Hujan Lebat Mengguyur Gaza, