Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada tahun 2024 mendatang sebesar Rp1.988,9 triliun. Angka ini tumbuh 9,4 persen dibandingkan perkiraan realisasi pada tahun 2023 yang mencapai 1.818,2 triliun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menyebut bahwa kenaikan target ini seiring dengan kondisi perekonomian yang membaik.
Advertisement
“Penerimaan pajak tahun 2024 diharapkan tumbuh meningkat dibandingkan tahun 2023 sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan didukung oleh berbagai kebijakan pajak yang optimal,” kata Suryo Utomo.
Mencapai target pajak pada tahun 2024 yang lebih tinggi memang tidak mudah. Pasalnya, ada sederet permasalahan yang harus direspons, antara lain tensi geopolitik yang semakin memanas. Mulai dari perang Rusia dan Ukraina yang masih belum usia, kembali bergejolaknya perang Israel dan Hamas. Ketegangan Amerika Serikat (AS) dan China yang dapat memberikan pengaruh terhadap perdagangan global.
Selain kondisi geopolitik, permasalahan selanjutnya yang tidak bisa dianggap sepele adalah dampak perubahan iklim yang sudah terlihat sekarang dengan kekeringan di mana-mana dan memicu krisis pangan dalam jangka waktu lama. Kemudian yang tidak kalah pelik adalah perkembangan digitalisasi yang teramat cepat.
Penerimaan Pajak Sampai Periode September 2023
Namun bila berkaca tahun ini, penerimaan pajak pada periode Januari - September 2023 tumbuh positif berkat dukungan kinerja kegiatan ekonomi yang baik. Bahkan realisasinya mencapai Rp1.387,78 triliun (80,78% dari target) atau tumbuh 5,9%.
Penopangnya adalah PPh nonmigas yang sebesar Rp771,75 triliun (88,34 persen) atau tumbuh 6,69 persen. Kemudian PPN dan PPnBM berhasil dikumpulkan Rp536,73 triliun (72,24 persen) atau tumbuh 6,39 persen. Sementara, PBB dan Pajak Lainnya sebesar Rp 24,99 T, serta PPh Migas sebesar Rp 54,31 T.
Kinerja penerimaan memang melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab utamanya adalah penurunan signifikan harga komoditas, penurunan nilai impor, dan tidak berulangnya kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Ke depannya, penerimaan pajak akan mengikuti fluktuasi variabel ekonomi makro, terutama harga komoditas, konsumsi dalam negeri, belanja pemerintah, aktivitas impor, dan variabel lainnya.
Namun demikian, pertumbuhan penerimaan pada akhir tahun (5,9%) diperkirakan lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan Januari-Agustus (6,4%). Alasannya yaitu ada penurunan harga komoditas diperkirakan berlanjut dan perlambatan perdagangan global yang persisten. Hal ini akan menimbulkan tekanan pada PPh/PPN Impor dan PPN DN, serta akan mendorong WP untuk melakukan penurunan angsuran PPh Badan.
Arah Kebijakan Perpajakan 2024 untuk Dukung Transformasi Ekonomi
Pemerintah memastikan kebijakan umum perpajakan 2024 diarahkan untuk mendukung proses transformasi ekonomi agar terus berjalan di tengah berbagai tantangan. Hal ini dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan terkait Pengawasan Pembayaran Masa (PPM) dan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM). Selain itu, kebijakan lain juga dilakukan untuk mengoptimalkan capaian penerimaan pada tahun mendatang antara lain mendorong tingkat kepatuhan dan integrasi teknologi dalam sistem perpajakan, memperluas basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, memperkuat sinergi melalui joint program, memanfaatkan data, dan melakukan tindakan penegakan hukum.
Pemerintah turut menjaga efektivitas implementasi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk mendorong peningkatan rasio perpajakan dan insentif perpajakan secara terarah dan terukur guna mendukung iklim dan daya saing usaha, serta transformasi ekonomi yang bernilai tambah tinggi.
Secara teknis, Dwi menambahkan, dalam optimalisasi perluasan basis pemajakan sebagai tindak lanjut UU HPP, langkah yang ditempuh adalah tindak lanjut program pengungkapan sukarela dan implementasi NIK sebagai NPWP.
