Liputan6.com, Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menanggapi banyaknya sentimen negatif yang menyebut MK sebagai Mahkamah Keluarga. Anwar menganggap MK sebagai keluarga bangsa Indonesia.
"Benar, keluarga bangsa Indonesia, nah begitu," kata Anwar Usman usai diperiksa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023).
Advertisement
Anwar tak bicara banyak terkait sidang etik MKMK yang ia jalani hari ini. Dia mengaku, pemeriksaannya hanya terkait hal-hal yang sudah ramai diperbincangkan.
"Tanya-tanya seperti yang ada di berita, itu saja. Konfirmasi," ucapnya.
Masih soal pemeriksaannya, adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu hanya menunggu hasil dari MKMK.
"Nanti tunggu hasil MKMK ya," tutupnya.
Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menggelar persidangan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman. Dalam persidangan, para praktisi hukum yang menjadi pelapor menuntut agar Anwar Usman dikenakan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat.
Anwar Usman Didesak Diberhentikan
Para praktisi hukum itu tergabung dari Constitutional and Administrative Law Society (CALS). Wakil Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH), Arif Maulana menyebut, bahwa Anwar sudah meruntuhkan marwah MK.
"Kami (menuntut) pemberhentian dengan tidak hormat kalau CALS ketua MK, karena akan meruntuhkan marwah Mk kalau dipertahankan jadi MK. Karena satu saja tujuannya adalah memperbaiki MK dengan satu yang diinginkan oleh CALS bagian tanggung jawab intelektual kami adalah pemberhentian tidak dengan hormat Pak Anwar Usman sebagai ketua Mahkamah Konstitusi," ucap Arif usai sidang MKMK di gedung MK, Jakarta, Selasa (31/10).
"Kami dari CALS yang petitumnya meminta pak ketua mahkamah konsitusi kalau memang ini terbukti, pecat, gitu ya, itu yang kami minta," sambungnya.
Advertisement
Anwar Usman Dinilai Telah Langgar Etik
Menurutnya, Anwar Usman telah melanggar kode etik berkaitan dengan dikabulkannya Putusan MK Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden/wakil presiden yang diduga membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka agar bisa ikut pilpres 2024.
"Pelanggaran berat, tapi juga adaa implikasi terhadap pelanggaran kode etik ini berkaitan dengan putusan 90 yang ini melenggangkan atau memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka untuk mencalonkan diri sebagai cawapres," tuturnya.
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber: Merdeka.com