Liputan6.com, Jakarta - Goldman Sachs menyebut pasar bijih besi akan mengalami keterbatasan untuk sisa tahun ini karena rendahnya persediaan dan penurunan produksi.
"Daripada menghadapi surplus untuk tahun ini, pasar bijih besi sekarang ditetapkan untuk defisit yang jelas," kata Goldman Sachs dalam sebuah laporan baru-baru ini, seperti dikutip dari CNBC, Sabtu (11/11/2023).
Advertisement
Para analis mencatat bahwa besarnya pengeluaran fiskal China baru-baru ini dapat menjadi tanda positif dari sentimen pertumbuhan domestik, yang sering dikaitkan dengan industri konstruksi yang lebih sehat dan pada gilirannya, permintaan yang lebih tinggi untuk bijih besi.
Logam ini terutama digunakan untuk membuat baja, sebuah material penting dalam proyek-proyek konstruksi dan teknik.
Pada akhir Oktober, pemerintah China mengatakan akan menerbitkan obligasi pemerintah tambahan senilai 1 triliun yuan (USD 139 miliar) untuk mendukung upaya pembangunan kembali daerah-daerah yang dilanda bencana dan meningkatkan kemampuan bantuan bencana di negara ini.
Meskipun begitu, Goldman Sachs tetap berhati-hati dalam menilai terlalu banyak optimisme pada peningkatan permintaan baja yang berasal dari sektor properti China yang sedang dilanda krisis.
Krisis properti di China telah menjadi salah satu penghambat terbesar dalam upaya mencapai pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
Pasokan yang Rendah
Pendorong lain untuk defisit bijih besi ini termasuk berkurangnya pasokan dari produsen bijih besi terkemuka Australia dan Brasil.
Pasokan bijih besi global pada tahun 2023 telah dipangkas dari 1,557 miliar ton menjadi 1,536 miliar ton, menurut perkiraan Goldman.
"Revisi ke bawah ini mencerminkan kinerja yang buruk pada pasokan Australia dan Brasil selama Q3," kata laporan tersebut.
"Untuk Brasil, analis ekuitas kami mengaitkan kinerja yang kurang baik tersebut dengan kegagalan pada ban berjalan S11D milik Vale dan produksi yang lebih rendah di Sistem Selatan," tambahnya.
Advertisement
Brasil Juga Alami Hal yang Sama
Vale memiliki tambang bijih besi terbesar di dunia yakni Kompleks Pertambangan Serra Norte. Beberapa minggu yang lalu, raksasa tambang Brasil ini melaporkan penurunan hampir 4% dari tahun ke tahun pada produksi bijih besi kuartal ketiga karena kegagalan sistem ban berjalan tersebut.
Selain itu, Goldman mengamati bahwa persediaan bijih besi yang rendah di RRT, produsen terbesar ketiga di dunia, juga akan berkontribusi pada kekurangan tersebut.
"Dengan risiko pengisian ulang pabrik di daratan menjelang Tahun Baru Imlek dan rendahnya persediaan rantai pasokan untuk menyangga risiko gangguan pasokan, risiko ini condong ke atas dalam waktu dekat."
Perkiraan shortfall ini merupakan pembalikan dari perkiraan Goldman sebelumnya yang memperkirakan adanya surplus, dengan analis bank investasi ini menaikkan perkiraan harga bijih besi sebanyak lebih dari 20%.
Goldman sekarang memperkirakan rata-rata setahun penuh untuk bijih besi berkadar 62% akan melonjak dari USD 101 per ton menjadi USD 117 pada tahun 2023.
Untuk 2024, para analis memperkirakan lonjakan sebesar 22% dari perkiraan sebelumnya sebesar USD 90 per ton menjadi USD 110.