik.
“Sekarang mungkin adalah saat paling berbahaya yang pernah terjadi di dunia dalam beberapa dekade terakhir,” ujar Dimon.
Penelitian Terbaru JPMorgan Ungkap Industri Penambangan Bitcoin Berada pada Masa Sulit
Sebelumnya diberitakan, JPMorgan dalam penelitian terbaru mengungkapkan Industri pertambangan bitcoin (BTC) berada pada saat yang sulit. Ini disebabkan adanya beberapa faktor yang dapat memberatkan industri penambangan Bitcoin.
Salah satunya adalah persetujuan ETF Bitcoin yang dapat mengkatalisasi reli dengan latar belakang rekor hashrate dan pengurangan separuh hadiah blok yang mengancam pendapatan industri dan profitabilitas.
JPMorgan menjelaskan lebih menyukai operator pertambangan yang menawarkan nilai relatif terbaik mengingat hashrate yang ada, efisiensi operasional, kontrak listrik, rencana pertumbuhan yang didanai, dan likuiditas.
JPMorgan memulai cakupan penambangan bitcoin seperti CleanSpark (CLSK) dengan peringkat kelebihan berat badan dan target harga USD 5,50 atau setara Rp 86.350 (asumsi kurs Rp 15.700 per dolar AS). Marathon Digital (MARA) dengan berat badan kurang dengan target USD 5,00 atau setara Rp 78.500.
Kemudian Riot Platforms (RIOT) berada pada underweight dengan target USD 6,50 atau setara Rp 102.050, dan Cipher Mining (CIFR) pada level netral. Bank juga meningkatkan Iris Energy (IREN) menjadi kelebihan berat badan dari netral.
"CleanSpark adalah pilihan utama bank ini, menawarkan keseimbangan terbaik antara skala, potensi pertumbuhan, biaya listrik, dan nilai relatif,” kata JPMorgan dalam penelitiannya, dikutip dari Yahoo Finance, Kamis (12/10/2023).
JPMorgan juga memperkirakan peluang hadiah blok empat tahun sekitar USD 20 miliar atau setara Rp 314 triliun dengan harga bitcoin saat ini. Namun, halving blok yang diperkirakan akan terjadi pada kuartal kedua 2024, dapat berdampak pada profitabilitas.
Diperkirakan sebanyak 20 persen hashrate jaringan berisiko berkurang separuhnya karena komputer penambangan yang kurang efisien dinonaktifkan.
Advertisement
JPMorgan Prediksi Resesi Amerika Serikat Tak Terjadi pada 2023
Sebelumnya diberitakan, Ekonom JPMorgan Chase pada Jumat, 4 Agustus 2023 bergabung bersama pelaku pasar di wall street lainnya yang anggap resesi dapat dihindari.
Dikutip dari CNBC, Minggu (6/8/2023), JPMorgan mencatat meski risiko masih tinggi dan pertumbuhan ke depan akan melambat, aliran data yang keluar menunjukkan pendaratan yang melunak.
Itu terjadi meski serangkaian kenaikan suku bunga diterapkan dengan maksud untuk memperlambat ekonomi dan beberapa tantangan besar lainnya.
Ekonom JPMorgan, Michael Feroli menuturkan kepada klien kalau metrik baru-baru ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi sekitar 2,5 persen pada kuartal III 2023, dibandingkan dengan perkiraan JPMorgan sebelumnya ekspansi 0,5 persen.
“Mengingat pertumbuhan ini, kami ragu ekonomi akan segera kehilangan momentum yang cukup untuk tergelincir ke dalam kontraksi ringan pada kuartal berikutnya, seperti yang telah kami proyeksikan sebelumnya,” tulis Feroli.
Seiring dengan data positif, ia menunjuk pada penyelesaian kebuntuan pagu utang Amerika Serikat di Kongres serta pengendalian krisis perbankan pada Maret sebagai hambatan potensial yang telah dihilangkan.
Risiko Tak Sepenuhnya Hilang
Selain itu, ia mencatat peningkatan produktivitas, sebagian karena penerapan kecerdasan buatan yang lebih luas dan peningkatan pasokan tenaga kerja bahkan ketika perekrutan telah melunak dalam beberapa bulan terakhir.
Risiko Tak Sepenuhnya Hilang
Namun, Feroli menuturkan, risiko tidak sepenuhnya hilang. Secara khusus, ia mengutip bahaya kebijakan bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) yang telah menaikkan suku bunga sebanyak 11 kali sejak Maret 2022.
Kenaikan suku bunga itu telah mencapai 5,25 persen, tetapi inflasi masih bertahan jauh di atas target bank sentral 2 persen.
“Sementara resesi bukan lagi skenario kami, risiko turun masih sangat tinggi. Salah satu cara risiko ini bisa terwujud jika the Fed tidak menaikkan suku bunga,” ujar Feroli.
Advertisement