Berbekal Bendera Putih dan Identitas Diri, Warga Palestina di Gaza Dipaksa Israel Mengungsi ke Selatan

Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah berulang kali meminta warga sipil Gaza pindah ke selatan, sementara mereka mengintensifkan serangannya terhadap Hamas di Kota Gaza dan Gaza utara.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 09 Nov 2023, 08:01 WIB
Seorang wanita membawa bendera putih untuk mencegah penembakan saat warga Palestina meninggalkan Kota Gaza ke Jalur Gaza selatan di Jalan Salah al-Din, Bureij, Selasa (7/11/2023). (AP Photo/Mohammed Dahman)

Liputan6.com, Gaza - Mengibarkan bendera putih dan memegang bukti identitas tinggi-tinggi, warga Gaza utara menempuh perjalanan ke selatan. Pemandangan tersebut diabadikan pada Selasa (7/11/2023), selama jeda empat jam yang diberikan pasukan Israel agar warga sipil mengosongkan Gaza utara.

Video yang beredar, termasuk yang dipublikasikan oleh otoritas Israel, menunjukkan sejumlah warga Palestina berjalan menuju Gaza selatan, termasuk di antaranya anak-anak, perempuan, kaum lanjut usia.

"Yang terjadi: Ribuan orang melintasi koridor evakuasi yang dibuka @IDF (Pasukan Pertahanan Israel) bagi warga sipil di Gaza utara untuk bergerak ke selatan," tulis COGAT, unit di Kementerian Pertahanan Israel, di X alias Twitter

Berbicara kepada CNN sebelum melintas pos pemeriksaan IDF yang didirikan di Jalan Salah Eddin, salah satu dari dua jalan raya utama utara-selatan Gaza, para pengungsi mengatakan mereka telah berjalan berjam-jam. Beberapa dari mereka tidak membawa apa-apa selain botol air, sementara yang lain membawa bendera putih, menandakan harapan mereka untuk perjalanan yang aman.

IDF telah berulang kali "memaksa" warga sipil Gaza pindah ke selatan, sementara mereka mengintensifkan serangannya terhadap Hamas di Kota Gaza dan Gaza utara.

Wedad Al-Ghoul, yang bepergian bersama putranya yang masih kecil, mengatakan bahwa dia telah berjalan sejauh 8 hingga 9 kilometer dari rumahnya di pantai Gaza.

"Saya membawa tanda pengenal saya karena saya diberitahu bahwa itu (jalan) akan aman, saya tidak tahu apakah saya akan diizinkan masuk atau tiba di selatan," kata dia, seperti dilansir CNN, Kamis (9/11).

Um Zaher, ibu empat anak yang bepergian dengan kereta kuda, menceritakan pengalamannya yang mengerikan.

"Saya adalah penduduk lingkungan Al-Shejaiya … Kami menyaksikan kematian dengan mata kepala sendiri … Saya hanya punya satu putra dan tiga putri, saya tidak bisa berjalan, kemana kami harus pergi? Tidak ada rumah, tidak ada makanan, tidak ada air; mereka tidak menyisakan apapun untuk kami," ujar Zaher.


Tidak Ada Tempat Aman di Gaza

Puluhan bendera putih dikibarkan ketika warga Palestina lewat secara massal ke ujung selatan Jalur Gaza. (AP Photo/Mohammed Dahman)

Avichay Adraee, juru bicara IDF untuk media Arab, melalui X mengatakan pada Selasa bahwa perjalanan yang aman diperbolehkan di Jalan Salah Eddin dari pukul 10.00 sampai pukul 14.00 waktu setempat. Bersamaan dengan pengumuman tersebut, dia mengunggah video yang menunjukkan para pengungsi berjalan melewati tank Israel di jalan yang sama.

Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB menyebutkan bahwa sekitar 5.000 orang melarikan diri ke Gaza selatan dengan berjalan kaki selama empat jam pada Senin (6/11).

Sejak Sabtu (4/11), Israel telah membuka koridor kemanusiaan selama empat jam setiap hari bagi warga Gaza untuk bergerak ke selatan.

Namun, tidak ada zona yang sepenuhnya dilindungi di Gaza. Saksi mata menggambarkan beberapa ledakan di Gaza tengah dan selatan pada Selasa pagi yang mereka katakan disebabkan oleh serangan udara Israel.

Di Kota Deir al-Balah di Gaza tengah, setidaknya dua ledakan dilaporkan terjadi di sebuah kamp pengungsi di selatan jalur air Wadi Gaza. Video dari kota menunjukkan anak-anak yang terluka digendong oleh orang dewasa.

