Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa hari terakhir, serangan bom Israel dilaporkan menargetkan sejumlah rumah sakit di Gaza. Krisis listrik dan air yang telah menutup separuh dari 35 rumah sakit di Gaza, juga berdampak drastis pada Rumah Sakit Al-Aqsa Martyrs di pusat wilayah kantong Palestina itu.
Bayi-bayi di inkubator dan pasien dialisis jadi yang paling berisiko karena pengobatan mereka bergantung pada ketersediaan bahan bakar untuk menyalakan mesin. Apalagi, Al-Aqsa merupakan satu-satunya fasilitas untuk pasien ginjal di wilayah tengah Jalur Gaza, juru bicara rumah sakit Khalil al-Dakran, mengatakan pada lembaga cek fakta Al Jazeera, Sanad, dikutip Selasa (14/11/2023).
Advertisement
"Jika listrik dan air padam dan bahan bakar habis, pasien akan dipindahkan ke kuburan massal jika agresi terus berlanjut," al-Dakran memperingatkan. "Dan dunia (hanya) menonton."
Rumah sakit tersebut mengalami lonjakan jumlah pasien sejak awal konflik pecah awal bulan lalu. Ketika ribuan pengungsi dari wilayah utara Gaza bermigrasi ke selatan, jumlah pasien meningkat, terutama mereka yang menderita penyakit kronis, seperti ginjal.
Rumah sakit harus membatasi waktu perawatan dialisis dari 4 jam jadi 2,5 jam. Juga, terpaksa mengurangi frekuensi sesi dialisis pasien per minggu, kata al-Dakran. Para pasien ketakutan, tidak hanya karena bom Israel, tapi juga apakah mereka akan menerima perawatan yang mereka perlukan.
"Saya menjalani cuci darah tiga kali seminggu, menunggu berjam-jam di jalan yang padat, ketakutan," kata Maryam al-Jayar, seorang pengungsi, pada Sanad.
Tekanan Perang
Seorang pasien penyakit ginjal lainnya, Nesma Sharir, berkata, "Kami menunggu lama, dari pagi hingga malam, untuk cuci darah. Sementara pemboman terus berlanjut. Sekarang (waktu) cuci darah saya jadi lebih pendek dan lebih jarang, ditambah kekurangan air dan listrik, proses dialisis itu sendiri tidak berjalan dengan baik dan dapat menyebabkan pembekuan darah."
Sementara itu, departemen perawatan intensif neonatal di Al-Aqsa juga terpuruk di bawah tekanan perang. Perawat Warda al-Awawda berdiri di atas inkubator, memeriksa bayi-bayi yang tergeletak di dalamnya. Ia dan rekan-rekannya mengatakan ada lebih banyak bayi baru lahir yang dirawat di unit perawatan intensif.
Tidak hanya bayi prematur, tapi juga bayi baru lahir yang terluka akibat pemboman tersebut. Terkadang, perjalanan yang harus ditempuh bayi untuk sampai ke rumah sakit berkontribusi pada memburuknya kesehatan mereka, kata al-Awada.
Ia menunjukkan bahwa ada ibu yang membawa bayinya, atau bayi tanpa ibu, datang dengan berbagai macam transportasi, termasuk gerobak keledai dalam beberapa kasus. Beberapa bayi digendong ke rumah sakit dalam pelukan, namun tetap berdesak-desakan karena mereka diselamatkan dari reruntuhan.
Advertisement
Bayi Ditemukan di Reruntuhan
Ini dilakukan karena mereka ingin bayi-bayi itu mendapat perawatan secepat mungkin, namun tidak ada tandu untuk membawanya. Seorang bayi, Hassan Mishmish, tiba di rumah sakit setelah diselamatkan dari bawah reruntuhan, sementara orangtuanya ditemukan tewas.
"Ia berada di pelukan ibunya yang sudah meninggal, tertutup debu," kata al-Awawda. "Semua staf perawat bergiliran merawatnya setelah ia kehilangan orang tuanya. Saudaranya juga terluka, dia (dirawat) di bangsal anak-anak. Neneknya juga terluka. Tidak ada seorang pun dari keluarganya yang tersisa untuk merawatnya."
Al-Awada mengatakan, ada puluhan kasus serupa mengenai bayi yang ditemukan di bawah reruntuhan. Semakin sulit bagi perawat di sana untuk merawat bayi-bayi tersebut, meski bukan karena kurangnya usaha. Rumah sakit ini sedang mengalami kekurangan pasokan penting, termasuk kebutuhan pokok, seperti sabun untuk sanitasi tangan.
Setidaknya 32 pasien, termasuk enam bayi prematur, meninggal di Rumah Sakit al-Shifa dalam tiga hari terakhir, kata juru bicara Kementerian Kesehatan Palestina Ashraf al-Qudra pada Senin, 13 November 2023. Fasilitas medis terbesar di Gaza itu terpaksa ditutup karena kekurangan bahan bakar dan obat-obatan.
100 Jenazah Membusuk di Rumah Sakit
Lebih dari 100 jenazah membusuk di dalam rumah sakit, menunggu untuk dikuburkan. "Sayangnya, rumah sakit tersebut sudah tidak berfungsi sebagai rumah sakit lagi," kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lapor Al Jazeera.
Ia menyambung, "Dunia tidak bisa berdiam diri ketika rumah sakit, yang seharusnya jadi tempat berlindung yang aman, berubah jadi rumah duka, kehancuran, dan keputusasaan."
Israel memberlakukan pengepungan total di Gaza, yang merupakan rumah bagi 2,3 juta orang, melarang masuknya bahan bakar, makanan, listrik, dan air setelah melancarkan serangan militernya pada 7 Oktober 2023. Tindakan Israel terjadi setelah serangan Hamas merenggut lebih dari 1.200 nyawa di negara itu.
Semua rumah sakit di Gaza utara sekarang "tidak berfungsi," karena serangan udara Israel. Staf Rumah Sakit al-Shifa terpaksa menjajarkan bayi prematur di tempat tidur biasa, menggunakan sedikit daya yang tersedia untuk menyalakan penghangat.
"Kami memperkirakan akan semakin banyak pasien yang meninggal dunia dari hari ke hari," kata Dr Ahmed El Mokhallalati, seorang dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut.
Advertisement