Liputan6.com, Jakarta - Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menyebut keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberikan cahaya terang di tengah gelapnya demokrasi saat ini. Dia menyebut MKMK yang menjatuhkan sanksi kepada hakim MK yang memutus batas usia calon presiden dan wakil presiden ini menjadi bukti kokohnya kebenaran.
"Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi telah memberikan cahaya terang di tengah kegelapan demokrasi. Keputusan MKMK menjadi bukti bahwa kekuatan moral, politik kebenaran, dan politik akal sehat tetap berdiri kokoh meski menghadapi rekayasa hukum konstitusi," ujar Megawati dalam pidatonya yang disiarkan di Youtube, Minggu (12/11/2023).
Advertisement
Megawati mengaku prihatin dengan apa yang terjadi di dunia politik dan hukum konstitusi akhir-akhir.
"Kita semua tentunya sangat sangat prihatin, dan menyayangkan mengapa hal tersebut sampai terjadi. Berulang kali saya mengatakan bahwa konstitusi itu adalah pranata kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus diikuti dengan selurus-lurusnya," kata Megawati.
Megawati menyebut, konstitusi tidak hanya ditaati sebagai sebuah hukum dasar tertulis. Namun konstitusi juga mewakili kehendak dan cita-cita para pendiri bangsa.
"Namun konstitusi itu harus memiliki ruh. Ia mewakili kehendak, tekad, dan cita-cita tentang bagaimana bangunan tata pemerintahan negara disusun dan dikelola dengan sebaik-baiknya seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa," kata Megawati.
MKMK Jatuhkan Sanksi Pemberhentian Jabatan Anwar Usman dari Ketua MK
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Anwar Usman, terkait putusan uji materiil batas usia capres-cawapres.
"Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpinakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan," tutur Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023).
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor,” sambungnya.
Jimly juga memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi untuk dalam waktu 2x24 jam sejak putusan itu selesai diucapkan, untuk segera memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
"Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir," katanya.
"Hakim Terlapor tidak diperkenankan teribat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilhan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilhan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan,” sambung Jimly.
Advertisement
Anwar Usman: Fitnah kepada Saya Amat Keji
Usai uji materil nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait pengujian Undang-Undang tentang Pemilu mengenai batas minimal usia capres-cawapres dikabulkan, Hakim Anwar Usman dituding telah meloloskan sosok tertentu demi kepentingan khusus yang menyangkut dirinya sendiri. Anwar menegaskan tudingan tersebut adalah fitnah yang keji.
"Fitnah yang dialamatkan kepada saya, terkait penanganan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah fitnah yang amat keji, dan sama sekali tidak berdasarkan atas hukum," tegas Anwar saat jumpa pers di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/11/2023).
Anwar mencatat, dia tidak akan mengorbankan martabat, kehormatan dan juga pengabdiannya sebagai hakim untuk meloloskan calon tertentu. Apalagi, lanjut dia, dirinya adalah seorang hakim karier yang sudah berpengalaman hampir 40 tahun.
"Saya tidak akan mengorbankan diri saya, martabat saya, dan kehormatan saya, di ujung masa pengabdian saya sebagai Hakim, demi meloloskan pasangan calon tertentu," jelas Anwar.
Anwar mengingatkan terhadap para pihak yang menudingnya, bahwa putusan MK bukanlah bersifat tunggal atas nama ketua. Melainkan kolektif kolegial berdasarkan 9 hakim dalam sebuah perkara. Artinya, dirinya tidak memiliki andil penuh meski berstatus ketua pada saat menyidangkan perkara tersebut.
"Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 hanya menyangkut norma, bukan kasus. Pengambilan putusan bersifat kolektif kolegial oleh 9 orang hakim konstitusi," tutur Anwar.
Anwar pun yakin, meski putusan MK bersifat final dan mengikat namun pemegang mandat tertinggi soal pemiluhan umum adalah rakyat. Artinya, rakyatlah sebagai penentu tunggal apakah publik dapat sejalan dengan tudingan miring yang dialamatkan kepadanya.
"Jika niat saya dan para hakim konstitusi, untuk memutus perkara tersebut, ditujukan untuk meloloskan pasangan calon tertentu, toh, juga bukan kami yang nantinya punya hak untuk mengusung calon, dan yang akan menentukan siapa calon pasangan terpilih kelak, tentu rakyatlah yang menentukan hak pilihnya melalui pemilihan umum," pungkas dia.
Anwar Usman Diberhentikan dari Ketua MK, Jokowi: Itu Kewenangan Yudikatif
Presiden Joko Widodo atau Jokowi angkat bicara soal putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK karena terbukti melanggar kode etik dalam putusan batas usia capres-cawapres. Jokowi mengatakan putusan MKMK merupakan wilayah yudikatif.
"Itu wilayah yudikatif," kata Jokowi usai meninjau SMK 1 Purwakarta Jawa Barat, Kamis (9/11/2023).
Dia enggan berkomentar banyak soal putusan MKMK. Sebab, kata Jokowi, putusan tersebut merupakan kewenangan lembaga yudikatif.
"Saya tidak ingin komentar banyak. Sekali lagi, karena itu kewenangan di wilayah yudikatif," jelas Jokowi.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menolak mengomentari putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK karena terbukti melanggar kode etik dalam putusan batas usia capres-cawapres.
Moeldoko mengatakan Istana tidak memiliki pandangan khusus soal putusan MKMK. Dia mengaku tak mau mencamputi proses hukum di MKMK.
"Saya pikir istana tidak punya pandangan khusus tentang itu, karena ini proses yudicial dalam sebuah institusi bukan di kabinet. Jadi saya tidak masuk dalam area itu," kata Moeldoko kepada wartawan di Kantor Staf Kepresidenan Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Mantan Panglima TNI itu menyampaikan putusan MKMK merupakan wilayah yudikatif, sedangkan Istana merupakan eksekutif. Moeldoko pun meminta agar pemerintah tak dikait-kaitkan dengan urusan yudikatif.
"Ini dua area yang berbeda. Satu area yudikatif, satu area eksekutif. Enggak bisa mau dipaksa-paksa anda bertanya saya tidak akan bisa memasuki area itu. Karena memang area yang berbeda," jelasnya.
Advertisement