Liputan6.com, Washington, DC - Seorang pensiunan jenderal Angkatan Darat dari Amerika Serikat menyorot kemampuan pertahanan Hamas di tengah perang melawan Israel. Pertahanan Hamas diprediksi cukup kuat di kawasan perkotaan.
Dilaporkan VOA Indonesia, Kamis (2/11/2023), pensiunan Jenderal Angkatan Darat Robert Abrams, yang juga diwawancarai ABC, menjelaskan bahwa perang untuk menghancurkan Hamas dianggap sebagai misi “hampir mustahil" yang bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Advertisement
"Pertahanan yang akan dilakukan Hamas di kawasan perkotaan yang sangat padat, yang belum pernah kita saksikan dalam beberapa tahun terakhir, akan membutuhkan pertempuran yang sangat sengit dan sekaligus berusaha memastikan Israel tidak akan, secara tidak sengaja menarget lokasi para sandera tersebut," katanya.
Jenderal Abrams juga menguraikan hal-hal yang perlu diselesaikan setelah konflik militer berakhir.
"Hamas didirikan karena tidak adanya negara Palestina yang terpisah, sebuah solusi dua negara seperti yang dibicarakan banyak orang. Itu harus ada dalam pembahasan mengenai bagaimana akhir dari konflik ini, hal ini harus menjadi bagian (pembahasan)," tambahnya.
Sementara itu, Badan Pengungsi Palestina PBB pada Minggu menyuarakan kekhawatirannya bahwa serbuan orang-orang terhadap gudang bantuan di Gaza merupakan tanda mulai rusaknya tatanan sipil.
Peringatan PBB itu disampaikan ketika Paus Fransiskus memperbarui seruan bagi sebuah gencatan senjata di Gaza dan pembebasan para sandera, yang banyak di antaranya diyakini memiliki kewarganegaraan ganda.
Hillary Clinton Tegas Menolak Gencatan Senjata di Gaza
Mantan calon presiden Amerika Serikat, Hillary Clinton, menyerukan penolakan terhadap gencatan senjata di Gaza. Mantan menteri luar negeri AS itu berargumen bahwa gencatan senjata hanya akan menguntungkan kelompok Hamas.
"Orang-orang yang menyerukan gencatan senjata sekarang tidaklah mengerti Hamas," ujar Hillary Clinton pada acara Baker Institute, dikutip The Jerusalem Post, Selasa (31/10/2023).
"(Gencatan senjata) akan menjadi hadiah bagi Hamas karena mereka akan menggunakan waktu adanya gencatan senjata untuk membangun persenjataan mereka," jelas Hillary Clinton.
Hillary bukanlah satu-satunya tokoh politik yang menolak gencatan senjata di Gaza. Sebelumnya, Perdana Menteri UK Rishi Sunak juga menolak gencatan senjata. Ia hanya mendukung "pause yang spesifik" untuk bantuan kemanusiaan.
Pada pemilu AS 2016, Hillary Clinton dikalahkan oleh Donald Trump, meski politisi senior itu diprediksi bakal menang. Sejak saat itu, Clinton tidak lagi masuk politik praktis, sementara Trump masih ingin maju di pemilu AS 2024.
Advertisement
Sejarawan Israel Kecam Respons Barat atas Krisis Gaza
Sebelumnya dilaporkan, negara-negara Barat memberi Israel jaminan dalam melakukan genosida di Jalur Gaza. Demikian pernyataan keras dari seorang sejarawan terkemuka Israel-Inggris dan profesor emeritus hubungan internasional di Universitas Oxford Avi Shlaim yang disampaikannya dalam forum diskusi 'The War on Gaza: What's Next for Palestine?' di London, Inggris, pada Senin (30/10/2023).
Dukungan Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Uni Eropa, termasuk dukungan militer, dinilai Shlaim membuat mereka terlibat dalam pembantaian massal oleh Israel di Jalur Gaza.
"Respons Barat terhadap krisis ini adalah kemunafikan dan standar ganda yang kejam, namun kali ini sudah pada level baru. Kecintaan Barat terhadap Israel selalu menyertai, selalu bergantung pada penghapusan sejarah Palestina dan kemanusiaan," ujar Shlaim, seperti dilansir Middle East Eye, Selasa (31/10).
"Kekhawatiran mendalam terhadap keamanan Israel selalu ditegaskan kembali oleh para pemimpin Barat - namun tidak ada satupun pemikiran terkait keamanan Palestina."
Shlaim lahir pada tahun 1945 di Baghdad dari orang tua yang memiliki koneksi baik dan merupakan bagian dari minoritas Yahudi berusia ribuan tahun di Irak. Pada usia lima tahun, Shlaim terpaksa melarikan diri bersama keluarganya, menyusul pengeboman yang menargetkan orang-orang Yahudi di ibu kota Irak.
Sebagai salah satu "sejarawan baru" di Israel, Shlaim disebut adalah bagian dari kelompok yang menilai kembali sejarah negara tersebut dan sering menyoroti penindasan terhadap orang-orang Palestina.
Kemlu RI Bantah Ada Relawan Indonesia Tewas di Gaza, 10 WNI dalam Kondisi Selamat
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) membantah adanya Warga Negara Indonesia (WNI) bernama Ahmad Hasyim yang tewas saat bertugas menjadi relawan di Gaza.
"Sesuai database Kemlu mengenai WNI di Gaza, tidak ada WNI dengan nama Ahmad Hasyim," kata Direktur Pelindungan WNI Judha Nugraha melalui pesan singkat, Selasa (31/10/2023).
Korban tewas tersebut, jelas Iqbal, bukan merupakan WNI melainkan merupakan warga lokal Palestina.
Konfirmasi mengenai hal ini juga disampaikan oleh Juru Bicara Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal, yang menekankan bahwa Ahmad Hasyim bukan merupakan WNI.
"Kemlu telah melakukan klarifikasi kepada pemilik akun dan juga kepada sumber-sumber di Gaza. Terkonfirmasi bahwa relawan atas nama Ahmad Hasyim yang disebutkan di akun tersebut bukan WNI," ungkap Iqbal melalui pesan singkat.
Iqbal menjelaskan bahwa korban merupakan relawan lokal di Gaza bagi salah satu lembaga kemanusiaan di Indonesia.
"Kami ikut berduka cita dan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya almarhum," sambung Iqbal.
Konfirmasi tersebut disampaikan oleh Kemlu RI setelah beredar unggahan di akun Instagram milik Ustadz Salim A.Fillah.
"Salah satu relawan kami di garis depan gugur sebagai syahid ketika menjalankan tugas. Mari kita doakan Akhi Ahmad Hasyim seorang pemuda yang telah berkhidmat di garis depan dengan mempertaruhkan nyawa," tulis keterangan unggahan akun @salimafillah.
Advertisement