Liputan6.com, Jakarta - Selama 260 juta tahun terakhir, dunia telah menyaksikan dinosaurus hidup dan punah, Pangaea terbelah menjadi benua dan pulau seperti yang kita kenal sekarang, dan manusia dengan cepat dan secara permanen mengubah wajah Bumi tempat kita tinggal.
Namun, sepanjang sejarahnya, Bumi nampaknya tetap setia pada ritme waktu.
Advertisement
Melansir dari ScienceAlert, Jumat (22/12/2023), penelitian terhadap kejadian-kejadian geologi kuno menunjukkan bahwa planet kita mengalami aktivitas geologi yang lambat namun stabil, membentuk semacam 'detak jantung' yang terjadi setiap 27 juta tahun atau lebih.
Rangkaian kejadian geologis tersebut melibatkan berbagai hal, seperti gunung berapi meletus, kepunahan massal, pergeseran lempeng Bumi, dan kenaikan permukaan laut. Semua ini terjadi secara perlahan namun pasti, membentuk pola siklus yang terjadi setiap 27,5 juta tahun.
Beruntungnya bagi kita, para peneliti yakin kita masih punya sekitar 20 juta tahun sebelum terjadi 'denyut nadi' berikutnya.
"Banyak ahli geologi percaya bahwa peristiwa geologi terjadi secara acak dari waktu ke waktu," ujar Michael Rampino, ahli geologi New York University sekaligus penulis utama studi tersebut, dalam pernyataannya pada tahun 2021.
"Tetapi penelitian kami memberikan bukti statistik untuk siklus umum, menunjukkan bahwa peristiwa geologi ini berkorelasi dan tidak acak," tambahnya.
Memahami Pola Denyut Bencana Bumi
Tim melakukan penelitian terhadap usia 89 kejadian geologi yang telah dipelajari dengan baik dalam kurun waktu 260 juta tahun terakhir.
Seperti yang terlihat dari grafik di bawah ini, beberapa periode tersebut merupakan masa sulit, di mana lebih dari delapan kejadian yang signifikan dalam mengubah dunia terjadi dalam jangka waktu yang relatif singkat secara geologis, membentuk pola 'denyut' bencana.
Tim peneliti menuliskan dalam makalah mereka bahwa kejadian-kejadian tersebut melibatkan periode kepunahan di laut dan di daratan, peristiwa besar anoksik di lautan, letusan banjir basal di berbagai benua, fluktuasi permukaan laut, gelombang magmatisme global dalam lempeng bumi, dan masa-masa ketika laju penyebaran dasar laut dan reorganisasi lempeng.
"Hasil kami menunjukkan bahwa peristiwa geologi global umumnya berkorelasi, dan tampaknya terjadi secara bersamaan dengan siklus yang mendasarinya kurang lebih 27,5 juta tahun," tulis peneliti.
Advertisement
Menelusuri Siklus Peristiwa Selama Berabad-Abad
Para ahli geologi telah meneliti kemungkinan siklus peristiwa geologi selama waktu yang cukup lama. Pada dekade 1920-an dan 30-an, ilmuwan dari era itu berpendapat bahwa catatan geologi menunjukkan siklus sekitar 30 juta tahun.
Sementara itu, pada tahun 1980-an dan 90-an, peneliti menggunakan data peristiwa geologi terbaik pada saat itu untuk menetapkan rentang waktu panjang antara 'denyut' sekitar 26,2 hingga 30,6 juta tahun.
Saat ini, semuanya terlihat dalam kondisi baik, 27,5 juta tahun adalah durasi yang sesuai dengan prediksi. Sebuah studi yang dipublikasikan pada akhir tahun 2020 oleh peneliti yang sama menunjukkan bahwa pada periode 27,5 juta tahun ini juga merupakan saat terjadinya kepunahan massal.
"Makalah ini cukup bagus, tapi sebenarnya menurut saya makalah yang lebih baik tentang fenomena ini adalah makalah tahun 2018 yang ditulis oleh Muller dan Dutkiewicz," ahli geologi tektonik Alan Collins dari University of Adelaide, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan kepada ScienceAlert pada tahun 2021.
Dalam makalah tahun 2018 yang ditulis oleh dua peneliti dari University of Sydney, mereka menyelidiki siklus karbon di Bumi serta pergerakan lempeng tektonik, dan menyimpulkan bahwa siklus tersebut terjadi dalam rentang sekitar 26 juta tahun.
Jaringan Sebab-Akibat dalam Detak Jantung Geologis Bumi
Alan Collins menjelaskan bahwa dalam studi terbaru ini, banyak peristiwa yang diselidiki oleh tim memiliki hubungan sebab-akibat, yang berarti bahwa satu peristiwa secara langsung mengakibatkan peristiwa lainnya. Sehingga, beberapa dari 89 peristiwa tersebut saling terkait, seperti contohnya, peristiwa anoksik yang menyebabkan kepunahan laut.
"Meski begitu, siklus 26-30 juta tahun ini tampaknya nyata dan dalam jangka waktu yang lebih lama, juga tidak jelas apa penyebab mendasarnya," tambah Alan Collins.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Rampino dan timnya menunjukkan bahwa serangan komet mungkin menjadi penyebabnya. Bahkan, ada pandangan dari seorang peneliti luar angkasa yang menyatakan bahwa Planet Sembilan mungkin menjadi pemicunya.
Namun, jika Bumi memang mengalami 'detak jantung' geologis, kemungkinan besar disebabkan oleh faktor yang lebih terkait dengan keadaan di dekat Bumi.
"Gelombang siklus tektonik dan perubahan iklim ini mungkin merupakan hasil dari proses geofisika yang berkaitan dengan dinamika lempeng tektonik dan bulu mantel, atau mungkin juga disebabkan oleh siklus astronomi yang terkait dengan pergerakan Bumi di Tata Surya dan Galaksi," tulis tim peneliti.
Penelitian ini dipublikasikan di Geoscience Frontiers.
Advertisement