Liputan6.com, Jakarta - Hari Pahlawan, yang jatuh setiap 10 November, jadi sebuah pengingat bagi generasi muda akan pengabdian para pendahulu bangsa Indonesia. Salah satunya adalah Jenderal Besar TNI Raden Soedirman atau yang lebih dikenal dengan Jenderal Sudirman.
Masyarakat dapat menelusuri perjuangan Jenderal Sudirman di Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jendral Sudirman. Museum ini terletak di Jalan Bintaran Wetan No.3, Gunungketur, Pakualaman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Advertisement
Melansir laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Jumat (10/11/2023), dalam bahasa Jawa, sasmitaloka berarti tempat untuk mengingat dan mengenang. Museum yang berada di bawah pengelolaan TNI Angkatan Darat tersebut memang didirikan untuk mengenang jasa dan pengabdian Jendral Sudirman.
Museum Sasmitaloka menempati sebuah gedung yang dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda tahun 1890. Mengalami berbagai peralihan fungsi, gedung ini pernah jadi kediaman dinas resmi Jendral Sudirman dan Keluarga sejak 18 Desember 1945 sampai 19 Desember 1948, saat beliau jadi panglima tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada 17 Juni 1968, gedung ini sempat dipakai untuk Museum Pusat Angkatan Darat. Itu akhirnya diresmikan sebagai Museum Sasmitaloka Panglima Besar (Pangsar) Jendral Sudirman pada 30 Agustus 1982.
Koleksi Museum Sasmitaloka terdiri dari patung-patung buste Jendral Sudirman, koleksi persenjataan dan berbagai piagam penghargaan, peralatan dan seragam yang sehari-hari digunakan saat bertugas, serta replika tandu yang dipergunakan saat Perang Gerilya.
Museum juga memiliki panel-panel diorama yang menceritakan perjalanan Jendral Sudirman saat berperang Gerilya. Juga, diorama saat beliau menjalani perawatan di Rumah Sakit Panti Rapih.
Sejarah Bangunan
Beberapa koleksi dokumentasinya terdiri dari foto berbagai momen dalam perjalanan karier Jendral Sudirman, artikel yang dimuat di media massa, serta kumpulan surat dari kolega dan sahabat. Beberapa surat merupakan surat khusus ungkapan bela sungkawa atas wafatnya beliau pada 29 Januari 1950 di Rumah Peristirahatan Tentara Badakan, Magelang.
Dikutip dari situs web Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi DIY, Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman dahulu adalah rumah tinggal dari pejabat keuangan Pura Pakualaman bernama Wijnschenk. Bangunan tersebut didirikan pada 1890.
Pada masa pendudukan Jepang, yakni pada 1942--1945, bangunan digunakan untuk keperluan pribadi para opsir Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, bangunan ini berfungsi sebagai Markas Kompi "Tukul" dari Batalyon Letnan Kolonel Suharto selama tiga bulan.
Sejak 18 Agustus 1945 dan setelah pelantikan Kolonel Sudirman jadi Panglima Besar, bangunan ini beralih fungsi jadi rumah dinas Jenderal Sudirman.
Advertisement
Bangunan Museum
Pada masa perang kemerdekaan menghadapi Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948 sampai 27 Desember 1949), bangunan ini dipakai sebagai Markas Informatie voor Geheimen Brigade T tentara Belanda.
Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949, bangunan difungsikan sebagai Markas Komando Militer Kota Yogyakarta. Itu selanjutnya digunakan untuk asrama Resimen Infanteri XIII dan penyandang disabilitas.
Denah bangunan museum berbentuk segi empat dan menghadap ke timur. Dilihat dari bentuk arsitekturnya bangunan tersebut menunjukkan gaya campuran, terlihat pada tiang dengan bentuk dasar corintia, dihias motif tradisional, seperti pada tiang-tiang di keraton.
Bangunan museum memiliki ciri-ciri berdinding keramik, bentuk atapnya limasan dengan rangka kayu, penutup atap menggunakan sirap, dan lantai tegel bermotif. Pintu dan jendela terdiri atas daun krepyak dan kaca dengan ukuran relatif besar guna mendapatkan penghawaan dan pencahayaan alamiah yang optimal.
Keseluruhannya merupakan ciri-ciri bangunan peninggalan Belanda di negeri tropis. Bangunan museum ditetapkan sebagai Cagar Budaya dengan Permenbudpar RI No. PM.07/PW.007/MKP/2010 tanggal 8 Januari 2010.
Jenderal Sudirman Diangkat Jadi Panglima Besar Pertama TKR
Dikutip dari News Liputan6.com, pada 12 November 1945 gedung peninggalan Belanda di daerah Gondokusuman, Yogyakarta jadi saksi bisu sejarah TNI di Indonesia. Para pemuda komandan divisi dan resimen se-Jawa dan Sumatra berkumpul.
Mereka menyelenggarakan konferensi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk memutuskan pucuk pimpinan tertinggi angkatan perang. Saat itu, kongres dipimpin Kepala Staf Umum TKR, Urip Sumoharjo.
Saat Presiden Sukarno mengumumkan maklumat pembentukan TKR pada 5 Oktober 1945, lembaga tersebut belum memiliki pemimpin tertinggi. Sebenarnya Sukarno telah menunjuk Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat, namun hingga waktu yang telah ditentukan, ia tak kunjung datang.
Kota Pelajar merupakan markas TKR, karena saat itu Jakarta telah diduduki sekutu. Dalam kongres tersebut, ada agenda untuk pemilihan panglima besar TKR. Untuk menentukan pimpinan tertinggi itu, dilakukanlah pemungutan suara.
Proses pemilihan yang berlangsung sangat sederhana itu akhirnya memenangkan Sudirman dengan suara terbanyak. Lalu, Urip mendapatkan suara terbanyak kedua dan diminta tetap jadi Kepala Staf Umum.
Kala itu, Jenderal Sudirman masih sangatlah muda, baru berusia 29 tahun. Berdasarkan buku Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir oleh tim buku Tempo, Sudirman saat itu sudah terkenal di kalangan pimpinan divisi, terutama Jawa, berkat kecakapan dan karismanya.
Sebulan setelah pemilihan, Sudirman memimpin TKR untuk memukul mundur pasukan Inggris yang membonceng Belanda di Ambarawa, Jawa Tengah. Peristiwa tersebut kini dikenal sebagai pertempuran Palagan Ambarawa.
Tiga hari usai peristiwa tersebut, atau pada 18 Desember 1945, Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR oleh Presiden Soekarno.
Advertisement