Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar rapat pleno penentuan ketua baru MK. Hal ini dilakukan, sebab ketua sebelumnya yakni Anwar Usman sudah dicopot dari jabatan akibat melakukan pelanggaran etik berat terkait putusan uji materil dalam beleid Pemilu yang menyangkut batas usia minumum calon presiden dan wakil presiden.
Advertisement
Diketahui, rapat pleno yang berjalan pukul 09.00 WIB tersebut berjalan tertutup. Namun berdasarkan informasi dari Plt Karo Humas Dan Protokol MK Budi Wijayanto, sembilan hakim konstitusi termasuk Anwar Usman hadir dalam rapat tersebut.
"Hadir lengkap (sembilan hakim, termasuk Anwar Usman),” kata Budi dalam pesan singkat diterima, Kamis (9/11/2023).
Sebagai informasi, rapat pleno penentuan ketua MK diawali dengan teknis musyawarah mufakat. Nantinya, lanjut Budi, bila tidak mencapai kesepakatan maka akan dilakukan pemungutan suara dan digele secara terbuka.
“Kalau enggak mencapai mufakat, ya nanti langsung pemilihan terbuka, di ruang sidang pleno,” jelas Budi.
Pantauan di lokasi, seluruh papan nama dari sembilan hakim konstitusi terpajang di sembilan meja berderet. Mulai dari Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic, Arief Hidayat, Anwar Usman, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul.
Mekanisme Pemilihan Ketua MK Baru
Diketahui, tata cara Pemilihan Ketua MK dan Wakil Ketua MK dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
Menurut ketentuan PMK tersebut, pemilihan Ketua MK dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan selama 5 tahun.
Secara teknis, pemilihan dilaksanakan dengan dihadiri paling kurang 7 Hakim Konstitusi. Jika Rapat Pleno Hakim dihadiri kurang dari 7 Hakim Konstitusi, maka Pemilihan akan ditunda paling lama 2 jam. Jika setelah ditunda masih tidak memenuhi jumlah tersebut, Pemilihan Ketua MK dan Wakil Ketua MK dilanjutkan, meski dihadiri kurang dari 7 Hakim Konstitusi.
Advertisement
Anwar Usman Dipecat dari Ketua MK
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Anwar Usman, terkait putusan uji materiil batas usia capres-cawapres.
“Hakim Terlapor terbukti melakukan pelangaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpinakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan,” tutur Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023).
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor,” sambungnya.
Jimly menjelaskan alasan tidak memberhentikan dengan hormat Anwar Usman dari hakim konstitusi. Ia menegaskan, jika keputusannya adalah diberhentikan tidak dengan hormat, ada peluang Anwar Usman mengajukan banding. Sehingga tidak ada ketidakpastian hukum jelang pemilu 2024.
"Kalau sanksinya adalah sebagaimana ditentukan PMK pemberhentian tidak hormat dari anggota maka itu di haruskan diberi kesempatan untuk majelis banding," kata Jimly.
"Yang majelis banding dibentuk berdasarkan MKMK itu, nah membuat putusan Majleis Kehormatan tidak pasti sedangkan kita sedang menghadapi proses persiapan pemilihan umum yang sudah dekat," terangnya.
Pilih Ketua Baru dalam Waktu 2X24 Jam
Sedangkan, bila diberhentikan dari jabatan Ketua MK, maka keputusan langsung berlaku pada hari ini Selasa (7/11/2023), dan penggantian ketua MK mesti dilakukan dalam waktu 2 x 24 jam.
"Sehingga kepastian hukum jelang Pemilu 2024 akan didapat," jelas Jimly.
Jimly menambahkan, jika pun MK mengubah putusan nomor 90/PUU-XXI/ 2023 tentang syarat usia capres-cawapres maka baru bisa diterapkan pada Pemilu 2029.
"Tentu saja permainan sudah jalan, aturan main kalau misalnya diubah melalui putusan MK berlaku untuk pertandingan berikutnya 2029," ucapnya.
"Kalau yang sekarang ini sudah jalan pertandingannya, dan ini perlu saya sampaikan untuk pihak pihak biar ada kepastian," kata Jimly.
Jimly juga memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi untuk dalam waktu 2x24 jam sejak putusan itu selesai diucapkan, untuk segera memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir,” katanya.
“Hakim Terlapor tidak diperkenankan teribat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilhan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilhan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan,” sambung Jimly.
Advertisement
Tak Pengaruhi Putusan No 90
Selain itu, Jimly juga menegaskan, pihaknya tidak dapat mempengaruhi hasil putusan MK terkait uji materiil batas usia capres-cawapres.
“Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” tutur Jimly.
Hal itu dalam rangka menjawab dalil gugatan terhadap Ketua MK Anwar Usman, yang menyatakan putusan uji materiil batas usia capres-cawapres semestinya dianulir oleh MKMK lantaran hakim konstitusinya terbentur pelanggaran etik.
“Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tidak dapat diberlakukan dalam putusan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusti,” jelas dia.
Jimly juga mengatakan pihaknya tidak menemukan cukup bukti bahwa Anwar Usman selaku Ketua MK memerintahkan adanya pelanggaran prosedur dalam pembatalan pencabutan permohonan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 perihal batas usia capres-cawapres yang akhirnya dikabulkan MK.
Namun begitu, Anwar Usman terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Independensi, Penerapan angka 1, 2, dan 3.
“Hakim Terlapor sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi terbukti tidak menjalankan fungsi kepemimpinan (judicial leadership) secara optimal, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Penerapan angka 5,” Jimly menandaskan.