Putusan Batas Usia Capres-Cawapres Jadi Momentum DPR saat Bahas Revisi UU MK

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Achmad Baidowi mengatakan bahwa polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres menjadi salah satu poin pertimbangan dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

oleh Aries Setiawan diperbarui 04 Nov 2023, 18:00 WIB
Anggota DPR RI Fraksi PPP Achmad Baidowi (kedua kiri). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Achmad Baidowi mengatakan bahwa polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres menjadi salah satu poin pertimbangan dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal ini disampaikan Baidowi dalam diskusi daring bertema Konsekuensi Putusan MKMK di Jakarta, Sabtu (4/11/2023).

"Kasus yang ada pada saat ini setidaknya momentum saat Komisi III DPR RI membahas revisi UU MK," kata Baidowi seperti dilansir Antara.

Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menyatakan DPR saat ini tengah membahas perubahan keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, revisi UU MK akan memperkuat fungsi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

"Memperkuat MKMK dengan tidak mengabaikan sifat dari putusan MK yang final dan mengikat," ujar Baidowi.

Menurut Baidowi, melalui revisi UU MK ini juga akan memperkuat seleksi hakim konstitusi.

"Yakinlah dalam melakukan proses itu selalu melakukan seleksi secara ketat untuk menghasilkan orang-orang terpilih yang bagus," kata Baidowi.

Adapun putusan MK yang menuai polemik di tengah masyarakat yakni putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menetapkan batas usia capres-cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Akibat putusan kontroversial itu, sembilan hakim konstitusi kemudian dilaporkan oleh berbagai unsur masyarakat ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Saat ini MKMK telah menerima 21 laporan mengenai dugaan pelanggaran kode etik oleh sembilan hakim MK yang terlibat dalam putusan itu. Putusan atas laporan dugaan pelanggaran kode etik tersebut akan disampaikan oleh Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie pada tanggal 7 November 2023.


Putusan MK yang Beri Jalan Gibran Maju Pilpres 2024

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka mengomentasi soal putusan gugatan MK di Balai Kota Solo, Selasa (17/10).(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Mengadili mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK pada Senin (16/10/2023).

MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar Anwar.

Tak hanya itu, bahwa putusan tersebut juga berlaku pada pilpres 2024, hal itu perlu ditegaskan supaya tidak menimbulkan keraguan soal penerapan batas usia minimal capres dan cawapres yang baru saja diketok MK.

"Ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya," kata Hakim MK Guntur Hamzah dalam sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang MK pada Senin (16/10/2023).


Demokrasi Terganggu, Putusan MK Beri Celah Dinasti Politik dan Nepotisme

Presiden Jokowi berbincang dengan Ibu Negara, Iriana serta Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep sambil menunggu tamu yang pulang dari kediamannya di Jalan Kutai Utara, Solo usai prosesi siraman Kahiyang Ayu, Selasa (7/11). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, kehidupan demokrasi berada di ujung tanduk. Alasannya karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).

"Demokrasi tentu terganggu, lahirnya dinasti politik, suburnya nepotisme," kata Dedi kepada awak media, Jumat (3/10/2023).

Menurut Dedi, putusan MK membuka celah bagi tumbuh suburnya nepotisme. Lebih parah lagi, kata Dedi, MK dinilai telah merusak tatanan bernegara.

"Soal imbas putusan itu yang membuka potensi nepotisme, itu hanya bagian kecil, bagian besarnya adalah MK telah merusak tatanan yudikatif. Kerusakan ini bukan soal politik, tetapi tatanan negara ikut keropos," ungkap Dedi.

Dedi berpandangan, Ketua MK Anwar Usman layak mundur dari posisinya sebagai hakim ketua MK. Hal itu didasari pada beberapa argumen yang menunjukkan pelanggaran krusial dalam putusan MK tersebut.

"Pertama, hakim yang miliki relasi langsung dengan materi gugatan, seharusnya tidak ikut dalam merumuskan putusan. Kedua, MK tidak miliki wewenang mengubah, menambah maupun mengurangi naskah UU. MK hanya bisa membatalkan UU dan mengembalikan keputusan hukum ke DPR RI," ungkap Dedi.

 


Politikus PDIP Usul Hak Angket terhadap MK

Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Sebelumnya, anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) atas putusan batas usia capres-cawapres yang meloloskan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres.

"Mengajukan hak angket terhadap lembaga Mahkamah Konstitusi. Kita tegak lurus terhadap konstitusi kita," tegas Masinton dalam rapat paripurna DPR, Jakarta, Selasa (31/10/2023).

Masinton mengajak anggota DPR untuk membuka mata terhadap putusan MK yang dinilai janggal. Putusan itu hanya demi pragmatisme politik semata.

"Ini kita berada dalam situasi yang ancaman terhadap konstitusi kita, Reformasi 98 jelas memandatkan bagaimana konstitusi harus diamandemen UU dasar itu," ujar Masinton.

Lebih lanjut, Masinton menyinggung bahwa masa jabatan presiden telah dibatasi dengan TAP MPR Nomor 11/98 demi negara yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Maka itu, MK mengeluarkan putusan yang tidak berlandaskan kepentingan konsitusi.

"Dan kemudian berbagai produk undang-undang turunannya, tapi apa yang kita lihat, putusan MK bukan lagi berdasarkan berlandas atas kepentingan konstitusi," pungkasnya.


Konstitusi Telah Diinjak-injak demi Kepentingan Kaum Tirani

Banner Infografis Jokowi dan keluarga dilaporkan kolusi-nepotisme ke KPK. (Liputan6.com/Abdillah)

Masinton menilai putusan MK itu adalah putusan bagi kaum tirani dan bukan karena kepentingan konstitusi. Karena itu, Masinton mengajak anggota dewan lainnya untuk membuka mata bahwa konsitusi telah diinjak-injak.

"Putusan MK itu lebih pada putusan kaum tirani, saudara-saudara. Maka kita harus mengajak secara sadar dan kita harus sadar bahwa konstitusi kita sedang diinjak-injak," ujar Masinton saat rapat paripurna DPR, Selasa (31/10/2023).

Masinton mengatakan, putusan MK terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden merupakan tragedi.

"Ini kita malah mengalami satu tragedi konstitusi pasca terjadinya keputusan MK 16 Oktober lalu. Ya itu adalah tirani konstitusi," ujar Masinton Pasaribu disambut anggota dewan yang hadir.

Masinton mengingatkan bahwa konstitusi tidak boleh dipermainkan atas nama pragmatisme politik sempit yang putusan akhirnya meloloskan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. 

"Tentu bagi kita semua, bapak ibu, kita yang hadir di sini sebagai roh dan jiwa bangsa kita konstitusi harus tegak, dia tidak boleh dipermainkan atas nama pragmatisme politik sempit tersebut," ujar Masinton.

Infografis Banteng Enggak Cengeng Ditinggal Jokowi dan Keluarga (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya