Liputan6.com, Jakarta - Seorang advokat Zico Simanjuntak melaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman karena diduga dua kali melanggar kode etik. Menurutnya, Anwar Usman secara sengaja mengulur pembentukan Dewan Etik/MKMK (Majelis Kehormatan MK) hingga belum terbentuk permanen atau ad hoc hingga hari ini.
Advertisement
"Saya melaporkan Ketua MK Anwar Usman atas dua kali pelanggaran etik yakni dalam proses pembentukan Dewan Etik dan pembentukan MKMK, yakni yang pertama secara sengaja membiarkan Dewan Etik MK mati suri dari akhir 2021 hingga awal 2023 agar laporan etik yang masuk tidak bisa diproses," kata Zico dalam sidang MKMK di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023).
"Jadi 7 September 2020 UU MK yang baru disahkan, yakni UU Nomor 7/2020. Pada UU itu sebelum disahkan memang bentuknya adalah Dewan Etik, tetapi ketika disahkan ada amanat untuk membuat MKMK," tambahnya.
Zico mendapat informasi bahwa ipar Presiden Jokowi itu yang tidak mau membentuk peraturan MK (PMK) agar MKMK tak terbentuk. Padahal banyak laporan masuk soal adanya pernikahan Anwar Usman dengan saudari Jokowi dan terkait mengadili UU Cipta Kerja.
Sehingga, dari tahun 2021 sampai 2023 tidak ada yang mengawasi MK karena tak kunjung terbentuknya MKMK.
"Padahal pada tahun 2022 ada beberapa laporan yang hendak dimajukan yaitu terkait pernikahan Anwar Usman dengan saudaranya Jokowi dan terkait Anwar Usman masih mengadili perpu Ciptaker. Tapi itu mental semua," tuturnya.
Akhirnya, Zico memperkarakan ulang masalah tersebut. Setelah persoalan itu viral, barulah MK membentuk MKMK dalam waktu singkat kurang dari seminggu.
"Tapi yang saya masalahkan adalah saya yang mendapat info, Anwar Usman lah yang secara sengaja tidak mau MK tidak ada pengawas dari 2021-2023. Dan saya sudah menulis siapa yang memberi info tersebut. Jadi MK tidak ada pengawas karena Anwar Usman menolak membuat PMK terkait MKMK untuk mengawasi MK," pungkasnya.
Masa Kerja 1 Bulan Tindaklanjuti Dugaan Pelanggaran Etik Hakim
Mahkamah Konstitusi (MK) telah membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Pembentukan MKMK tersebut untuk menindaklanjuti laporan atas dugaan pelanggaran kode etik Hakim Konstitusi.
"MK menetapkan Surat Keputusan Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Tahun 2023 tanggal 23 Oktober 2023," ujar Juru Bicara atau Jubir MK Fajar Laksono dalam keterangannya, Selasa (24/10/2023).
Dia menjelaskan, berdasarkan Surat Keputusan (SK), MK telah menunjuk tiga orang yang menjadi anggota MKMK yang akan bekerja selama satu bulan.
"Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, MKMK beranggotakan tiga orang terdiri dari Wahiduddin Adams (unsur Hakim Konstitusi), Jimly Asshiddiqie (unsur Tokoh Masyarakat), dan Bintan R. Saragih (unsur akademisi berlatar belakang bidang hukum)," ucap Fajar.
"MKMK akan bekerja selama 1 bulan, yaitu sejak 24 Oktober 2023 sampai dengan 24 November 2023," sambung dia.
Nantinya, lanjut Fajar, ketiganya akan dilantik menjadi MKMK pada hari ini Selasa (24/10/2023), sekira pukul 14.00 Wib di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pelantikan akan dilakukan Ketua MK, Anwar Usman, dan dihadiri oleh Hakim Konstitusi serta para pejabat di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK," kata dia.
Advertisement
Laporan Dugaan Pelanggaran Etik
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengatakan, ada beberapa laporan yang masuk terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku Hakim.
Laporan ini ada usai putusan batasan usia capres-cawapres dalam gugatan Undang-Undang Pemilu.
"Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa akhir-akhir ini pemberitaan mengenai putusan MK sudah mengarah ke mana-mana atau lewat beberapa hari dan sudah ada beberapa laporan yang masuk," kata Anwar Usman kepada wartawan dalam konferensi pers di Gedung MK, Jakarta, Senin 23 Oktober 2023.
Hakim MK Enny Nurbaningsih mengatakan, pihaknya pun sepakat membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Adapun itu akan diisi oleh Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih dan Wahiduddin Adams yang bersifat Ad Hoc.
"Jadi seluruh laporan yang sudah masuk ini ada 7, sudah kami klasifikasi. Untuk itu karena Hakim MK, 9 Hakim itu tidak bisa memutus, apalagi berkaitan dengan persoalan laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim," ucap Anwar Usman.
"Maka kami telah melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), untuk menyegerakan membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK," sambungnya.
Enny menegaskan, jika pihaknya telah bersepakat untuk menyerahkan sepenuhnya kepada MKMK.
"Jadi kami sudah bersepakat untuk menyerahkan sepenuhnya ini kepada MKMK. Biarlah MKMK yang bekerja, sehingga kami hakim konstitusi akan konsentrasi kepada perkara yang harus kami tangani sebagaimana kewenangan dari Mahkamah Konstitusi," tegasnya.
"Kami serahkan sepenuhnya kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan terkait dugaan yang dimaksudkan tersebut," pungkasnya.
MPR Soroti Putusan MK
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memutuskan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Diketahui, putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman itu akhirnya membuka peluang Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi bakal cawapres di Pilpres 2024
“Perkara kontroversial yang lebih nampak aspek politiknya ketimbang aspek hukum konstitusi,” kata Basarah dalam keterangannya, Selasa (17/10/2023).
Basarah menilai, apabila dicermati secara detail putusan tersebut, maka terdapat persoalan mendasar dalam putusan MK tersebut.
Menurutnya, terhadap amar putusan tersebut, ada 4 Hakim Konstitusi yang menyatakan Dissenting Opinion (pendapat berbeda) dengan menyatakan “menolak permohonan tersebut”, terdiri dari Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo.
Selain itu, terdapat 2 Hakim Konstitusi yang oleh putusan disebut memiliki concurring opinion (alasan berbeda), yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh.
“Namun, apabila dicermati lagi pendapat 2 hakim konstitusi tersebut, maka sejatinya kedua hakim konstitusi tersebut menyampaikan Dissenting Opinion, sebab kedua hakim konstitusi tersebut memiliki pendapat berbeda soal amar putusan,” kata Basarah.
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement