Liputan6.com, Jakarta - Di media sosial ramai seruan boikot produk pro Israel. Banyak pengguna menggunakan tagar “BDSMovement” di platform X (sebelumnya Twitter) dan TikTok.
BDSMovement itu merupakan seruan orang-orang yang menyebut merek-merek yang memiliki hubungan dengan Israel dan menyerukan boikot. McDonald’s menjadi sasaran setelah sebuah lokasi di Israel menawarkan makanan gratis untuk militer Israel, demikian dikutip dari Kanal Lifestyle Liputan6.com, Rabu (1/11/2023).
Advertisement
Demikian juga jaringan makanan cepat saji global lainnya yakni Domino’s Pizza dan Burger King. Selain itu, beberapa di antaranya memboikot Starbucks usai perusahaan itu menggungat serikat pekerja pada Oktober 2023 atas akun media sosial serikat pekerja yang mengunggah dukungan untuk warga Palestina.
Adapun demonstrasi yang diselenggarakan oleh kelompok lokal yang berafiliasi dengan BDS sedang terjadi di seluruh dunia. Adapun Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) Movement adalah gerakan protes non-kekerasan global.
Gerakan ini berupaya memakai boikot ekonomi dan budaya terhadap Israel, divestasi keuangan dari negara, dan sanksi pemerintah untuk menekan pemerintah Israel supaya mematuhi hukum internasional dan mengakhiri kebijakan kontroversial terhadap Palestina. Kebijakan tersebut digambarkan oleh beberapa pakar hak asasi manusia dan pakar hukum sebagai apartheid.
Lalu bagaimana dampak boikot produk Israel terhadap pergerakan harga saham perusahaan itu?
Dikutip dari data Google, pada pra pembukaan perdagangan, saham McDonald’s Corp (MCD) naik 0,01 persen. Saat ini, saham McDonald’s bertambah 0,78 persen ke posisi USD 262,17. Selama lima hari, saham McDonald’s melonjak 1,57 persen.
Saham Starbucks Corp melemah 0,26 persen pada pra pembukaan perdagangan ke posisi USD 92. Kini, saham Starbucks Corp merosot 0,98 persen ke posisi USD 92,24. Sementara itu, saham Starbucks turun 2,4 persen dalam lima hari.
Perusahaan Barat Hadapi Kontroversi di Tengah Perang Israel-Hamas
Sebelumnya diberitakan, Starbucks, McDonald’s dan perusahaan-perusahaan besar lainnya telah memicu kontroversi terkait dengan perang Israel-Hamas. Hal ini menjadi contoh tantangan perusahaan yang ditimbulkan oleh konflik berisiko tinggi dan bermuatan politik.
Dikutip dari laman ABC News, ditulis Rabu (1/11/2023), Starbucks menggugat serikat pekerjanya, Starbucks Workers United pada awal Oktober setelah organisasi buruh itu menggugah pesan yang menyatakan solidaritas terhadap warga Palestina di platform X yang dahulu bernama Twitter. Namun, pesan itu sudah dihapus.
Pesan dari serikat pekerja itu memicu seruan untuk memboikot Starbucks, saat beberapa pihak tampaknya salah mengira posisi serikat pekerja sebagai posisi perusahaan.
Starbucks Workers United, serikat pekerja yang mewakiliki sekitar 9.000 pekerja hapus tweet awal yang mengatakan solidaritas terhadap warga Palestina. Pekan lalu, serikat pekerja itu mengunggah pernyataan tambahan mengenai platform X yang berdiri di pihak Palestina sambil mengutuk kematian warga sipil yang tidak bersalah.
"Kami menentang kekerasan, dan setiap kematian yang terjadi akibat kekerasan adalah sebuah tragedi,”
Advertisement
Serikat Pekerja Ajukan Gugatan Balik
Serikat pekerja mengajukan gugatan balik terhadap Starbucks, menyebut gugatan itu sebagai upaya merusak serikat pekerja dan melemahkan upaya pengorganisasiannya.
Sementara itu, di McDonald’s, sebuah waralaba yang berbasis di Israel mengumumkan makanan gratis untuk anggota militer Israel yang memicu reaksi balik dari konsumen dan pesan dari waralaba lain untuk tidak melakukan aksi serupa.
Sementara itu, ratusan karyawan Google mengedarkan petisi yang mempermasalahkan surat publik yang dikeluarkan oleh CEO Sundar Pichai yang dianggap mendukung Israel, demikian dilaporkan the Washington Post.
"Kami sangat tidak setuju dengan pandangan yang diungkapkan oleh Workers United, termasuk afiliasi lokalnya, pengurus serikat pekerja dan mereka yang identifikasi diri sebagai anggota Starbucks Workers United. Tidak satu pun dari kelompok ini yang mewakili Starbucks Coffee Company dan tidak mewakili pandangan perusahaan kami, posisi dan keyakinan,” ujar Executive Vice President dan Chief Partner Officer Starbucks, Sara Kelly.
