Liputan6.com, Aceh - "Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.” George Santayana, The Life of Reason (1905).
Mengenakan setelan kasual serta bucket hat berwarna khaki, lelaki itu menuju ke depan podium dengan gaya. Lagak lagamnya menunjukkan bahwa ia adalah pelakon kawakan.
Advertisement
Namanya adalah Fauzan Santa.
"Kisah ini terjadi pada masa operasi militer di Aceh ketika kopassus mengendalikan penjara rahasia untuk menumpas gerilyawan Aceh Merdeka," ujar Fauzan Santa.
Fauzan Santa sebentar lagi akan membacakan cerpen berjudul Salep karya Azhari Aiyub. Dikutip dari buku Cerita-Cerita Lumbung, cerpen ini sebuah antologi berisi enam cerita pendek dan dua esai penulis lintas negara.
Salep bercerita tentang Syahdi, seorang tawanan yang berhasil keluar hidup-hidup dari pos kelelawar. Pos ini merupakan 'rumah jagal' ciptaan militer yang waktu itu tersebar di banyak tempat di Aceh.
Syahdi ditawan antara Juli sampai Agustus 1993 di Lhokseumawe dalam kondisi Aceh dicabik konflik bersenjata.
"Saat Syahdi dipertemukan dengan Edi dan Edo, para interogator hanya punya satu pertanyaan, apakah dia mengenal mereka?" Fauzan Santa kini berada di akhir cerita.
Sekian detik Fauzan Santa terjeda. Suara jangkrik di tempat itu seakan ikut mengambarkan suasana batin tokoh bernama Syahdi pada detik-detik sebelum keputusan diambil.
"Tidak, aku tidak mengenal mereka," dan cerita itu pun pungkas.
Pembacaan cerpen ini memakan waktu lebih kurang satu jam lamanya.
Terlepas dari pesan moral yang terkandung di dalam cerpen tersebut, sebagai daerah yang pernah dilarung dalam operasi militer, Aceh memiliki banyak sekali situs penyiksaan.
Adapun pembacaan cerpen oleh Fauzan Santa merupakan bagian dari peluncuran dokumentasi peta digital situs penyiksaan yang membentang sepanjang provinsi itu.
Legasi untuk Generasi Lanjutan
Digelar di pelataran maktab organisasi nonpemerintah, Senin sore (30/10/2023), peluncuran ini menghadirkan Asia Justice And Rights (AJAR), KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, dan PASKA.
Keempat organisai tersebut, selama beberapa tahun terakhir telah melakukan dokumentasi dan verifikasi untuk mengembangkan data terpadu mengenai situs-situs penyiksaan di Aceh.
Dokumentasi dan verifikasi hingga kini telah mencakupi sebanyak 12 kabupaten/kota bekas wilayah konflik dengan rentang kejadian selama tiga dekade.
Saat ini, tercatat lebih dari 100 bangunan atau lokasi yang menjadi tempat penyiksaan selama periode kekerasan berlangsung di Aceh.
Seperti namanya, dengan format digital, situs-situs penyiksaan ini dapat diakses melalui sitesoftorture.asia-ajar.org.
Manajer Program LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa mengatakan bahwa pembuatan peta digital ini merupakan upaya untuk menjaga memori kolektif.
"Semacam 'harta karun' bagi orang-orang selanjutnya," kata Aulianda Wafisa, menandai dimulainya peluncuran peta digital.
"Walaupun kita paham situasi penegakan HAM di Indonesia itu masih dalam situasi yang tidak mudah, tetapi karena waktu terus berjalan cerita-cerita makin lama makin memudar, redup, bahkan mungkin bisa hilang sebagai sebuah memori kolektif," imbuhnya.
Menurut Aulianda Wafisa, penggarapan peta digital ini dimulai dengan mengidentifikasi situs-situs yang sewaktu konflik bersenjata dijadikan sebagai tempat penyiksaan.
"Baik itu antarkelompok yang sedang bertikai, maupun terhadap masyarakat sipil di sekitarnya," ujar dia.
Advertisement
160 Situs Penyiksaan Tersebar di 12 Kabupaten/Kota
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna menambahkan bahwa tahapan identifikasi pelbagai situs penyiksaan juga dilakukan dengan cara menelusuri laporan dan dokumen terkait lalu dilanjutkan dengan verifikasi.
"Baru setelahnya, ya, kasih tempat, kasih lokasi, kasih stori, foto sekarangnya di mana, gitu. Karena, tempat berpuluh-puluh tahun yang lalu, hari ini, kan berubah," kata Azharul Husna.
Tahapan selanjutnya ialah menandai lokasi dengan alat berteknologi GPS (Global Positioning System). Seperti yang disinggung Azharul Husna, situs penyiksaan ini juga dilengkapi dengan foto dan narasi yang menjelaskan peristiwa.
Aceh belakangan ini menjadi sorotan sejak Presiden Joko Widodo memilih Rumoh Geudong sebagai lokasi kick off penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang baru-baru diakui oleh negara, Aceh menyumbang tiga di antaranya, yakni Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan Jambo Keupok.
Namun, konflik bersenjata selama tiga dekade di ujung utara pulau Sumatera menyisakan banyak sekali situs penyiksaan di luar tiga kasus tersebut.
Temuan AJAR, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, dan PASKA mengungkap 160 situs penyiksaan yang berlangsung di 12 kabupaten/kota.
Rinciannya, Aceh Besar 21 titik, Aceh Utara 11 titik, Pidie 12 titik, Pidie Jaya 3 titik, Aceh Timur 18 titik, Banda Aceh 6 titik, Lhokseumawe 4 titik, Aceh Jaya 20 titik, Aceh Barat 18 titik, Bener Meriah 25 titik, dan Aceh Tengah 21 titik.
Taburan titik-titik penyiksaan itu merupakan hasil dari respons aparat keamanan Indonesia terhadap gangguan keamanan melalui operasi militer dalam kurun waktu 1990-1998.
Mendorong Pengungkapan Kebenaran
Bersandi 'Jaring Merah', Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh kala itu berlangsung di bawah Komando Resort Militer 011/Liliwangsa.
Saat itu terdapat tiga sektor daerah operasi. Yakni, sektor A/Pidie, sektor B/Aceh Utara, dan sektor C/Aceh Timur.
Setiap wilayah operasi memiliki unit-unit khusus seperti Satuan Tugas Intelijen (Satgasus), Satgas Marinir untuk mengamankan daerah pantai, dan Satuan Taktis (Sattis).
Bermunculan pula pos penjagaan yang dikenal dengan sebutan pos sattis di beberapa wilayah daerah pesisir pantai utara Aceh.
Pada pos-pos tersebut, penyiksaan menjadi metode yang diterapkan terhadap orang-orang tertuduh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau simpatisan GAM.
Country Manager Indonesia AJAR, Mulki Makmun mengatakan bahwa banyak di antara tempat penyiksaan tersebut yang awalnya merupakan bangunan pribadi atau publik, tetapi diambil alih secara sepihak oleh aparat.
"Dari angka yang sekarang 160 titik penyiksaan, itu tidak semuanya hanya pos tentara, tetapi ternyata ada menasah bahkan ada bentang alam, bahkan ada tempat penahanan detensi, ada juga rumah warga, perusahaan," jelas Mulki Makmun.
Banyak di antara bangunan-bangunan situs penyiksaan yang saat ini telah mengalami perubahan. Beberapa di antaranya, ungkap Mulki Makmun, ada yang ditelantarkan bahkan dihancurkan.
"Ada yang kembali jadi milik pribadi, ada jadi sekolah kembali, tetapi ada juga yang masih beroperasi sebagai kantor tentara atau polisi.
Penginputan titik penyiksaan ke dalam peta digital pun, lanjut Mulki Makmun, harus memastikan terdapat adanya penyiksaan berulang di lokasi terlebih dahulu.
"Mimpinya, sih, ini, modelnya open source, dan ada fitur-fitur yang masih kami develop (red: kembangkan)," kata Mulki Makmun.
Setabuhan gendang dengan Mulki Makmun, Ihmatul Hidayat dari PASKA mengatakan bahwa pihaknya akan terus mendorong data-data yang belum terinput untuk mendukung pemutakhiran peta digital.
"Kami juga masih membutuhkan waktu untuk memasukkan itu semua. Kalau di Pidie ada sekitar 37 dan di Pidie Jaya yang baru masuk itu sekitar 10," ujar Ihmatul Hidayat.
Peluncuran peta digital ini juga ditujukan untuk mendorong pengungkapan kebenaran pelbagai kasus penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.
Selain memuat kumpulan data dan informasi yang telah terverifikasi mengenai situs-situs penyiksaan, peta digital ditujukan juga untuk mendukung upaya advokasi keadilan dan pemenuhan hak korban.
Peta digital ini juga mendorong pelbagai situs penyiksaan yang tersebar di pelbagai tempat di Aceh ke dalam daftar memorabilia, guna merawat ingatan, juga memutus mata rantai kekerasan masa lalu.
Advertisement