Liputan6.com, Jakarta - Sebuah slogan "From the river to the sea, Palestine will be free" tiada henti disuarakan para demonstran pro-Palestina di banyak negara di dunia. Seruan ini merupakan respons pemboman tanpa henti yang dilakukan Israel di Gaza.
Gema slogan tersebut banyak dibungkam. Dikutip dari Al Jazeera, Jumat, 3 November 2023, Partai Buruh Inggris pada Senin, 30 Oktober 2023 menskors Anggota Parlemen Andy McDonald karena menggunakan frasa "between the river and the sea" dalam pidatonya di rapat umum pro-Palestina.
Advertisement
Awal November 2023, Menteri Dalam Negeri Inggris Suella Braverman menggambarkan demonstrasi pro-Palestina sebagai "pawai kebencian." Ia memperingatkan, slogan tersebut harus ditafsirkan sebagai indikasi keinginan keras untuk melenyapkan Israel.
Asosiasi Sepak Bola di Inggris juga telah melarang pemain menggunakan slogan tersebut di akun media sosial pribadi mereka. Polisi Austria mengambil sikap serupa, melarang protes pro-Palestina menyuarakan seruan tersebut.
Pihaknya juga mengklaim bahwa slogan tersebut, yang awalnya dirumuskan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), telah diadopsi kelompok bersenjata Hamas. Pihak berwenang Jerman menyatakan slogan tersebut dilarang dan dapat didakwa jika digunakan.
Mereka meminta sekolah-sekolah di ibu kota Berlin, untuk melarang penggunaan keffiyeh, syal Palestina. Lantas, bagaimana asal usul slogan itu? Usai didirikan diaspora warga Palestina pada 1964 di bawah kepemimpinan Yasser Arafat, PLO menyerukan pembentukan negara tunggal yang membentang dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania yang mencakup wilayah bersejarahnya.
Asal-usul Slogan
Perdebatan mengenai pembagian ini telah ada sebelum terbentuknya Israel pada 1948. Rencana yang diajukan setahun sebelumnya oleh PBB untuk membagi wilayah tersebut jadi sebuah negara Yahudi dan negara Palestina yang terpisah ditolak para pemimpin Arab saat itu.
Lebih dari 750 ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba, atau "bencana." Pimpinan PLO lantas menerima prospek solusi dua negara, namun kegagalan proses perdamaian Oslo pada 1993 dan upaya Amerika Serikat menengahi kesepakatan akhir di Camp David pada 2000 menyebabkan terjadinya Intifada kedua, pemberontakan massal di Palestina.
Apa arti slogan tersebut? Bagi pengamat Palestina dan Israel, penafsiran berbeda mengenai makna slogan tersebut tergantung pada istilah "bebas." Nimer Sultany, dosen hukum di School of Oriental and African Studies (SOAS) di London, mengatakan kata tersebut mengungkapkan "perlunya kesetaraan bagi semua penduduk Palestina."
Kebebasan di sini mengacu pada fakta bahwa rakyat Palestina tidak mendapat hak menentukan nasib sendiri sejak Inggris memberi hak pada kaum Yahudi untuk mendirikan tanah air nasional di Palestina melalui Deklarasi Balfour pada 1917.
"Hal ini terus menjadi inti permasalahan: penolakan yang terus-menerus terhadap warga Palestina untuk hidup dalam kesetaraan, kebebasan, dan bermartabat seperti orang lain," kata Sultany.
Advertisement
Tafsir Berbeda
Menurut dosen SOAS, slogan tersebut tidak dapat diartikan sebagai anti-Semit. "Kontroversi ini dibuat-buat untuk mencegah solidaritas Barat terhadap Palestina," ungkapnya.
Namun, para pengamat pro-Israel berpendapat bahwa slogan tersebut memiliki efek mengerikan. "Bagi warga Yahudi Israel, kalimat ini mengatakan bahwa antara Sungai Yordan dan Mediterania, akan ada satu entitas, yang akan disebut Palestina, tidak akan ada negara Yahudi, dan status Yahudi dalam entitas apapun yang muncul akan sangat tidak jelas," kata Yehudah Mirsky, seorang rabbi dan profesor Universitas Brandeis yang berbasis di Yerusalem.
Ia melanjutkan, "Kedengarannya lebih seperti sebuah ancaman daripada janji pembebasan. Hal ini tidak menandakan masa depan di mana orang-orang Yahudi dapat memiliki kehidupan yang utuh dan jadi diri mereka sendiri."
Dikatakannya, slogan tersebut mempersulit kelompok sayap kiri Israel untuk mengadvokasi dialog. Mirsky berpendapat, mereka yang meneriakkan slogan tersebut adalah "pendukung Hamas," sementara Sultany mengklaim bahwa demonstran pro-Palestina tidak boleh disamakan dengan pendukung kelompok bersenjata.
Cerita Semangka Jadi Simbol Solidaritas pada Palestina di Tengah Serangan Israel
Selain slogan tersebut, buah semangka juga muncul sebagai simbol solidaritas pada Palestina. Dikutip dari TIME, Rabu, 1 November 2023, penggunaan semangka sebagai simbol solidaritas pada Palestina bukanlah hal baru. Ini pertama kali muncul setelah Perang Enam Hari pada 1967, ketika Israel menguasai wilayah tepi barat dan Gaza, serta mencaplok bagian timur Yerusalem.
Saat itu, pemerintah Israel menjadikan pengibaran bendera Palestina di Gaza dan wilayah tepi barat sebagai pelanggaran pidana. Menghindari konsekuensi hukum, warga Palestina mulai menggunakan semangka karena, ketika dibelah, buah tersebut mengemban warna bendera nasional negara itu: merah, hitam, putih, dan hijau.
Pemerintah Israel tidak hanya menindak tegas bendera tersebut. Seniman Sliman Mansour mengatakan pada The National tahun 2021 bahwa pejabat Israel pada 1980 menutup pameran di 79 galeri di Ramallah yang menampilkan karyanya dan karya seniman lain, termasuk Nabil Anani dan Issam Badrl.
"Mereka mengatakan pada kami bahwa melukis bendera Palestina itu dilarang, (memakai) warnanya juga dilarang. Maka Issam berkata, 'Bagaimana jika saya membuat bunga berwarna merah, hijau, hitam, dan putih?' dan petugas itu menjawab dengan marah, 'Ini akan disita. Bahkan jika Anda mengecat semangka, itu akan disita,'" kata Mansour pada publikasi tersebut.
Advertisement