Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat ada sejumlah faktor yang mempengaruhi penguatan mata uang dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang lain di dunia. Mulai dari pelemahan ekonomi, tingkat suku bunga acuan, hingga arus investasi yang kembali ke negara maju.
Kepala Perwakilan BI Provinsi DKI Jakarta Arlyana Abubakar mengatakan faktor penguatan dolar AS itu imbas dari kondisi global saat ini. Misalnya, perekonomian global yang tumbuh melambat seiring dengan ketidak pastian yang meningkat.
Advertisement
"Ekonomi global diperkirakan tetap kuat ditopang konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi fomestik. Itu adalah bagaiama potret daripada ekonomi Amerika," ujarnya dalam Jakarta Economic Forum 2023, di Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Sementara itu, ekonomi China juga disebut ikut melambat imbas dari penurunan konsumsi dan kinerja sektor properti. Pada saat yang sama, ketegangan geopolitik global turut mengerek harga energi dan pangan yang berpengaruh pada tingkat inflasi yang cukip tinggi.
"Dan untuk mengendalikan inflasi yang tinggi tadi, suku bunga moneter negara maju termasuk disini Federal Fed Fund Rate ini diperkirakan bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama atau higher for longer, dan perkembangan tersebut membuat pembalikan arus modal, jadi dari negara emerging market economic ke negara maju, dan tentunya ke aset yang lebih likuid," bebernya.
"Nah inilah salah satu yang mendorong penguatan dolar Amerika terhadap berbagai berbagai mata uang di dunia," tegas Arlyana.
Nilai Tukar Rupiah
Diberitakan sebelumnya, Nilai tukar rupiah pada Selasa pagi menguat sebesar 0,09 persen atau 13 poin menjadi 15.877 per dolar AS dari sebelumnya 15.890 per dolar AS.
Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra menyatakan potensi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih belum hilang kendati sempat menguat pada penutupan perdagangan Senin (30/10).
"Rupiah ditutup menguat kemarin (Senin, 30/10) terhadap dolar AS, tapi penguatan tidak jauh dari level Rp15.900 per dolar AS, sehingga ada kemungkinan potensi pelemahan rupiah masih belum hilang," ungkap dia dikutip dari Antara,Selasa (31/10/2023).
Adanya kemungkinan pelemahan rupiah dipicu antisipasi pasar terhadap jelang keputusan Bank Sentral AS dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada pekan ini.
Pengendalian inflasi dan penguatan kondisi ketenagakerjaan akan menjadi topik pembicaraan dalam pertemuan FOMC. Inflasi masih menjadi fokus karena melenceng jauh dari target 2 persen, dan para pejabat AS bakal mempertanyakan apakah kebijakan saat ini masih cukup mendorong inflasi turun atau perlu kebijakan baru.
Advertisement
Sentimen Lain
Adapun sentimen lain yang diprediksi melemahkan rupiah berasal dari eskalasi konflik antara Israel melawan Hamas (kelompok perjuangan Palestina).
Seperti diketahui, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Sabtu (28/10) mengatakan bahwa pasukan rezim Zionis Israel telah melancarkan serangan darat ke Gaza, Palestina, sebagai bagian dari "perang tahap kedua" untuk menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas, serta membebaskan para tawanan.
"Rupiah masih berpeluang kembali melemah masuk lagi ke area 15.900 dengan potensi resisten di kisaran 15.930-15.950. Sementara potensisupportdi sekitar 15.860," kata Ariston.
Sri Mulyani Tak Was-was
Nilai tukar atau kursrupiah loyo pada Rabu pagi. Rupiah melemah sebesar 0,13 persen atau 21 poin menjadi 15.870 per dolar AS dari sebelumnya 15.849 per dolar AS.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sebetulnya kondisi rupiah berada dalam posisi yang relatif baik, depresiasinya hanya 0,7 persen secara Year to Date (YTD).
"Dengan capital outflow yang cukup terjadi pada bulan September-Oktober ini maka kita lihat pergerakan nilai tukar kita sebetulnya rupiah kita dalam posisi yang relatif baik depresiasinya," kata Sri Mulyani dalam konferensi Pers APBN KiTa Oktober, Rabu (25/10/2023).
Menurutnya, banyak masyarakat Indonesia yang melihat pelemahan rupiah itu dari nominalnya terhadap US Dollar. Padahal, jika dilihat dari pergerakan nilai tukar secara ytd, depresiasinya hanya 0,7 persen.
"Meskipun orang Indonesia lihatnya nominal. Kalau kita lihat pergerakan nilai tukar year to date depresiasiny di 0,7 persen. Jadi, penyebabnya mungkin bukan rupiahnya tapi mungkin dollarnya yang menguat," ujarnya.
Alhasil dengan menguatnya US Dollar tersebut membuat banyak mata uang beberapa negara mengalami pelemahan
Advertisement