Sementara itu, kepada ABC News, Juru Bicara McDonald’s menuturkan, fokus utama perusahaan adalah menjamin kesehatan karyawan. Untuk mendukung masyarakat di wilayah tersebut, McDonalds memberikan sumbangan USD 1 juta atau sekitar Rp 15,95 miliar (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.951). Sumbangan itu dibagi rata antara Palng Merah dan Program Pangan Dunia.
Perusahaan Dapat Pukulan Keras
Ketidaksepakatan yang tajam secara nasional mengenai perang Israel-Hamas terlihat dari tanggapan terhadap pernyataan yang dibuat perusahaan-perusahaan besar dan sering kali perusahaan terkemika. Perusahaan-perusahaan mendapatkan pukulan keras dari pendukung kedua belah pihak karena sikap yang dianggap kurang bersimpati terhadap Israel dan Palestina.
Sementara itu, sejumlah eksekutif telah mengundurkan diri di tengah reaksi keras dan beberapa calon karyawan mendapatkan tawaran pekerjaan yang dibatalkan karena pernyataannya.
Kelompok militan Hamas melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 7 Oktober yang telah menyebabkan sedikitnya 1.400 orang tewas dan 4.600 orang terluka di Israel, menurut pihak berwenang Israel.
Di Gaza, lebih dari 5.000 orang tewas dan 15.200 orang terluka, menurut Otoritas Kesehatan Palestina.
Beberapa hari setelah serangan Hamas, tanggapan dari beberapa perusahaan besar sangat cepat.
"Serangan terhadap warga Sipil di Israel sangat mengejutkan dan menyaksikan untuk disaksikan. Berharap perdamaian dapat terwujud sesegera mungkin,” ujar CEO Amazon Andy Jassy pada 9 Oktober 2023.
Namun, beberapa pendukungnya menegur perusahaan-perusahaan yang tetap diam dalam beberapa hari setelah serangan tersebut.
“Berbicara tidak mengharuskan perusahaan untuk mengambil sikap terhadap konflik Israel-Palestina atau ikuti seminar mengenai politik Timur Tengah,” ujar CEO the Anti-Demation League, Jonathan Greenblatt.
Advertisement
150 Perusahaan Keluarkan Pernyataan
Secara keseluruhan, lebih dari 150 perusahaan telah mengeluarkan pernyataan yang mengutuk serangan awal oleh Hamas, menurut Profesor Manajemen dari Universitas Yale, Jeffrey Sonnenfeld.
Daftar perusahaan itu mencakup perusahaan-perusahaan terkemuka antara lain Microsoft, Goldman Sachs, JPMorgan Chase, Verizon dan Tesla.
Selain itu, beberapa eksekutif membuat pernyataan tajam yang soroti hubungan personal dengan Israel. “Saya patah hati atas kekejaman yang kita saksikan, dan selama beberapa hari terakhir, saya terus menerus teman dan kerabat di Israel,” ujar CEO Pfizer Albert Bourla.
"Saya tahu saya tidak sendirian ketika mengungkapkan keterkejutan dan kesedihan atas situasi yang sedang terjadi,” ujar dia.
Profesor Stanford University’s Graduate School of Business, Sarah Soule menuturkan, perusahaan-perusahaan yang tidak terlalu terpengaruh oleh reaksi publik telah mengutuk serangan Hamas dan mengakui sejarah panjang konflik di wilayah itu.
Ia menambahkan, tanggapan perusahaan terhadap perang Israel-Hamas menimbulkan pertanyaan tentang dampak pernyataan tersebut.
“Masalah apa yang dapat diselesaikan dengan mengeluarkan pernyataan ini,” ujar Soule.
Tuai Kritik
Beberapa pernyataan perusahaan yang mengecam Hamas telah menuai kritik dari advokat yang mengatakan kalau mereka gagal memberikan simpati atas penderitaan dan penindasan yang dialami warga sipil Palestina.
"Tidak adanya pernyataan yang mengecam taktik militer Israel atau dukungan terhadap hak-hak Palestina sangat memprihatinkan, mengingat banyak dari pemimpin perusahaan dan perusahaan mereka telah mengambil sikap yang mendukung keberagaman, kesetaraaan dan inklusi di tempat kerja,” tulis Council on American-Islamic Relation or CAIR.
Kepada ABC News, Sonnenfeld menuturkan, kekuatan relatif dari kepercayaan publik terhadap CEO memberikan kesempatan untuk berbicara mengenai isu penting. “Namun, perusahaan harus mempertimbangkan relevansi dan potensi dampak dari sebuah pernyataan terhadap isu tertentu,” kata Sonnenfeld.
“CEO memiliki peran khusus dalam masyarakat sebagai suara yang dipercaya. Beberapa perusahaan seperti waralaba makanan cepat saji, dan mungkin perusahaan dirgantara, pertahanan, mungkin ini bukan isu yang ideal bagi mereka. Perusahaan perlu memutuskan hal itu,”
Advertisement