CNN telah menghubungi IDF untuk memberikan komentar mengenai ledakan tersebut tetapi belum menerima tanggapan.

Di tengah protes atas kerusakan yang terjadi di daerah permukiman, fasilitas medis dan sekolah-sekolah yang dikelola PBB yang digunakan sebagai tempat perlindungan di Gaza, IDF mengatakan pada Selasa bahwa mereka siap menyerang Hamas di mana pun diperlukan, termasuk infrastruktur sipil.


Krisis Kesehatan di Gaza

Tentara Israel berjalan melewati tank di dekat perbatasan Gaza-Israel, Jumat (19/10). PM Benjamin Netanyahu berjanji bakal mengambil tindakan tegas apabila warga Palestina masih terus melancarkan serangan ke wilayah Israel. (AP Photo/Ariel Schalit)

Badan bantuan PBB, UNRWA, menggambarkan kondisi di tempat penampungan mereka penuh sesak dan tidak manusiawi. Mereka memperingatkan pada Senin tentang krisis kesehatan masyarakat yang akan terjadi karena rusaknya infrastruktur air dan sanitasi.

Lebih dari 10.000 warga Palestina tewas di Gaza sejak serangan Israel dimulai pada 7 Oktober sebagai balasan atas serangan Hamas ke Israel selatan pada hari yang sama, menewaskan setidaknya 1.400 orang dan menculik lebih dari 200 orang. Israel menegaskan bahwa tujuan serangan udara dan darat di Gaza adalah melenyapkan Hamas sepenuhnya.

Israel menuduh Hamas menggunakan warga dan bangunan sipil termasuk rumah sakit sebagai tameng. Tuduhan itu dibantah Hamas, rumah sakit, serta sejumlah pihak lainnya, termasuk pemerintah Indonesia.

"Selama sebulan terakhir Israel telah menyerang lebih dari 14.000 target teroris," kata juru bicara IDF pada Selasa, mengklaim telah melenyapkan sejumlah militan Hamas, menghancurkan dan senjata mereka.


AS Menentang Gagasan Israel Kembali Menduduki Gaza

Tank-tank Israel bergerak dekat perbatasan dengan Jalur Gaza, Rabu (11/10/2023). Israel mengerahkan tank-tanknya ke perbatasan Jalur Gaza di tengah konflik yang terus meningkat dengan Palestina. (AP Photo/Erik Marmor)

Seperti diberitakan CNN sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan para penasihat utamanya telah memperingatkan Israel bahwa akan semakin sulit mencapai tujuan militernya di Gaza karena kemarahan yang meningkat terhadap skala penderitaan kemanusiaan di sana.

Biden mengatakan pada Selasa bahwa melalui sambungan telepon pada Senin, dia telah meminta pemimpin Israel mempertimbangkan jeda kemanusiaan.

Netanyahu sendiri menegaskan tidak akan mengizinkan gencatan senjata sampai Hamas melepaskan ratusan sandera. Namun, jeda yang lebih singkat dalam pertempuran dimungkinkan demi masuknya barang-barang bantuan kemanusiaan atau pembebasan sandera.

Tidak jelas bagaimana spesifiknya teknis gencatan senjata atau istilah jeda kemanusiaan yang dipilih AS.

AS juga telah memperingatkan Israel mengenai rencananya terhadap Gaza setelah perang berakhir, menyusul komentar Benjamin Netanyahu kepada ABC News bahwa Israel harus memiliki tanggung jawab keamanan secara keseluruhan dalam jangka waktu yang tidak terbatas atas Gaza.

"Presiden (Biden) masih berpendapat bahwa menduduki kembali Gaza oleh pasukan Israel adalah hal yang tidak baik. Ini tidak baik bagi Israel; tidak baik bagi rakyat Israel," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby kepada CNN.

Seorang penasihat senior Netanyahu berusaha menjembatani kesenjangan tersebut pada Selasa, dengan mengatakan bahwa Israel tidak menyinggung soal pendudukan terhadap Jalur Gaza.

"Kita harus membedakan antara kehadiran keamanan dan kontrol politik," kata Mark Regev.

"Ketika hal ini selesai dan kita telah mengalahkan Hamas, sangatlah penting bahwa tidak akan ada lagi elemen teroris yang bangkit kembali, yaitu kebangkitan kembali Hamas. Tidak ada gunanya melakukan ini dan hanya kembali ke titik awal."

Infografis Tragedi Kemanusiaan 3.000 Lebih Anak Meninggal di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya