Rupiah Melemah Tipis Dampak Investor Jalankan Aksi Short-Covering

Pada penutupan perdagangan Senin kemarin, rupiah menguat 189 poin atau 1,21 persen menjadi 15.539 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar 15.728 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 07 Nov 2023, 10:45 WIB
Pada Selasa (7/11/2023), nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta melemah sebesar 0,22 persen atau 34 poin menjadi 15.573 per dolar AS dari sebelumnya 15.539 per dolar AS. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah tipis pada perdagangan Selasa ini. Pelemahan rupiah ini karena pelaku pasar melakukan short-covering setelah rupiah menguat tajam pada perdagangan sebelumnya atau pada Senin kemarin. 

Pada Selasa (7/11/2023), nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta melemah sebesar 0,22 persen atau 34 poin menjadi 15.573 per dolar AS dari sebelumnya 15.539 per dolar AS.

Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra menjelaskan, rupiah melemah terhadap dolar AS disebabkan reaksi short-covering pasar pasca penguatan besar terjadi sejak pengumuman rapat Federal Reserve (The Fed).

“Rupiah bisa bergerak melemah hari ini terhadap dolar AS mengikuti pelemahan nilai tukar lainnya terhadap dolar AS pagi ini. Pelemahan bisa disebabkan reaksi short-covering pasar setelah penguatan besar yang terjadi sejak pengumuman rapat The Fed, sembari menunggu petunjuk baru mengenai kebijakan moneter AS ke depan melalui data ekonomi AS ataupun komentar-komentar petinggi The Fed,” ujar dia dikutip dari Antara. 

Seperti diketahui, pada penutupan perdagangan Senin kemarin, rupiah menguat 189 poin atau 1,21 persen menjadi 15.539 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar 15.728 per dolar AS.

Karena penguatan tajam tersebut, pasar bereaksi short-covering. Apabila harga bergerak ke satu arah selama beberapa hari dengan pergerakan besar, maka pasar merasa tidak ada data lanjutan yang mendorong pembelian dolar AS, sehingga para investor memutuskan mengambil profit dengan membeli dolar AS.

“(Short-covering) berarti aksi penguatan rupiah dengan penjualan dolar AS dibalas dengan aksi sebaliknya, yakni pembelian dolar AS. Biasanya untuk merealisasikan profit,” katanya.

 


Data Neraca Perdagangan China

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat, Jakarta, Kamis (23/10/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Di samping itu, data neraca perdagangan China bulan Oktober 2023 bisa menjadi penggerak nilai tukar mengingat negara tersebut memiliki perekonomian terbesar kedua di dunia dan menjadi indikator pasar soal pelambatan ekonomi.

Jika data menunjukkan penurunan ekspor atau impor yang dalam, lanjutnya, pasar bisa bereaksi negatif mengenai aset berisiko, sehingga bisa mendorong penguatan dolar AS lagi.

“Ekspektasi trade balance China surplus 81 miliar dolar AS,” ucap dia.

Meninjau sentimen dari dalam negeri, data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III/2023 yang di bawah ekspektasi pasar dapat menjadi faktor penekan rupiah, yakni 4,94 persen secara tahunan (year on year/yoy) dengan harapan di atas 5 persen.

Selain itu, data cadangan devisa (cadev) yang merupakan suplai dolar AS dalam negeri yang akan dirilis pagi ini juga bisa menjadi penggerak nilai tukar rupiah. Penurunan cadev yang dalam mampu memberikan tekanan ke rupiah.

“Potensi pelemahan ke arah 15.600 per dolar AS, dengan potensi support di sekitar 15.500 per dolar AS,” ungkap Ariston.

 


Rupiah Masih Jeblok, Sri Mulyani Tak Cemas

Karyawan menunjukkan uang dolar AS dan rupiah di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 80 poin atau 0,57 persen ke level Rp 14.050 per dolar AS. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sebetulnya kondisi rupiah berada dalam posisi yang relatif baik, depresiasinya hanya 0,7 persen secara Year to Date (YTD).

"Dengan capital outflow yang cukup terjadi pada bulan September-Oktober ini maka kita lihat pergerakan nilai tukar kita sebetulnya rupiah kita dalam posisi yang relatif baik depresiasinya," kata Sri Mulyani dalam konferensi Pers APBN KiTa Oktober, Rabu (25/10/2023).

Menurutnya, banyak masyarakat Indonesia yang melihat pelemahan rupiah itu dari nominalnya terhadap US Dollar. Padahal, jika dilihat dari pergerakan nilai tukar secara ytd, depresiasinya hanya 0,7 persen.

"Meskipun orang Indonesia lihatnya nominal. Kalau kita lihat pergerakan nilai tukar year to date depresiasiny di 0,7 persen. Jadi, penyebabnya mungkin bukan rupiahnya tapi mungkin dollarnya yang menguat," ujarnya.

Alhasil dengan menguatnya US Dollar tersebut membuat banyak mata uang beberapa negara mengalami pelemahan.

Infografis Beda Rupiah 1998 dengan 2018 terhadap Dolar AS. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya