Liputan6.com, Jakarta - Beberapa minggu terakhir ini merupakan masa yang sangat traumatis bagi Zaki Salameh, seorang warga Gaza yang bekerja sebagai tukang bangunan di sebuah kota Israel ketika perang pecah pada 7 Oktober 2023. Pada periode setelah serangan Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pos-pos tentara Israel dan desa-desa sekitarnya pada hari itu dan pemboman tanpa henti di Jalur Gaza oleh pasukan Israel sejak saat itu, Salameh ditangkap, disiksa, dan diinterogasi.
Dilansir dari Al Jazeera, Jumat, 3 November 2023, pria berusia 55 tahun itu mengatakan dia "sangat menyesal" bekerja di Israel. Dia menolak mengatakan lokasinya bekerja karena takut akan pembalasan dari tentara Israel. Dia adalah salah satu dari sedikitnya 18 ribu lebih warga Gaza yang memiliki izin bekerja di luar wilayah kantong tersebut.
Advertisement
Salameh mengatakan dia dan pekerja Palestina lainnya dari Jalur Gaza ditangkap dan ditandai pada 8 Oktober 2023 sebelum dibawa ke Penjara Ofer di pinggiran kota Ramallah, Tepi Barat, yang diduduki tentara Israel. Mereka dipanggil untuk diinterogasi dan disiksa dengan apa yang disebut Salameh sebagai "kursi listrik" selama beberapa hari.
"Orang Israel mengajukan pertanyaan aneh kepada kami," katanya. "Mereka ingin tahu di mana letak terowongan bawah tanah Hamas, di mana peluncur roket ditempatkan, dan bagaimana para pejuang Hamas bergerak di dalam dan sekitar Gaza."
Pihak berwenang Israel juga menginterogasi para pekerja mengenai lingkungan mereka, wilayah tempat tinggal mereka, dan siapa yang tinggal di sana. Mereka juga mengancam akan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada para pekerja Gaza tersebut.
Izin Kerja Para Pekerja Dicabut
"Mereka ingin mengetahui ide kami tentang serangan Banjir Al-Aqsa," kata Salameh, merujuk pada serangan tiba-tiba oleh Hamas yang mengakibatkan tewasnya 1.400 warga Israel.
"Beberapa pemuda mengalami penyiksaan dan perlakuan kasar dengan sangat kejam," ungkap Salameh. "Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat aneh. Orang Israel tahu identitas kami dengan jelas, dan jika kami memiliki keterkaitan dengan Hamas, kami bahkan tidak akan mendapatkan izin bekerja."
Pada Jumat pagi, 3 November 2023, militer Israel mengumumkan pembebasan 3.200 pekerja dari Gaza melalui penyeberangan selatan Karem Abu Salem, juga dikenal sebagai "Karem Shalom." Keputusan ini diambil setelah pemerintah Israel pada malam sebelumnya memutuskan untuk tidak memberikan izin kerja lagi kepada para pekerja tersebut.
"Israel telah menghentikan semua hubungan dengan Gaza," demikian pernyataan dari kantor berita pemerintah Israel pada Kamis, 2 November 2023. "Seluruh pekerja Palestina yang berasal dari Gaza tidak lagi diizinkan. Para pekerja dari Gaza yang sudah berada di Israel ketika perang pecah akan dikembalikan ke Gaza."
Warga Gaza yang memiliki izin untuk bekerja di luar wilayah kantong tersebut sering kali bekerja sebagai tukang bangunan, sementara yang lain bekerja di restoran dan pusat perbelanjaan. Pendapatan yang mereka peroleh merupakan salah satu sumber kelonggaran ekonomi setelah Israel menerapkan blokade selama 17 tahun di Jalur Gaza, yang berdampak pada tingginya tingkat pengangguran, hampir mencapai 50 persen.
Advertisement
Setiap Pekerja Diseleksi Ketat
Para pekerja yang mendapat izin tersebut melalui proses seleksi ketat, seperti pemeriksaan keamanan oleh intelijen Israel dan pasukan Israel. Artinya, setelah melalui pemeriksaan latar belakang yang sangat teliti, setiap pekerja dipastikan sebagai warga sipil yang tidak memiliki afiliasi politik di Jalur Gaza atau keterkaitan dengan kelompok bersenjata Palestina dan faksi perlawanan.
Namun, ketika Israel memulai serangan udara di Jalur Gaza beberapa waktu lalu, tentara Israel mulai mengusir pekerja asal Gaza dari tempat kerja mereka di berbagai kota di Israel.
Ribuan pekerja, termasuk Salameh, kemudian ditangkap dan dibawa ke Penjara Ofer. Sebagian dari mereka bahkan ditahan di lokasi rahasia tanpa memiliki akses komunikasi dengan keluarga mereka. Sementara yang lainnya diusir dan ditinggalkan di pos pemeriksaan di Tepi Barat yang diduduki.
Mereka kemudian mencari cara untuk kembali ke kota-kota Palestina hanya dengan pakaian yang mereka kenakan. Beberapa organisasi hak asasi manusia di Israel, seperti Gisha dan HaMoked, mengklaim bahwa sejumlah pekerja ditahan secara ilegal di fasilitas militer, yang merupakan pelanggaran hukum internasional.
Interogasi Tanpa Dasar
Organisasi-organisasi tersebut telah mengajukan petisi dan pertanyaan individu kepada otoritas Israel untuk mencari informasi tentang keberadaan para pekerja serta warga Gaza lainnya yang memiliki izin medis untuk memasuki Israel dan telah ditangkap.
Fadi Bakr, seorang pekerja yang sebelumnya bekerja di salah satu mal di Israel, kehilangan pekerjaannya pada tanggal 7 Oktober 2023 kemarin. Pria berusia 29 tahun ini telah diberikan izin kerja satu setengah tahun yang lalu dan biasanya menghabiskan seminggu bekerja di Israel sebelum kembali ke keluarganya di kota Khan Younis di selatan Gaza.
Setelah pemecatannya itu, Bakr pergi ke Tepi Barat yang diduduki dan tinggal di Hebron bersama para pekerja lainnya yang, katanya, semuanya putus asa dengan kengerian yang terjadi di Jalur Gaza.
"Saya sangat khawatir dengan anak-anak saya yang masih kecil, istri saya dan keluarga saya," katanya. "Intensitas pemboman di Gaza tidak seperti yang pernah kita lihat. Ini kejam dan brutal, dan saya hampir tidak bisa berhubungan dengan keluarga saya."
Dia mengaku sangat takut apakah nantinya bisa bertemu kembali dengan keluarganya atau tidak. "Israel menginterogasi kami siang dan malam tentang hubungan kami dengan gerakan Hamas meskipun kami tidak memiliki hubungan dengan gerakan politik apa pun. Kami hanya datang untuk bekerja."
Advertisement