Liputan6.com, Jakarta - Untuk mencapai tujuan netralitas karbon, Tiongkok--penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia--telah meningkatkan ambisinya dan mengerahkan sumber daya yang sangat besar dalam upaya melawan perubahan iklim.
Salah satu prioritas utama kampanye ini adalah mengembangkan industri energi hidrogen yang sudah berkembang pesat, demikian seperti dikutip dari SCMP, Jumat (10/11/2023).
Advertisement
Tiongkok adalah produsen dan konsumen hidrogen terbesar di dunia, terutama karena industri kimia dan kapasitas penyulingan minyaknya yang besar. Produksi hidrogen di Tiongkok mencapai sekitar 33 juta ton pada 2021, atau sekitar 30 persen dari total produksi dunia.
Li Guohui, Wakil Presiden China Petroleum Pipeline Engineering Corporation milik negara, mengumumkan pada Mei 2023 bahwa pada tahun 2050, Tiongkok akan mengembangkan jaringan pipa hidrogen sepanjang 6.000 km (3.700 mil).
Menurut laporan yang dirilis pada Juni 2023 oleh konsultan terkemuka Deloitte, Tiongkok diperkirakan akan menjadi importir hidrogen ramah lingkungan terbesar di dunia pada 2030.
Tiongkok akan membutuhkan 13 juta ton hidrogen per tahun pada saat itu, karena banyaknya energi ramah lingkungan yang dibutuhkan untuk melakukan dekarbonisasi di berbagai sektor perekonomian.
Negara ini telah berjanji untuk mencapai puncak emisi karbon sebelum tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon sebelum tahun 2060. Ini merupakan sebuah ambisi yang memerlukan transformasi dramatis dalam industri energi.
Tiongkok mengungkapkan strategi hidrogen nasional pertamanya pada Maret 2022. Negara ini juga memaparkan rencananya dalam pengembangan sumber bahan bakar antara 2021 dan 2035.
Sektor Energi Hidrogen Tiongkok Masih Tahap Awal
Berdasarkan rencana yang telah disebutkan, pada tahun 2025, Tiongkok akan memiliki setidaknya 50.000 kendaraan listrik sel bahan bakar hidrogen dan setiap tahunnya memproduksi 100.000 hingga 200.000 ton “hidrogen hijau”.
Hidrogen hijau merupakan hidrogen yang dihasilkan dengan listrik terbarukan. Meskipun sektor energi hidrogen Tiongkok masih dalam tahap awal, penerapan teknologi ini terus berkembang.
Dalam beberapa tahun terakhir, pabrikan mobil Tiongkok telah membuat puluhan ribu mobil sel bahan bakar hidrogen. Tidak hanya itu, insinyur penerbangan juga mengembangkan pesawat bertenaga hidrogen.
Liaoning Ruixiang Aircraft, produsen pesawat Tiongkok, melakukan penerbangan demonstrasi pertama RX4HE pada 25 Maret 2023. Pesawat penumpang ini dilengkapi dengan mesin hidrogen dan memiliki jangkauan penerbangan satu jam dengan kecepatan 180km/jam (112mph).
Advertisement
Produksi Hidrogen Tiongkok Berasal dari Batu Bara dan Gas Alam
Hidrogen juga merupakan sumber energi bersih yang potensial untuk transportasi berat.
Pada Juni 2022, pembuat truk Tiongkok FAW Jiefang mengirimkan 300 kendaraan sel bahan bakar hidrogen kepada pelanggan di seluruh Tiongkok termasuk Beijing, Shanghai, dan provinsi Shanxi. Kendaraan ini dapat digunakan dalam bidang logistik dan konstruksi perkotaan.
Adapun pada Olimpiade Musim Dingin dan Paralimpiade 2022 di Beijing, lebih dari 1.000 kendaraan sel bahan bakar dan lebih dari 30 stasiun pengisian bahan bakar hidrogen digunakan.
Hal ini menjadikan Tiongkok sebagai produsen energi hidrogen terkemuka di dunia. Tiongkok juga merupakan satu-satunya negara yang memperoleh hidrogen dari batu bara dalam skala besar.
Lebih dari dua pertiga produksi hidrogen khusus Tiongkok berasal dari batu bara dan hampir sisanya berasal dari gas alam. Dengan demikian, menghasilkan emisi yang signifikan menurut laporan Badan Energi Internasional pada tahun 2022.
Badan tersebut menambahkan bahwa melengkapi fasilitas produksi hidrogen yang ada dengan teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon dapat menjadi strategi pelengkap untuk mengurangi emisi dan meningkatkan pasokan hidrogen rendah emisi.
Penggunaan AI Berpotensi Sebabkan Emisi Karbon Global
Terlepas dari itu, Alex de Vries dari VU Amsterdam School of Business and Economics memperingatkan pertumbuhan AI akan menjadikannya kontributor signifikan terhadap emisi karbon global. Demikian sebagaimana dikutip dari New Scientist, Senin (30/10/2023).
Ia juga memperkirakan, jika Google mengalihkan seluruh bisnis penelusurannya ke AI, maka Google akan menggunakan 29,3 terawatt jam per tahun atau setara dengan konsumsi listrik di Irlandia.
Bahkan, hampir dua kali lipat total konsumsi energi perusahaan sebesar 15,4 terawatt jam pada tahun 2020.
Namun, peralihan semacam itu tidak mungkin, karena memerlukan lebih dari 4 juta chip unit pemrosesan grafis (GPU) yang saat ini banyak diminati. Dengan demikian, chip GPU memiliki jumlah yang terbatas. Di samping itu, teknologi ini juga akan menelan biaya USD 100 miliar atau Rp 1,6 kuadriliun.
Di sisi lain, seiring berjalannya waktu, konsumsi energi AI akan menimbulkan masalah nyata. Nvidia, yang menjual 95 persen GPU untuk AI, akan mengirimkan 100.000 server A100-nya tahun ini. Artinya, secara kolektif dapat mengonsumsi 5,7 terrawatt jam per tahun.
Kondisi ini akan menjadi lebih buruk saat pabrik-pabrik manufaktur baru mulai beroperasi dan secara signifikan meningkatkan kapasitas produksi.
Advertisement