Liputan6.com, Surabaya - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mendapat sanksi pemberhentian dari batannya karena terbukti pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim atau Sapta Karsa Hutama.
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan amar putusan di Gedung MK RI, Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Advertisement
Dijelaskan Jimly bahwa Sapta Karsa Hutama meliputi Prinsip Ketidakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, serta Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
"Memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi untuk dalam waktu 2x24 jam sejak putusan ini selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujar dia.
Lantas, apa sebetulnya Sapta Karsa Hutama, dan kapan aturan kode etik tersebut, melansir dari website MKRI, disebutkan bahwa setelah membuat produk pertama Mahkamah Konstitusi berupa Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 03/PMK/2003 tentang Tata Tertib Persidangan Pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, para hakim merasa perlu untuk diawasi.
Lalu dibuatlah kode etik pedoman perilaku hakim yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi. Selanjutnya, dengan mendasarkan pada beberapa prinsip termasuk salah satunya prinsip yang digali dari budaya Indonesia, lahirlah Sapta Karsa Hutama.
Demikian keterangan yang disampaikan I Dewa Gede Palguna (Hakim Konstitusi Masa Jabatan 2003–2008 dan 2015–2020) selaku Ahli yang dihadirkan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (Pelapor Nomor 14/MKMK/L/ARLTP/10/2023) dalam Sidang Pemeriksaan MKMK pada Jumat (3/11/2023).
Di hadapan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dengan didampingi oleh Sekretaris MKMK Wahiduddin Adams dan Anggota MKMK Bintan Saragih, Palguna juga menceritakan lebih jelas bahwa di dalam produk kedua MK inilah dituangkan adanya dewan kehormatan MK yang unsur anggotanya diharapkan berasal dari pihak di luar MK.
“Hal ini untuk menghindari saling melindungi. Jadi dengan komposisi ini jika seorang hakim melanggar kode etik, dia tidak bisa menghindar lagi. Semangat ini yang dibawa oleh Pak Jimly dan kami bersembilan pada waktu itu, salah satunya saya dengan beberapa hakim dengan tugas khusus seperti (alm) Pak Rustandi, Pak Maruarar Siahan, dan (alm.) Pak Natabaya. Lalu kami buatlah kode etik pedoman perilaku hakim dan melahirkan Sapta Karsa Hutama. Maka itulah pedoman dan kode etik hakim yang disahkan pada masa Pak Jimly dan dipakai hingga sekarang,” sampai Palguna.
Semangat Diawasi
Berikutnya Palguna juga menceritakan bagaimana pasang surut dan peristiwa yang dilalui MK dan dibentuknya Dewan Etik MK. Namun karena adanya perubahan UU MK, maka dewan tersebut dibubarkan dan terjadilah peristiwa yang akhirnya dibentuklah MKMK ad hoc untuk menyelesaikan temuan yang diajukan ke MK atas dugaan etik atau perilaku hakim.
Diakui oleh Palguna, pada persoalan terdahulu, bersama dengan MKMK Ad hoc dalam putusannya disinggung tentang pentingnya dibentuk MKMK Permanen. Sebab, dengan tidak berfungsinya Dewan Etik MK, tidak ada pihak khusus yang mengawasi para hakim konstitusi.
“Padahal semangat diawasi itulah yang ditanamkan sejak pertama kali. Betapa di sini pentingnya dibentuk MKMK Permanen karena MK harus sadar akan kewenangan besar yang diberikan padanya,” terang Palguna.
Advertisement
Prinsip Ketakberpihakan
Sementara itu, Persatuan Advokat Demokrasi Indonesia (PADI) dalam Laporan Nomor 21/MKMK/L/ARLTP/10/2023 melalui Charles Situmorang menyampaikan kepentingan hukum pihaknya dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan MKMK pada sesi pertama.
Dikatakan bahwa sebagai advokat, PADI berkontribusi dalam mengawasi jalannya lembaga yudikatif. Sehingga ia merasa ada kepentingan langsung atas dugaan pelanggaran yang dilakukan Ketua MK Anwar Usman (Terlapor).
Berdasarkan Sidang Putusan MK pada 16 Oktober 2023 lalu, terdapat pernyataan dari dua hakim konstitusi yang menyatakan dissenting opinion yang menyebutkan adanya alasan ketidakhadiran Terlapor pada saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Pada pendapat tersebut dinyatakan dua alasan yang berbeda.
Atas peristiwa ini, PADI menilai Terlapor telah melanggar prinsip ketakberpihakan sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
“Saat berada di Universitas Islam Sultan Agung, Terlapor juga memberikan komentar terbuka tentang pemimpin muda. Komentar ini sangat condong pada salah satu pihak. Dengan ini kami memohon kepada MKMK agar dapat menjatuhkan amar putusan dengan menyatakan Terlapor terbukti melakukan pelanggaran kode etik sebagaimana tercantum pada Sapta Karsa Hutama bagian prinsip ketakberpihakan,” jelas Charles dari Ruang Sidang MKMK, Lantai 4, Gedung 1 MK.