Liputan6.com, Jakarta - Pembeli China yang berhemat meredupkan daya tarik belanja pada Singles Day atau Hari Jomblo. Konsumen dinilai lebih membeli barang kebutuhan sehari-hati ketimbang barang mahal.
Dikutip dari AP, Sabtu (11/11/2023), pembeli di China telah memperketat dompetnya sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana melemahnya kepercayaan konsumen dapat mempengaruhi belanja online ritel tahunan pada Hari Jomblo yang diadakan Sabtu, 11 November 2023.
Advertisement
Singles Day juga dikenal sebagai Double 11 dipopulerkan oleh raksasa e-commerce Alibaba. Menjelang acara itu, penjual di Alibaba dan tempat lain sering kali memangkas harga dan menawarkan penawaran menarik.
Mengingat kegelisahan yang ada mengenai lapangan kerja dan lemahnya pasar properti tidak jelas bagaimana festival 2023 akan berlangsung.
Survei Bain & Company terhadap 3.000 pembeli di China menemukan lebih dari tiga perempat dari mereka yang merespons berencana belanja lebih sedikit tahun ini atau mempertahankan tingkat pembelanjaan. Hal ini mengingat ketidakpastian mengenai bagaimana keadaan perekonomian.
"Situasi ekonomi saat ini buruk dan berdampak pada bisnis saya, jumlah pelanggan lebih sedikit dibandingkan sebelumnya,” ujar Shi Genchen, pemilik bisnis biliar di distrik Chaoyang.
Ia menambahkan, penjualan hanya 40 persen dibandingkan sebelum pandemi COVID-19. "Saya tidak habiskan banyak uang. Tentu saja, setiap orang punya keinginan untuk berbelanja, tapi Anda harus punya uang untuk berbelanja,” ujar dia.
Konsumen China jauh lebih bersemangat untuk berbelanja royal sebelum COVID-19 melanda pada 2020. Pembeli habiskan USD 38 miliar dalam 24 jam di platform e-commerce Alibaba selama Singles Day pada 2019.
Konsumen Hati-Hati Memakai Dana
Analis menuturkan, China menjadi lebih berhati-hati dalam mengeluarkan dana tambahan.
"Hype dan kegembiraan seputar Singles Day sudah berakhir. Selama sembilan bulan terakhir, konsumen terus mendapatkan diskon setiap hari sehingga mereka tidak harapkan diskon besar pada Singles Day kecuali untuk barang habis pakai,” ujar dia.
Rein menuturkan, pembeli kemungkinan akan lebih tertarik untuk membeli produk kebutuhan sehari-hari seperti pastagigi, kertas tisu, dan deterjen, dibandingkan kosmetik kelas atas dan merek mewah.
Hu Min, seorang karyawan toko serba ada di Shijiazhuang di Hebei, Tiongkok Utara menuturkan, tidak lagi mengeluarkan uang untuk apapun kecuali kebutuhan sehari-hari.
“Saya hanya merasa masyarakat tidak mengeluarkan uang sebanyak sebelumnya, mungkin karena mereka tidak punya banyak uang untuk dibelanjakan,” kata dia.
Advertisement
IMF Kerek Prediksi Pertumbuhan Ekonomi China pada 2023
Sebelumnya diberitakan, The International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi China menjadi 5,4 persen pada 2023. Namun, IMF juga memperingatkan kesulitan di real estate masih terus berlanjut.
Dikutip dari laman CNBC, Selasa (7/11/2023), IMF menyebutkan pertumbuhan kuartal III lebih baik dari perkiraan dan pengumuman kebijakan baru-baru ini.
Namun, IMF prediksi pertumbuhan melambat pada 2024 menjadi 4,6 persen. Hal ini seiring berlanjutnya pelemahan pasar properti dan permintaan eksternal.
"Terkait real estate, tekanannya masih ada," ujar Wakil Direktur IMF Gita Gopinath kepada CNBC.
Ia menuturkan, masih banyak tekanan di pasar. "Ini tidak akan selesai dengan cepat. Diperlukan lebih banyak waktu untuk beralih kembali ke ukuran lebih berkelanjutan,” kata dia.
Real estate dan sektor terkait menyumbang lebih dari seperempat ekonomi China. Beberapa analis mengatakan, hal itu perlu berkontraksi, kemungkinan 10 persen.
Selain itu, pemerintah China juga mulai menindak ketergantungan pengembang terhadap utang untuk pertumbuhan pada 2020. Akan tetapi, baru-baru ini melonggarkan beberapa tindakan.
Salah satu masalah paling menonjol adalah pengembang yang kesulitan mendapatkan pembiayaan, menunda penyelesaian aparteman dan memicu boikot hipotek tahun lalu. Rumah di China biasanya dijual sebelum dibangun.
"Beberapa kemajuan telah dicapai, tetapi masih diperlukan lebih banyak lagi,” ujar Gopinath.
Ia menuturkan, pemerintah pusat dapat berperan besar dalam memberikan pendanaan secara langsung. "Kami pikir hal ini akan membantu meningkatkan kepercayaan rumah tangga,” kata dia.
"Tetapi kami juga berpikir penting untuk segera mengeluarkan pengembang properti yang tidak layak. Keduanya akan menjadi sangat penting. Selain membiarkan harga rumah menyesuaikan lebih fleksibel untuk mendapatkan transisi yang lebih lancar.
Hadapi Tingginya Tingkat Utang
Pada Oktober, IMF menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi China menjadi 5 persen pada 2023 dan 4,2 persen pada 2024.
Gopinath tidak perkirakan dampak besar dari peningkatan perkiraan itu terhadap harga komoditas.
“Apa yang akan mempunyai dampak yang lebih besar adalah jika China mampu menaikkan perkiraan pertumbuhan jangka menengahnya dari saat ini sebesar 3,5 persen, jika China dapat meningkatkan ke angka jauh lebih tinggi. Hal ini dapat dicapai jika China melakukan reformasi yang tepat,” kata dia.
Pertumbuhan ekonomi China secara keseluruhan telah melambat karena negara itu hadapi tingginya tingkat utang dan masalah struktural lainnya. Beijing telah menetapkan target produk domestik bruto (PDB) pada 2023 sekitar 5 persen. Namun, semakin fokus pada apa yang disebut sebagai pertumbuhan berkualitas tinggi.
“Saya mendengar dari beberapa otoritas, kalau mereka tidak hanya tertarik pada berita utama. Mereka ingin pertumbuhan berkualitas tinggi, berkelanjutan, inklusif, dan bekerja di berbagai bidang di sini,”
Gopinath memahami pertumbuhan berkualitas tinggi dengan memasukkan ekonomi hijau, serta beralih dari model pertumbuhan yang didorong oleh investasi ke modal yang didorong konsumsi.
Selain itu, memperkuat jaring pengaman sosial akan mendorong rumah tangga untuk belanjakan uang dibandingkan menabung.
Advertisement