Liputan6.com, Gaza - Beirut Abu Shamala lahir pada 4 Agustus 2020 di Gaza, ratusan kilometer jauhnya dari ibu kota Lebanon. Pada hari yang sama, sebuah ledakan mengguncang Beirut, menyebabkan kerusakan besar di jantung kota.
Orang tua bayi tersebut pun memutuskan menamainya Beirut untuk menghormati kota itu, penduduknya, dan lebih dari 200 korban tewas akibat ledakan. Demikian seperti dilansir Middle East Eye, Senin (6/11/2023).
Advertisement
Dalam nasib yang kejam, Beirut sendiri terbunuh tiga tahun kemudian dalam sebuah ledakan, ketika rudal Israel menghantam rumahnya di Khan Younis. Padahal, kota yang terletak di Jalur Gaza selatan itu telah ditetapkan sebagai "zona aman" oleh Israel sendiri.
Militer Israel selama berminggu-minggu telah memperingatkan masyarakat di Gaza utara untuk pindah ke selatan atau berisiko dibom. Namun, faktanya, tidak ada satu pun sudut di Gaza yang aman dan Beirut termasuk di antara 4.800 anak-anak yang terbunuh sejak 7 Oktober.
Dikutip dari The Guardian, otoritas kesehatan Gaza, wilayah yang dikuasai Hamas, per Minggu (5/11) mengumumkan bahwa total warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel mencapai 9.770 orang.
Sementara itu, setidaknya 1.400 orang tewas dalam serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober dan lebih dari 200 orang ditawan.
Satu Anak Terbunuh Setiap 10 Menit
Berita kematian Beirut dan kisahnya dengan cepat menyebar ke seluruh dunia Arab, khususnya di Lebanon. Puluhan orang menggunakan media sosial untuk mengungkapkan kesedihan dan duka mereka atas berpulangnya Beirut.
"Di Gaza, satu anak terbunuh setiap 10 menit," kata Direktur Save the Children untuk wilayah Palestina Jason Lee kepada The Washington Post.
"Save the Children memperkirakan sekitar 1.000 anak masih terjebak di bawah reruntuhan."
Kru pertahanan sipil di Gaza mengungkapkan kepada Middle East Eye bahwa kehancuran begitu luas dan pengeboman terjadi terus-menerus, sehingga mereka terpaksa meninggalkan mayat-mayat di bawah reruntuhan dan hanya mengerahkan upaya mereka untuk mengevakuasi orang-orang yang masih hidup.
Pertahanan sipil memperkirakan terdapat ratusan orang tewas di bawah bangunan yang runtuh.
Beirut diberi nomor 251 ketika Kementerian Kesehatan Palestina merilis nama-nama mereka yang terbunuh antara tanggal 7 dan 26 Oktober.
Beberapa orang menulis di media sosial bahwa Beirut dan anak-anak Palestina lainnya yang terbunuh tidak boleh dikenang dengan angka, dan kisah-kisah mereka harus diceritakan serta diingat selamanya.
"Beirut Abu Shamala adalah seorang anak cantik dari Gaza, dia dinamai demikian karena dia lahir pada hari ledakan Beirut pada tanggal 4 Agustus. Israel membunuhnya. #Gaza_Genosida," tulis pemilik akun @MalekNetero
Advertisement
Gencatan Senjata Segera
Hingga detik ini, seruan gencatan senjata bergema di penjuru dunia agar akses kemanusiaan dapat menjangkau masyarakat Gaza yang membutuhkan, menyelamatkan nyawa mereka, dan mencegah penderitaan lebih lanjut. Namun, Israel bergeming karena menilai gencatan senjata sementara akan menguntungkan Hamas.
"Ribuan anak dilaporkan tewas dan ribuan lainnya terluka. Anak-anak dan keluarga di Gaza tidak mendapatkan akses terhadap air, makanan, obat-obatan, dan kebutuhan penting lainnya, termasuk akses aman ke rumah sakit, menyusul meningkatnya permusuhan," kata UNICEF dalam sebuah pernyataannya pekan lalu.
"Dampak yang ditanggung anak-anak dan komunitas mereka akibat meningkatnya kekerasan akan ditanggung oleh generasi mendatang."