Joe Biden Alihkan Permintaan Jokowi untuk Gencatan Senjata di Gaza

Presiden AS Joe Biden tidak menanggapi ucapan Jokowi soal Gaza.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 15 Nov 2023, 09:44 WIB
Presiden RI Joko Widodo di Gedung Putih membaca teks terkait perlindungan Gaza. Dok: YouTube The White House

Liputan6.com, Washington, DC - Presiden RI Joko Widodo telah bertemu Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih. Kedua pemimpin membahas isu kerja sama ekonomi hingga iklim. 

Tak lupa, Presiden Jokowi membacakan pesan agar ada gencatan senjata di Jalur Gaza. Jokowi menyebut gencatan senjata (ceasefire) adalah hal yang harus dilakukan. 

"Indonesia juga berharap kemitraan kita berkontribusi kepada perdamaian dan kesejahteraan regional dan global. Jadi, Indonesia memohon kepada AS untuk melakukan lebih banyak untuk menghentikan kekejian di Gaza. Gencatan senjata adalah hal yang harus demi kemanusiaan," ujar Presiden RI Joko Widodo dalam video yang ditayangkan kanal YouTube The White House, Selasa (14/11). 

Setelah Jokowi mengatakan hal itu, Presiden AS Joe Biden tidak menanggapi dan langsung beralih membahas cuaca bahwa Jokowi kedinginan. 

"Saat kita bertemu di luar, saat kamu keluar dari mobil, kita memiliki diskusi penting tentang iklim. Presiden bilang "saya dingin". Saya bilang ke dia bahwa saya bisa mengatasi itu secepatnya," ujar Biden seraya menunjuk ke arah perapian.

Jokowi lantas ikut tertawa dan bersalaman dengan Joe Biden.

Pada pernyataan resmi pertemuan Jokowi-Biden yang dirilis Gedung Putih, tidak tertulis pula soal gencatan senjata. Posisi Presiden AS Joe Biden sebenarnya telah jelas untuk menolak gencatan senjata antara Hamas vs. Israel. Joe Biden lebih mendukung adanya jeda.

Sebelumnya, mantan Menlu AS Hillary Clinton, yang juga sekutu dekat Biden, berkata gencatan senjata hanya akan menguntungkan pihak Hamas saja, sebab mereka akan menggunakan waktu gencatan senjata untuk membangun persenjataan saja.


WHO: RS Al-Shifa yang Terbesar di Jalur Gaza Hampir Seperti Kuburan

Warga Palestina memeriksa bangunan hancur yang menampung kantor The Associated Press dan media lainnya, setelah terkena serangan udara Israel pekan lalu, di Kota Gaza, Jumat (21/5/2021). Israel dan Hamas telah sepakat untuk gencatan senjata setelah 11 hari pertempuran. (AP Photo/Hatem Moussa)

Sebelumnya dilaporkan, WHO mengatakan bahwa Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza mulai berubah menjadi kuburan. Jenazah mulai bertambah banyak di rumah sakit tersebut dan membuat staf kewalahan.

"Di sekitar rumah sakit, ada jasad-jasad yang tidak bisa diurus atau bahkan dikubur atau diangkat ke tempat seperti kamar mayat," ujar Christian Lindmeier, juru bicara WHO, dikutip BBC, Selasa (14/11/2023).

RS Al-Shifa merupakan yang terbesar di Kota Gaza. Tapi kondisinya memprihatinkan karena terdampak serangan Israel.

"Rumah sakit itu tidak berfungsi sama sekali seperti seharusnya. Itu hampir seperti sebuah kuburan," kata Lindmeier.

Ada juga belasan bayi yang terlahir prematur di RS Al-Shifa yang berada dalam kondisi berisiko karena inkubator terdampak kesulitan listrik di rumah sakit tersebut.

Sementara itu, PBB berkata ada 100 staf UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine) yang tewas sejak perang di Jalur Gaza dimulai.

Sekjen PBB Antonio Guterres lantas menggelar mengheningkan cipta bersama para pejabat di PBB.

"Sejak dimulainya konflik ini, lebih dari 100 staf UNRWA telah kehilangan nyawa - angkat tertinggi pekerja kesehatan PBB yang terbunuh dalam konflik dalam jangka waktu yang amat singkat. Mereka tidak akan dilupakan," ujar Guterres melalui platform X.


