Liputan6.com, Jakarta - Situs Kementerian Pertahanan (Kemhan) diduga menjadi korban peretasan oleh hacker, dan ramai di media sosial pada Rabu, 2 November 2023.
Informasi website Kemhan bocor ini pertama kali diungkap oleh akun analis serangan siber @stealthmole_int di platform media sosial X Twitter.
Advertisement
Hacker tersebut mengklaim, dirinya telah mencuri dan berniat untuk menjual informasi berisikan dokumen rahasia, dan akses admin ke situs Kemhan di dark web.
Menanggapi kabar tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi membantah dugaan peretasan dan kebocoran data dari situs Kemhan.
"Enggak, itu isu-isu saja. Kebocoran apa? Apa yang mau dibocorin sih," katanya saat ditemui di Kantor Kominfo, Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Menkominfo Budi menambahkan, "Yang mengerikan itu kebocoran selingkuhan."
Belum diketahui bagaimana cara pelaku menembus sistem keamanan server Kemenhan, namun @stealthmole_int menyebutkan, kemungkinan pelaku mendapatkan akses berbekal malware "Stealer".
Akun tersebut juga menjelaskan, sudah ada sekitar 1.484 informasi atau data Kemenhan bocor di dark web karena malware "Stealer" ini.
Hingga berita ini ditulis, tim Tekno Liputan6.com terus menghubungi pihak Kemenhan dan Kominfo terkait aksi peretasan oleh hacker ini.
BSSN Ungkap Hacker Pakai Metode Serangan APT untuk Kuras Uang Korban, Apa Itu?
Di sisi lain, Deputy of Cybersecurity and Cryptography for Government and Human Development dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Sulistyo, mengatakan semakin tinggi kualitas dan kuantitas transformasi digital, serangan siber justru kian tinggi.
Hal ini dibuktikan dengan adanya laporan ditemukannya 3.041.000 anomali traffic yang 3 persen di antaranya berpotensi menjadi serangan siber.
"Pelaku serangan siber menggunakan metode APT yang dapat menyebabkan kerugian besar terhadap finansial korban dan reputasi, baik aktif maupun pasif," ungkap Sulistyo dalam acara National Cybersecurity Connect 2023 di Jakarta, Kamis (26/10/2023).
Sekadar diketahui, APT atau Advanced Persistent Threat adalah metode serangan siber tingkat lanjut yang bertujuan untuk mencuri data sensitif berjangka waktu lama. Dengan target serangan meliputi bisnis kecil, bisnis menengah, hingga sistem informasi nasional.
Berkaitan dengan serangan siber ini, sejak 1 Januari 2023 hingga 23 Oktober 2023, BSSN telah mengirimkan 1.570 notifikasi serangan siber ke sejumlah lembaga di Indonesia.
Dari notifikasi yang dikirimkan, sebanyak 42 persen telah mendapatkan respons, sedangkan 58 persen lainnya belum direspons. Hal ini berkaitan dengan kesadaran terhadap adanya keamanan siber.
Advertisement
Masyarakat Harus Ada Kesamaan Mindset untuk Sadar Keamanan Siber
Untuk membangun kesadaran keamanan siber, perlu adanya kesamaan mindset, serta visi misi yang jelas.
"Setiap serangan siber hanya membutuhkan satu titik lemah. Sedangkan tim keamanan siber, membutuhkan semua lapisan untuk melakukan perlindungan dari serangan tersebut," ucap Sulistyo.
Dengan demikian, perlu adanya deteksi lebih awal sebelum ada aktivitas (serangan siber) yang masuk.
Dengan kemampuan dalam mendeteksi kemungkinan adanya serangan siber dan pembatasan akses ke semua lingkup elektronik, keamanan siber dapat ditangani dengan baik.
Keamanan Siber Jadi Tantangan Bagi Para Pemimpin Perusahaan di Era Transformasi Digital
Transformasi digital kini menjadi salah satu prioritas nasional, seiring dengan perluasan akses dan infrastruktur digital yang kian berkembang pesat.
Diungkapkan Founder and Deputy Chairman Indonesian Leader Association, Arif Ilham Adnan, transformasi digital kini mencakup berbagai sektor strategis. Mulai dari kesehatan, industri, sampai ke sumber daya mineral dan lain-lain.
Menurut Arif Ilham di acara National Cybersecurity Connect 2023, dalam era transformasi digital ini, pengembangan talenta digital dan sumber daya manusia berfokus ke digital sangat diperlukan.
Peran pemimpin pun tidak lepas dan penting dalam mendukung keberhasilan transformasi digital. Untuk itu inisiatif pemimpin jadi hal yang penting menyokong suksesnya transformasi digital di sebuah organisasi.
Namun, kata Arif Ilham, yang menjadi permasalahan adalah apakah pemimpin dapat memahami persoalan terkait transformasi digital. Menurutnya, pertanyaan ini didasarkan pada kenyataan jarak usia antara leader dan customer dalam organisasi.
“Ini yang menjadikan pemahaman terkait transformasi digital menjadi sangat kritikal,” ujar Arif Ilham.
Advertisement