Menlu China Wang Yi Sebut Pertemuan Xi Jinping dan Joe Biden Tak Akan Berjalan Mulus

Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi menegaskan bahwa jalan menuju pertemuan puncak (Summit) di San Francisco tidak akan berjalan mulus.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 01 Nov 2023, 18:00 WIB
Presiden AS Joe Biden berfoto dengan Presiden China Xi Jinping sebelum pertemuan di sela-sela KTT G20 di Nusa Dua, di Bali, Senin (14/11/2022). Joe Biden dan Xi Jinping bersama dengan kepala negara yang hadir di G20 akan membahas kondisi global mulai dari isu ekonomi, politik hingga kesehatan dunia. (AP/Alex Brandon)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi menegaskan bahwa jalan menuju pertemuan puncak (Summit) di San Francisco tidak akan berjalan mulus.

Pernyataan Wang Yi mengacu pada pertemuan yang direncanakan antara Presiden Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden.

Wang direncanakan bertemu Joe Biden di Washington dan setuju untuk bekerja sama.

Serangkaian keterlibatan diplomatik bilateral dalam beberapa bulan terakhir sebagian besar atas permintaan AS, tujuannya untuk menyelamatkan hubungan yang memburuk setelah AS menembak jatuh balon mata-mata milik China.

Namun dalam sambutannya pada Sabtu (28/10), Wang memperingatkan bahwa perjalanan menuju KTT tidak akan mulus dan perjalanan ke sana tidak akan dilakukan secara “autopilot”, kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.

Pernyataan tersebut disampaikannya setelah berdiskusi dengan anggota komunitas strategis AS di Washington, kata kementerian tersebut.

Bulan lalu, badan keamanan utama China menyatakan setiap pertemuan Xi-Biden di San Francisco bergantung pada AS yang "menunjukkan ketulusannya".

Wang mengatakan, China dan Amerika Serikat perlu kembali seperti yang terjadi di Bali. Kala itu keduanya bertemu di sela-sela KTT G20 di Indonesia pada November 2022.

Pada momen itu, mereka membahas Taiwan, isu persaingan AS-China, dan masalah komunikasi.

Washington dan Beijing harus mempraktikkan konsensus yang dicapai saat itu dengan menghilangkan campur tangan, mengatasi hambatan, meningkatkan konsensus dan mengumpulkan hasil nyata, kata Wang.


Pengamat: Naik Turun Hubungan AS-China, Apa Dampaknya?

Peneliti Senior dari East West Center Dr. Denny Roy menyebut hubungan kedua negara kadang baik dan buruk, namun akan selalu kembali ke tengah-tengah (Liputan6.com/Teddy Tri Setio Berty).

Beberapa tahun belakangan, hubungan Amerika Serikat dan China masa-masa berat. Terbaru, Amerika Serikat (AS) dan China pada Senin (19/6/2023), sepakat menstabilkan persaingan sengit sehingga tidak mengarah ke konflik. Hal tersebut disampaikan oleh Presiden Xi Jinping dan Menteri Luar Negeri Antony Blinken saat keduanya bertemu di Beijing.

Keduanya sama-sama menekankan pentingnya memiliki hubungan yang lebih stabil mengingat setiap konflik antara dua raksasa ekonomi akan menciptakan gangguan global.

Pandangan senada, soal pasang surut hubungan AS-China disampaikan oleh Peneliti Senior dari East West Center Dr. Denny Roy. Menurutnya, hubungan kedua negara kadang baik dan buruk, namun akan selalu kembali ke tengah-tengah

"Terkait hubungan antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok selama beberapa dekade terakhir, telah terjadi pola yang membentuk puncak dan palung. Ya, hubungan China dan AS seakan mengalami saat-saat baik dan buruk. Dan ketika itu pula terjadi waktu yang terlalu baik atau waktu yang terlalu buruk," kata Denny Roy kepada 20 jurnalis yang terpilih dalam program FPC Reporting Tour on Security and Economic Prosperity in the Indo-Pacific Region dari Kemlu Amerika Serikat, Rabu (19/7/2023).

"Meski begitu, selalu ada semacam tarikan sentrifugal kembali ke tengah. Sehingga sisi baiknya adalah di masa lalu kita dapat mengandalkan kemungkinan yang cepat atau lambat kedua negara memiliki hubungan yang konstruktif dan akan kembali ke tingkat stabilitas."

Terlepas dari itu semua, Denny Roy punya pandangan bahwa China terpaksa mengakui bahwa Amerika Serikat berada jauh di depan mereka.

"Meski begitu dapat saya katakan, cara China dan Amerika Serikat memandang satu sama lain selama beberapa dekade terakhir hingga baru-baru sangat berkaitan dengan fakta bahwa Amerika Serikat jauh di depan China, baik dalam hal kekuatan secara keseluruhan, secara ekonomi, militer, diplomasi."

"Terbalik, pandangan AS terhadap China selama tahun-tahun itu adalah penuh kesabaran dan toleransi."


Pengamat: Bentuk Kesabaran AS Terhadap China

Wakil Presiden East West Center Satu menyebut bahwa Indonesia dan ASEAN perlu ambil bagian dalam menavigasi hubungan dua kekuatan besar dunia saat ini, China dan Amerika Serikat (Liputan6.com/Teddy Tri Setio Berty)

Denny Roy menyebut, pembuat kebijakan di Amerika 20 atau 30 tahun yang lalu mengatakan bahwa China tidak melakukan apa yang kita ingin orang Amerika harapkan. Tetapi Amerika Serikat dapat bersabar, karena ini adalah periode di mana Amerika Serikat berinvestasi dalam hubungan positif dengan China ketika mereka menjadi kuat."

"Sehingga, orang Amerika berharap akan ada lebih banyak keselarasan antara cara Amerika Serikat dan China memandang dunia sehingga potensi konflik dapat diminimalkan," ujar Denny.

"Ketika China beralih dari negara yang pada dasarnya miskin menjadi negara yang pada dasarnya kaya, China dengan semangat menghubungkan dirinya dengan ekonomi kapitalis dunia sebagai cara untuk membawa dirinya ke posisi di mana mereka berpikir dapat menyelesaikan masalah di dunia."

Tetapi dengan cara itu, kata Denny, formula besar mereka mampu menciptakan kesenjangan besar dalam kekuasaan antara Amerika Serikat dan China yang pada akhirnya membuat kedua belah pihak sekarang memandang hubungan itu secara berbeda.

"Jadi dari sudut pandang Amerika, China yang sekarang menjadi negara yang sebenarnya bisa banyak merugikan kepentingan AS di kawasan dan mampu mengunci pemenuhan banyak kepentingan AS di kawasan."

Infografis Klaim China Vs Indonesia Terkait Laut China Selatan. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya