Liputan6.com, Jakarta Di era teknologi digital yang berkembang pesat saat ini, pemahaman terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bagi setiap warga negara yang mempunyai produk dan karya perlu lebih ditingkatkan. Tujuannya untuk menghindari penjiplakan, pelanggaran hak cipta dan kerugian dikemudian hari.
Untuk memberikan pemahaman yang lebih luas seputar HKI, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggelar forum diskusi bagi para generasi muda dengan tema "Lebih Paham Pentingnya Hak Kekayaan Intelektual" di Kota Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/11/2023).
Advertisement
Diskusi turut mengundang narasumber Penyuluh Hukum Madya Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Timur, Wiwin Winarti, S.H., M.H., serta influencer dan pendiri Mannequin Plastic, Evan Driyanada dan Attina Nuraini
Ketua Tim Kerja Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM Ditjen IKP Kemenkominfo, Astrid Ramadiah Wijaya menerangkan HKI bersumber pada pemikiran bahwa karya intelektual yang telah diciptakan atau dihasilkan manusia memerlukan pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya.
“Jadi HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual,” jelas Astrid.
Astrid mengungkapkan Pemerintah melindungi secara hukum para pemilik hak cipta yang ciptaannya berbentuk digital dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
“Sayangnya, sebagian lapisan masyarakat masih belum memahami mengenai hal ini,” ujar Astrid.
Studi Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) pada 2020 menunjukan adanya peningkatan secara signifikan pada praktik pemalsuan atas produk yang dilindungi HKI.
“Hasil studi menemukan software masih menempati urutan tertinggi rentan dipalsukan hingga 84,25 persen, kemudian kosmetik 50 persen, produk farmasi 40 persen, pakaian dan barang dari kulit sebesar masing-masing 38 persen, makanan dan minuman 20 persen, dan pelumas dan suku cadang otomotif sebesar 15 persen,” terang Astrid.
Prinsip UU Hak Cipta
Menurut Astrid, prinsip UU Hak Cipta menganut asas yang disebut deklaratif. Itu berarti seseorang yang mewujudkan ciptaannya dalam bentuk nyata dan diumumkan terlebih dahulu akan memperoleh hak atas ciptaannya tersebut.
“Hak cipta sebagai hak eksklusif melekat kepada diri penciptanya sehingga penggunaan atas ciptaan seseorang harus dilakukan dengan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Hak cipta juga terdiri atas hak moral dan hak ekonomi,” terang Astrid.
Ia juga mengingatkan bahwa terkadang secara tidak sadar masyarakat khususnya generasi muda memposting sesuatu di media sosial dengan menggunakan karya orang lain.
“Jadi mari kita tingkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya Hak Kekayaan Intelektual dalam kehidupan keseharian kita. Mari kita lebih cermat dan bijak dalam menghargai Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki seseorang,” pungkas Astrid.
Peraturan perundang-undangan HKI di Indonesia sudah ada sejak 1840-an saat Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai pelindungan HKI pada tahun 1844. Beberapa peraturan perundang-undangan HKI yang dibuat Belanda pada waktu itu adalah: UU Merek pada 1885, UU Paten pada 1910, UU Hak Cipta pada 1912.
Ketiga peraturan tersebut mengalami perubahan dan revisi sesuai dengan perkembangan zaman. Perubahan terakhir terjadi pada tahun 2001, di mana Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten dan UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek yang menggantikan UU yang lama di bidang terkait.
Wiwin Winarti menegaskan kembali jika kini undang-undang tersebut telah mengalami pembaruan.
“Terutama yang secara umum pembaruan pada merek, paten, dan hak cipta,” jelas Wiwin.
Ia mengungkap bahwa masyarakat belum banyak mengetahui dan paham terkait Undang-Undang HKI ini, sehingga terjadi pelanggaran secara tidak sengaja. Maka, ia menyarankan agar masyarakat mencari informasi secara daring terkait UU HKI ini melalui situs Kementerian Hukum dan HAM.
“Semua sudah online, lebih mudah,” ujar Wiwin.
Advertisement
Manfaat Mendaftarkan Karya
Kemudian Evan Driyanada dan Attina Nuraini mengisahkan perjalanan mereka terkait pentingnya mendaftarkan karya sebagai pelindungan dari penjiplakan seseorang atau institusi.
“Dengan sudah mendaftar karya kita sebelumnya, UU HKI membentengi karya kita ketika dijiplak dan diperbanyak untuk meraih keuntungan oleh orang lain,” ungkap Evan.
Dari peristiwa itu, Wiwin menuturkan jika semua kasus seperti tadi bisa diselesaikan tidak selalu dengan cara hukum.
“Dari peristiwa tadi, yang penting kita punya modalnya, yaitu sertifikat HKI-nya. Dari kasus mas Evan dan mba Tina tadi mereka berdua sudah punya Sertifikat HKI Merek,” jelas Wiwin.
Tak hanya sertifikat merek, Wiwin mencontohkan bahwa skripsi termasuk karya Hak Cipta yang bisa dibuatkan sertifikatnya.
”Beberapa waktu lalu ada adik-adik mahasiswa yang mendaftarkan skripsinya untuk mendapatkan Sertifikat Hak Cipta,” ungkap Wiwin.
Daftar Sertifikat HKI Secara Online
Ia melanjutkan bahwa sebenarnya para adik-adik mahasiswa tadi tidak harus mendatangi kantor Kemenkumham, karena saat ini pendaftaran untuk mendapatkan Sertifikat HKI tadi bisa dilakukan secara online.
“Sudah sejak akhir tahun 2019, masyarakat sudah bisa daftar secara online untuk mendaftarkan merek, hak cipta, dan hak paten,” papar Wiwin. Sehingga, proses mendapatkan sertifikat HKI bisa lebih gampang dan lebih cepat.
Selanjutnya Wiwin memberikan kiat-kiat agar merek-merek yang didaftarkan lebih cepat diverifikasi oleh Kemenkumham sehingga lebih cepat keluar sertifikat HKI-nya.
Evan dan Attina juga membagikan cerita mereka terkait sejarah merek yang sudah bersertifikat HKI. Tak hanya itu mereka berdua juga membagikan beberapa kiat membuat desain yang baru dan menggali nama-nama merek yang unik.
(*)
Advertisement