Kuatkan Ekstensifikasi Pajak
Kedepannya, Ditjen Pajak juga akan menguatkan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan, seperti implementasi penyusunan Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4) dan prioritas pengawasan atas WP High Wealth Individual (HWI) beserta WP Group, transaksi afiliasi, dan ekonomi digital.
Dari kegiatan penegakan hukum, Ditjen Pajak tetap akan menjunjung tinggi prinsip yang berkeadilan, di mana melakukan optimalisasi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan pemanfaatan kegiatan digital forensics.
Ditjen Pajak optimis dapat mengatasi seluruh tantangan mengingat Core Tax Administration System (CTAS) akan diimplementasikan pada pertengahan tahun 2024. Melalui implementasi CTAS, diharapkan sistem informasi serta proses bisnis Ditjen Pajak dapat semakin terintegrasi dan andal sehingga menjadikan Ditjen Pajak sebagai institusi penerimaan negara yang kuat, kredibel, dan akuntabel.
Advertisement
Instrumen Pajak Jadi Pendorong Perekonomian
Pajak tidak hanya berkaitan dengan penerimaan negara. Pajak juga menjadi instrumen kebijakan fiskal, baik untuk mendukung program pemerintah maupun dalam kondisi darurat (discretionary measures).
Instrumen kebijakan fiskal yang dimaksud meliputi PPN tidak terutang atas pengusaha kecil (omzet sampai dengan Rp4,8 M), PPN dibebaskan atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan kesehatan, Tax Holiday & Tax Allowance, Pengurangan 50 persen tarif PPh bagi WP badan UMKM (omzet s.d Rp50 M), PPh final 0,5% untuk WP dengan omzet usaha tertentu sesuai PP 55 2022, pembebasan PPh final untuk WP OP dengan omzet tertentu sesuai PP 55 2022 dengan omzet s.d. Rp500 juta, Free Trade Zone (dibebaskan PPN dan PPnBM), Kawasan Ekonomi Khusus (tidak dipungut PPN dan PPnBM), PPN tidak dipungut di Kawasan Berikat, pembebasan PPN atas impor atau penyerahan mesin dan/atau peralatan, PPN tidak dipungut atas alat angkutan tertentu, PPN DTP atas rumah, serta PPN DTP atas mobil listrik. Insentif tersebut sudah berjalan dan diharapkan akan berlanjut pada 2024 mendatang.
Tetap membangun optimisme
Meski dihadang oleh berbagai tantangan, pada tahun ini penerimaan pajak untuk periode Januari s.d. Agustus masih tumbuh positif terutama didukung oleh kinerja kegiatan ekonomi yang baik. Realisasinya mencapai Rp1.246,97 triliun (72,58 persen dari target) atau tumbuh 6,4 persen.
Pertumbuhan ini ditopang oleh PPh non migas yang mencapai angka Rp708,23 triliun (81,07 persen) atau tumbuh sebesar 7,06 persen. Selain itu, PPN yang berhasil dikumpulkan berjumlah Rp477,58 triliun (64,28 persen) atau tumbuh 8,14 persen.
Ke depannya, penerimaan pajak akan mengikuti fluktuasi variabel ekonomi makro, terutama harga komoditas, konsumsi dalam negeri, belanja pemerintah, aktivitas impor, dan variabel lainnya. Oleh karena itu, penerimaan pajak diperkirakan akan mencapai realisasi yang lebih besar dari target APBN 2023 yang sebesar Rp1.718 triliun.
Pencapaian penerimaan pajak tersebut didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil. Selain itu, terdapat spillover effect dari kenaikan harga komoditas tahun 2022. Profit tahun 2022 pada SPT Tahunan yang disampaikan dan dibayarkan PPh terutang pada April 2023 pun turut memberi dampak positif. Di akhir tahun 2023, pertumbuhan penerimaan terutama ditopang oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), yang diperkirakan tumbuh 10,9 persen menjadi Rp811,4 triliun sejalan dengan peningkatan konsumsi. Kemudian Pajak Penghasilan juga diproyeksikan tumbuh 8,6 persen menjadi Rp1.139,8 triliun. Sementara PBB dan Pajak Lainnya diperkirakan tetap Rp37,7 triliun.
Selain itu, strategi pemberian berbagai insentif perpajakan yang tepat dan terukur juga diharapkan mampu mendorong percepatan pemulihan dan peningkatan daya saing investasi nasional, serta memacu transformasi ekonomi.
(*)