Liputan6.com, Moskow - Rusia pada Minggu 5 November 2023 mengatakan pihaknya telah berhasil meluncurkan uji coba rudal balistik antarbenua, yang mampu membawa hulu ledak nuklir dari salah satu kapal selamnya.
Mengutip Channel News Asia (CNA), Minggu (5/11/2023), peluncuran rudal "Bulava" -- yang pertama dalam waktu satu tahun -- terjadi ketika Rusia meningkatkan retorika nuklirnya sejak mencabut ratifikasi perjanjian larangan uji coba nuklirnya.
Advertisement
"Kapal selam rudal strategis bertenaga nuklir baru Kaisar Alexander yang Ketiga telah berhasil meluncurkan rudal balistik antarbenua berbasis laut Bulava," kata kementerian pertahanan Rusia dalam pernyataannya.
Pihak kementerian tersebut mengklaim telah menembakkan rudal bawah laut dari lokasi yang dirahasiakan di White Sea (Laut Putih) di pantai barat lautnya, ke sasaran yang berjarak ribuan kilometer jauhnya di Semenanjung Kamchatka di timur jauh.
"Penembakan rudal terjadi dalam mode normal dari posisi di bawah air," katanya, menambahkan: "Kepala rudal tiba di area yang ditentukan pada waktu yang ditentukan."
Rudal Bulava sepanjang 12 meter dirancang untuk menjadi tulang punggung triad nuklir Moskow dan memiliki jangkauan lebih dari 8.000 km.
Negara-negara Barat menuduh Moskow menggunakan retorika nuklir yang sembrono sejak melancarkan serangan terhadap Ukraina pada Februari 2022 lalu.
Adapun diketahui bahwa Presiden Vladimir Putin awal pekan ini menandatangani undang-undang yang mencabut ratifikasi Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty (Perjanjian Larangan Uji Coba Nuklir Komprehensif) Rusia, sebuah langkah yang dikritik keras oleh Amerika Serikat.
Perjanjian yang tercetus tahun 1996 itu melarang semua ledakan nuklir, termasuk uji langsung senjata nuklir, meskipun perjanjian tersebut tidak pernah berlaku karena beberapa negara penting – termasuk Amerika Serikat dan Tiongkok – tidak pernah meratifikasinya.
Vladimir Putin Ingin Rusia Punya Stasiun Ruang Angkasa Sendiri pada 2027
Sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan pada Kamis (26/10/2023) bahwa bagian pertama stasiun orbit baru Rusia harus dioperasikan pada tahun 2027. Proyek ini dianggap Moskow sebagai pengembangan logis berikutnya dalam eksplorasi ruang angkasa setelah Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
"Ketika sumber daya Stasiun Ruang Angkasa Internasional habis, kita tidak hanya membutuhkan satu segmen, tapi seluruh stasiun untuk dapat dioperasikan," kata Putin, seperti dikutip CNA, Sabtu (28/10).
"Dan pada tahun 2027, segmen pertama harus ditempatkan di orbit."
Dalam pertemuan dengan para pejabat industri antariksa, Putin juga berjanji untuk melanjutkan misi Rusia ke Bulan, meskipun gagal melakukan penjelajahan pertama dalam 47 tahun pada bulan Agustus.
Dia mengatakan pengembangan stasiun tersebut harus berjalan "pada waktu yang tepat", dan jika tidak, program Rusia berisiko tertinggal dalam hal pengembangan penerbangan luar angkasa berawak.
Stasiun baru tersebut, sebut Putin, harus "mempertimbangkan semua pencapaian kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki potensi untuk melaksanakan tugas-tugas masa depan".
Yuri Borisov, kepala badan antariksa Rusia Roscosmos, mendukung posisi Putin sebagai sarana untuk mempertahankan kemampuan negaranya dalam penerbangan luar angkasa berawak.
"ISS semakin tua dan akan berakhir sekitar tahun 2030," kata agensi Rusia mengutip pernyataannya kepada wartawan.
"Jika kita tidak memulai pekerjaan skala besar untuk membuat stasiun orbital Rusia pada tahun 2024, kemungkinan besar kita akan kehilangan kemampuan karena kesenjangan waktu. Maksud saya adalah ISS tidak akan ada lagi dan stasiun Rusia tidak akan ada lagi, tidak akan siap."
Presiden Vladimir Putin telah berjanji untuk melanjutkan program luar angkasa Rusia meskipun digempur sanksi. Dia merujuk pada pengiriman manusia pertama ke luar angkasa oleh Uni Soviet pada tahun 1961 saat ketegangan Timur-Barat meningkat.
"Kami dibimbing oleh ambisi nenek moyang kami untuk maju, meskipun ada kesulitan dan upaya eksternal untuk mencegah kami melakukannya," kata Putin di Kosmodrom Vostochny tahun lalu.
Misi ini penting bagi sektor luar angkasa Rusia, yang didera masalah pendanaan, skandal korupsi, dan meningkatnya persaingan dari Amerika Serikat dan China, serta inisiatif swasta seperti SpaceX.
Advertisement
Rusia Klaim Sukses Gelar Latihan Serangan Nuklir Besar-besaran
Sementara itu, sebelumnya Kremlin menyebut bahwa Rusia telah melakukan latihan untuk melancarkan serangan nuklir balasan secara besar-besaran.
"Latihan militer tersebut menyampaikan respons terhadap serangan nuklir musuh," kata Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu, seperti dikutip BBC, Kamis (26/10/2023).
Pernyataan Kremlin menyebut bahwa pihaknya telah melakukan "peluncuran praktis rudal balistik dan jelajah".
"Sebuah rudal balistik antarbenua Yars ditembakkan dari lokasi uji coba di timur jauh Rusia, dan rudal lainnya ditembakkan dari kapal selam bertenaga nuklir di Laut Barents," bunyi pernyataan itu.
Dalam siaran TV pemerintah, Shoigu terlihat menyampaikan soal latihan tersebut kepada Presiden Rusia Vladimir Putin.
"Latihan tahun ini melibatkan serangan nuklir besar-besaran oleh pasukan ofensif strategis sebagai respons terhadap serangan nuklir musuh", lapor Shoigu kepada Putin.
Pihak Kementerian Pertahanan Rusia juga turut merilis rekaman latihan itu.
Uji coba terbaru ini akan dilihat sebagai unjuk kekuatan yang bertepatan dengan pembatalan ratifikasi perjanjian larangan uji coba nuklir internasional oleh Moskow.
Latihan nuklir besar-besaran ini dilakukan ketika parlemen Rusia mendukung penarikan ratifikasi Moskow terhadap perjanjian global yang melarang semua pengujian fisik hulu ledak nuklir.
Pihak parlemen menyelesaikan pengesahan undang-undang yang menarik ratifikasi perjanjian tersebut oleh Rusia pada Rabu (25/10).
Putin meminta para menteri untuk mendukung perubahan tersebut untuk mencerminkan posisi Amerika Serikat, yang menandatangani tetapi tidak pernah meratifikasi Perjanjian Larangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBT).
CTBT, yang disepakati pada tahun 1996, melarang "ledakan uji senjata nuklir atau ledakan nuklir lainnya" di mana pun di dunia.
Klaim Uji Coba Rudal Jelajah Bertenaga Nuklir
Sebelumnya, Putin juga mengklaim Rusia telah mengadakan uji coba terakhir yang berhasil terhadap rudal jelajah bertenaga nuklir.
Pengakuan Putin tersebut muncul setelah juru bicaranya menolak laporan New York Times bahwa pengujian senjata, yang dikenal sebagai Burevestnik, akan segera dilakukan.
Senjata eksperimental tersebut, yang pertama kali diumumkan pada tahun 2018, dipuji karena memiliki potensi jangkauan yang tidak terbatas. Namun, hanya sedikit yang diketahui secara resmi mengenai kemampuannya dan ada laporan bahwa pengujian sebelumnya telah gagal.
Advertisement