Dokter Minta Bayi-bayi Prematur Diselamatkan

Bayi prematur di Rumah Sakit Al Shifa Gaza dibaringkan di atas aluminium foil agar tetap hangat setelah inkubator mereka dimatikan karena listrik padam pada Minggu, 12 November 2023. (Medical Aids for Palestine)

Para dokter memohon bantuan setelah rumah sakit terbesar di Gaza, Al-Shifa yang berada di Kota Gaza, lumpuh dan berhenti berfungsi sebagai rumah sakit pada akhir pekan ketika listrik padam dan ledakan terjadi di halaman, tempat ribuan orang berlindung di tengah perang Israel-Hamas yang sedang berlangsung.

Anggota staf di dalam menggambarkan adegan putus asa saat mereka berjuang untuk menjaga pasien mereka yang paling rentan tetap hidup.

"Kami tidak mempunyai listrik. Tidak ada air di rumah sakit. Tidak ada makanan. Orang-orang akan meninggal dalam beberapa jam jika ventilator tidak berfungsi," kata seorang dokter dari kelompok kemanusiaan internasional Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan Senin 13 November 2023, dikutip dari ABC News, Selasa (14/11/2023).

"Di depan gerbang utama banyak jenazah. Ada juga jenazah yang terluka, kami tidak bisa membawa mereka masuk," lanjut pernyataan itu, seraya menambahkan bahwa upaya untuk mengevakuasi pasien berakhir dengan penyerangan.

Ahmed Mokhallalati, kepala operasi plastik Al-Shifa, mengatakan kepada ABC News dalam sebuah wawancara telepon hari Senin bahwa bau busuk dari jenazah di luar sangat buruk sehingga mereka harus menutup jendela rumah sakit.

Tapi dia, bersama para dokter yang masih tinggal di RS Al-Shifa, tidak mau meninggalkan pasiennya.

"Tim medis setuju untuk meninggalkan rumah sakit hanya jika pasien dievakuasi terlebih dahulu: Kami tidak ingin meninggalkan pasien kami," kata pernyataan MSF.

Di antara pasien yang paling rentan adalah bayi baru lahir.

"Bayi-bayi yang baru lahir…merekalah yang kami khawatirkan akan meninggal satu demi satu karena kami didorong untuk memindahkan mereka ke luar area inkubator," kata Mokhallalati kepada ABC News.

 


Tak Ada Listrik, Staf dan Air

Anggota keluarga Palestina Abu Dayer menangis di rumah sakit Al-Shifa setelah kematian anggota keluarga dalam serangan udara Israel di Kota Gaza, Senin (17/5/2021). Tercatat ada 212 penduduk Jalur Gaza, Palestina yang kehilangan nyawa di antaranya 61 korban merupakan anak-anak. (MAHMUD HAMS/AFP)

Shireen Noman Abed, seorang ahli neonatologi dan hingga saat ini kepala unit neonatal Al-Shifa, menjelaskan situasi yang mengancam jiwa bayi-bayi ini.

"Mereka tidak memiliki listrik untuk memberi mereka kehangatan. Mereka tidak mempunyai staf untuk merawat mereka," tutur Shireen Noman Abed kepada ABC News.

"Kebanyakan adalah bayi prematur yang membutuhkan inkubator, membutuhkan listrik, membutuhkan makanan khusus, membutuhkan perawatan," ujarnya lagi.

Kekhawatiran khusus bagi Noman Abed adalah kurangnya air yang aman untuk dicampur dengan susu formula bayi.

"Kami memperkirakan semua orang akan mati karena mereka tidak mempunyai air untuk menyiapkan [susu formula] bagi mereka," katanya kepada ABC News.

Rumah Sakit Al-Shifa telah berjuang untuk beroperasi dengan bahan bakar yang terbatas selama berhari-hari, dan para dokter memperingatkan bahwa rumah sakit tersebut akan segera runtuh. Pada Jumat 10 November, pertempuran di sekitar rumah sakit meningkat dan serangan terjadi di halaman luar rumah sakit.

Infografis Tragedi Kemanusiaan 3.000 Lebih Anak Meninggal di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya