Liputan6.com, Gaza - Kantor PBB di Jenewa, Swiss, menguraikan skala mengerikan serangan Israel terhadap Gaza dengan mengutip laporan Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA).
"Rata-rata, satu anak terbunuh dan dua anak terluka setiap 10 menit selama perang di #Gaza, lapor UNRWA.
Advertisement
Anak-anak #BUKANTARGET."
Hingga berita ini diturunkan, total warga Palestina di Gaza yang tewas akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023 menurut otoritas kesehatan Gaza mencapai 10.022, di mana 4.104 di antaranya adalah anak-anak. Demikian seperti dilansir The Guardian, Senin (6/11).
Pada Jumat (3/11), Direktur UNRWA Thomas White mengungkap hal yang tidak kalah memilukan, yaitu rata-rata warga Palestina di Gaza hidup dari dua potong roti yang terbuat dari tepung yang ditimbun PBB.
White mendefinisikan Gaza sebagai panggung kematian dan kehancuran. Tidak ada tempat aman di Gaza, kata dia, orang-orang mengkhawatirkan kehidupan mereka, masa depan mereka, dan kemampuan mereka untuk memberi makan keluarga.
Seorang film-maker di Gaza, Bisan Owda, menegaskan bahwa bantuan kemanusiaan yang dikabarkan telah melintasi Rafah tidak menjangkau warga di Gaza utara, tempatnya berada saat ini.
"Bantuan kemanusiaan tidak mencapai wilayah utara, mereka ke selatan ... Kebanyakan orang berada di utara. Kami butuh bahan bakar, kamu butuh pasokan medis, kami butuh makanan ... Kami lapar, kami seharusnya makan sehari sekali, tapi kali ini bahkan kami tidak bisa makan sekalipun. Eksistensi kami tidak ada nilainya, uang kami tidak ada nilainya ... tidak ada apapun," ungkap Bisan.
UNRWA, mendukung sekitar 89 toko roti di seluruh Gaza, dengan tujuan memberikan roti kepada 1,7 juta orang di wilayah kantong yang dikuasai Hamas tersebut. Namun, kata dia, sekarang bahkan orang-orang tidak hanya mencari roti, tapi juga air.
Wakil koordinator PBB untuk Timur Tengah, yang juga koordinator kemanusiaan untuk wilayah Palestina, Lynn Hastings menuturkan bahwa hanya satu dari tiga jalur pasokan air dari Israel yang beroperasi.
"Banyak orang bergantung pada air tanah yang payau," kata dia, dikutip dari AP.
Gaza Sekarat
Kepala Urusan Bantuan Kemanusiaan PBB Martin Griffiths mengungkapkan bahwa negosiasi intensif sedang dilakukan antara pihak berwenang dari Israel, Mesir, Amerika Serikat (AS), dan PBB mengenai izin masuk bahan bakar ke Gaza.
Bahan bakar, tegas Griffiths, sangat penting untuk operasional institusi, rumah sakit, dan distribusi air serta listrik.
Menggemakan pernyataan Griffiths, Hastings mengatakan, "Generator cadangan, yang sangat penting untuk menjaga rumah sakit, pabrik desalinasi, fasilitas produksi makanan dan layanan penting lainnya satu per satu berhenti beroperasi karena kehabisan pasokan bahan bakar."
Tidak kalah penting adalah pasokan gas yang dibawa ke Gaza dari Mesir oleh pihak swasta sebelum perang Hamas Vs Israel meletus semakin menipis.
"Organisasi bantuan seperti UNRWA tidak akan bisa turun tangan dan meniru jaringan distribusi yang dilakukan sektor swasta untuk barang penting ini," tutur White.
Hampir 600.000 orang, kata White, berlindung di 149 fasilitas UNRWA, di mana besar adalah sekolah. Namun, diakuinya bahwa pihaknya telah kehilangan kontak dengan banyak orang di Gaza utara, tempat Israel melakukan operasi darat dan udara yang intens pasca serangan Hamas 7 Oktober.
Rata-rata 4.000 pengungsi di Gaza tinggal di sekolah tanpa sumber daya untuk menjaga sanitasi yang layak.
"Kondisinya sangat menyedihkan, di mana perempuan dan anak-anak tidur di ruang kelas dan laki-laki tidur di luar, di tempat terbuka," ungkap White.
PBB tidak bisa memberi mereka keamanan, tegas White, sambil merujuk pada lebih dari 50 fasilitas UNRWA yang terdampak konflik, termasuk lima yang terdampak langsung.
"38 orang tewas di tempat penampungan kami. Saya khawatir dengan pertempuran yang terjadi di wilayah utara saat ini, jumlah tersebut akan bertambah secara signifikan," ujarnya.
Advertisement
PBB Tak Berdaya
Griffiths membeberkan bahwa 72 staf UNRWA tewas sejak 7 Oktober.
"Saya pikir ini adalah jumlah tertinggi staf PBB yang hilang dalam konflik," kata Griffiths.
"Total lebih dari 9.000 orang yang terbunuh di Gaza adalah empat kali lebih banyak dibandingkan konflik 50 hari antara Israel dan Hamas di Gaza pada tahun 2014 ketika lebih dari 2.200 warga Palestina terbunuh."
Griffiths menambahkan bahwa jumlah korban sebenarnya hanya akan muncul setelah puing-puing di Gaza dibersihkan. Dia menyerukan jeda kemanusiaan demi memungkinkan bantuan sampai ke tangan yang membutuhkan.
Di lain sisi, Griffiths mendesak pula pembebasan segera sandera oleh Hamas dan perlindungan seluruh warga sipil oleh kedua belah pihak sebagaimana yang diwajibkan berdasarkan hukum kemanusiaan internasional.
Namun, desakan Griffiths dikritik oleh Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour. Pasalnya, alih-alih menggunakan terminologi gencatan senjata, Griffiths menyuarakan jeda kemanusiaan, istilah yang dipilih oleh AS.
"Itu berarti, Israel terus membunuh warga Palestina, namun sesekali memberi kami waktu beberapa jam untuk mendapat makanan dan barang lainnya," sebut Mansour.
Seperti halnya Israel, AS menentang gencatan senjata karena menilai hal itu dapat menguntungkan Hamas. Dan Washington memilih memakai istilah jeda kemanusiaan untuk mengizinkan bantuan masuk.
Mansour menggarisbawahi bahwa gencatan senjata sangat penting untuk menyelamatkan nyawa.
"Hampir 50 persen dari seluruh bangunan di Jalur Gaza telah dihancurkan oleh Israel dan situasi yang dihadapi warga Palestina tidak lagi dapat dipahami dan digambarkan," imbuhnya. "Hal ini mengharuskan kita semua melakukan segala yang kita bisa untuk menghentikannya."