Liputan6.com, Jakarta - Memanfaatkan barang dan apa saja yang dimiliki untuk tujuan kebaikan merupakan suatu kebolehan bahkan menjadi hal yang diperintahkan dalam Islam. Kelimpahan harta yang dimiliki dan ternyata bermanfaat bagi orang lain tentu saja akan memberikan manfaat lebih.
Tapi bukan berarti bagi yang hanya memiliki sedikit harta menjadi suatu penghalang untuk berbagi. Hal tersebut tetap dapat dilakukan menyesuaikan dengan kapasitas masing-masing.
Seperti cerita berikut ini berisi gambaran bagaimana nasib bagi mereka yang memiliki cukup harta serta dermawan. Sedangkan pada saat yang sama, ada yang memiliki sedikit harta sehingga hanya saja lebih fokus kepada dirinya dan enggan berbagi.
Baca Juga
Advertisement
Kisah ini terdapat dalam kitab Al-Minahus Saniyyah oleh Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani yang menceritakan dua orang dengan kondisi kontras. Pertama seorang laki-laki kaya raya dan perempuan miskin. Dalam keseharian pun, keduanya tampak begitu berbeda.
Sang lelaki hidupnya padat oleh kesibukan duniawi. Sementara perempuan miskin itu justru menghabiskan waktunya untuk selalu beribadah. Berikut kisah selengkapnya merangkum dari laman NU Online Jatim.
Saksikan Video Pilihan ini:
Bejana Wudhu yang Mengantarkan ke Neraka
Kesungguhan dan kerja keras lelaki tersebut membawanya pada kemapanan ekonomi yang diidamkan. Kekayaannya tak ia nikmati sendiri. Keluarga yang menjadi tanggung jawabnya merasakan dampak ketercukupan karena jerih payahnya. Lelaki ini memang sedang berkerja untuk kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak-anaknya.
Nasib lain dialami si perempuan miskin. Para tetangganya tak menemukan harta apapun di rumahnya. Kecuali sebuah bejana dengan persediaan air wudhu di dalamnya. Ya, bagi wanita taat ini, air wudhu menjadi kekayaan yang membanggakan meski hidup masih pas-pasan. Bukanah kesucian menjadikan ibadah kita lebih diterima dan khidmat? Dan karenanya menjanjikan balasan yang jauh lebih agung dari sekadar kekayaan duniawi yang fana ini?
Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani menceritakan, suatu ketika ada seorang yang mengambil wudhu dari bejana milik perempuan itu. Melihat hal demikian, si perempuan berbisik dalam hati: "Kalau air itu habis, lalu bagaimana aku akan berwudhu untuk menunaikan sembahyang sunnah nanti malam?"
Apa yang tampak secara lahir tak selalu menunjukkan keadaan sebenarnya. Diceritakan, setelah meninggal dunia keadaan keduanya jauh berbeda. Sang lelaki kaya raya itu mendapat kenikmatan surga, sementara si perempuan miskin yang taat beribadah itu justru masuk neraka. Apa penyebabnya?
Advertisement
Hikmah Bersikap Zuhud
Lelaki hartawan tersebut menerima kemuliaan lantaran sikap zuhudnya dari gemerlap duniawi. Kekayaannya yang banyak tak lantas membuatnya larut dalam kemewahan, cinta dunia, serta kebakhilan. Apa yang dimilikinya semata untuk kebutuhan hidup, menunjang keadaan untuk mencari ridha Allah.
Pandangan hidup semacam ini tak dimiliki si perempuan. Hidupnya yang serba kekurangan justru menjerumuskan hatinya pada cinta kebendaan. Buktinya, ia tak mampu merelakan orang lain berwudhu dengan airnya, meski dengan alasan untuk beribadah. Ketidakikhlasannya adalah petunjuk bahwa ia miskin bukan karena terlepas dari cinta kebendaan melainkan “dipaksa” oleh keadaan.
Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani menjelaskan dalam kitab yang sama bahwa zuhud adalah meninggalkan kecenderungan hati pada kesenangan duniawi, tapi bukan berarti mengosongkan tangan dari harta sama sekali. Segenap kekayaan dunia direngkuh untuk memenuhi kadar kebutuhan dan memaksimalkan keadaan untuk beribadah kepada-Nya.
Nasihat ulama sufi ini juga berlaku kebalikannya. Untuk cinta dunia, seseorang tak mesti menjadi kaya raya terlebih dahulu. Karena zuhud memang berurusan dengan hati, bukan secara langsung dengan alam bendawi.