Liputan6.com, Gaza - Seorang jurnalis yang bekerja di Jalur Gaza, berduka atas kematian empat anaknya dan saudaranya setelah Israel meluncurkan serangan udara di kamp pengungsi Al Maghazi, yang menewaskan setidaknya 47 orang dan melukai puluhan lainnya, termasuk istri dan anak balitanya.
Mohammed Alaloul, seorang fotografer untuk layanan berita Anadolu Agency yang berbasis di Turki, sedang bekerja ketika dia mengetahui bahwa kamp pengungsi itu terkena serangan udara, seperti yang dilaporkan dan dikutip dari New York Times, Sabtu (11/11/2023).
Advertisement
Mendengar laporan yang menyebutkan rumah-rumah bertingkat di daerah tersebut telah hancur dan anak-anak yang meninggal sudah tiba di rumah sakit terdekat, Alaloul pun menjelajahi berita di ponselnya hingga dia mengetahui bahwa keluarganya terkena dampak ledakan.
Di antara para korban adalah anak-anaknya: Qais, Ahmad, Rahaf, dan Kenaan.
Tiga dari anak-anak itu baru berusia empat tahun.
Istri jurnalis Alaloul, Amnah, dan anak bungsunya, Adam yang berusia 1 tahun, mereka selamat dari serangan udara pada hari itu dan segera menjalani perawatan di Rumah Sakit Al-Aqsa. Keduanya dalam kondisi kritis.
Adam mengalami luka sayatan dari pecahan peluru, begitu juga Amnah, ditambah patah tulang dan luka bakar serius di wajahnya.
Adam saat itu terlihat sedang dirawat di lorong-lorong rumah sakit yang ramai, lapor Times.
Banyak Anak Tewas
Beberapa jam setelah serangan udara, Alaloul berada di rumah sakit memimpin doa pemakaman di dekat pintu masuk, masih mengenakan rompi pers birunya yang dikeluarkan untuk wartawan yang bekerja di Gaza.
Dia terlihat menangis saat membawa dan mengidentifikasi jenazah anak-anaknya yang tewas. Dia juga terlihat menghibur ayahnya yang patah hati.
Setelah ledakan di Al Maghazi, seorang reporter Associated Press melihat setidaknya delapan anak tewas, termasuk seorang bayi, ketika korban dibawa ke rumah sakit terdekat setelah serangan udara.
Arafat Abu Mashaia, seorang pengungsi di kamp tersebut, mengutuk serangan udara Israel, mengatakan bom-bom itu mengenai zona sipil di mana Hamas tidak berada.
"Ini adalah pembantaian sejati," katanya sambil berdiri di antara puing-puing. "Semua di sini adalah orang-orang yang damai. Saya tantang siapa pun yang mengatakan ada perlawanan [pejuang] di sini."
Israel tidak segera mengomentari serangan tersebut, tetapi telah mengatakan bahwa mereka hanya menargetkan daerah yang diketahui sebagai tempat persembunyian Hamas.
Advertisement
Kisah Warga Gaza di Penampungan
Selain itu, kisah haru lainnya datang dari kondisi masyarakat di Gaza yang semakin hari semakin memprihatinkan. Korban jiwa akibat serangan dari Israel juga dilaporkan terus bertambah, kini sudah mencapai 10 ribu lebih.
Di tengah serangan Israel yang masih terus berlangsung, mereka yang selamat masih tetap harus menyambung hidup.
Kebutuhan pokok sehari-hari menjadi hal mewah bagi warga Palestina di Gaza saat ini. Keterbatasan sanitasi dan air bersih membuat mereka terpaksa mandi dan mencuci pakaian dengan air laut.
Salah satu warga Gaza yang selamat dan dalam kondisi tersebut adalah Andaleeb al-Zaq. Kendati demikian ia masih bersyukur bisa melakukan itu, di tengah musibah hidup akibat perang yang dialaminya saat ini.
"Ini merupakan perubahan pemandangan yang disambut baik dari kekacauan dan kekotoran sekolah tempat kami tinggal," kata pria berusia 48 tahun itu, seperti dilansir Al Jazeera, Sabtu (10/11/2023).
"Anak-anak menganggap seperti kita sedang dalam perjalanan sekolah."
Namun, bagi Andaleeb, "perjalanan" itu adalah soal bertahan hidup.
Keluarganya, yang berjumlah 16 orang, mengungsi dari rumah mereka di lingkungan Shujaiya, sebelah timur Kota Gaza tak lama setelah Israel mulai membom Jalur Gaza pada 7 Oktober.
Mereka pergi ke selatan menuju pusat pemerintahan Deir al-Balah, dan melanjutkan perjalanan ke Sekolah Dasar Alif, yang dikelola oleh badan pengungsi PBB.
"Semua ruang kelas sudah penuh dengan keluarga lain, sekitar 80 orang per kelas, jadi kami mendirikan tenda di halaman sekolah," kata Andaleeb. "Ada 8.000 orang berlindung di sana."
Prancis Desak Israel Stop Bom Warga Sipil Palestina di Gaza
Sementara itu, atas apa yang telah terjadi, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa tidak ada pembenaran atas pengeboman Israel terhadap bayi, wanita, dan orang lanjut usia di Gaza.
Macron menyampaikan hal itu kepada BBC sehari setelah konferensi bantuan kemanusiaan di Paris mengenai perang Hamas Vs Israel sejak 7 Oktober. Dia menyerukan gencatan senjata, dengan mengatakan hal itu akan menguntungkan Israel.
Kesimpulan yang jelas dari semua pemerintah dan lembaga pada pertemuan puncak pada Kamis, tegas Macron, adalah bahwa tidak ada solusi lain selain pertama jeda kemanusiaan yang dilanjutkan dengan melakukan gencatan senjata, yang akan memungkinkan perlindungan semua warga sipil.
"De facto – saat ini, warga sipil dibom. Bayi-bayi ini, wanita-wanita ini, orang-orang tua ini dibom dan dibunuh. Jadi, tidak ada alasan untuk itu dan tidak ada legitimasi. Kami mendesak Israel untuk berhenti," ujar Macron, seperti dilansir The Guardian, Sabtu (11/11/2023).
Pemimpin Prancis tersebut mengatakan bahwa pihaknya jelas mengutuk serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 240 orang.
"Kami turut merasakan penderitaan (Israel)," kata Macron, namun dia menambahkan tidak ada pembenaran atas pengeboman yang sedang berlangsung terhadap warga sipil di Gaza.
"Sangat penting bagi kita semua karena prinsip kita, karena kita adalah negara demokrasi. Penting juga bagi keamanan Israel sendiri dalam jangka menengah hingga jangka panjang, untuk menyadari bahwa semua nyawa berharga," tutur Macron.
Ketika ditanya apakah dia ingin para pemimpin lain – termasuk Amerika Serikat (AS) dan Inggris – ikut serta dalam seruannya untuk melakukan gencatan senjata, ia menjawab, "Saya harap mereka akan melakukannya."
Laporan The Guardian yang mengutip otoritas kesehatan Gaza menyebutkan bahwa hingga Jumat (10/11), 11.078 warga Palestina di Jalur Gaza tewas akibat serangan Israel sejak 7 Oktober, termasuk di antaranya 4.506 anak-anak.
Advertisement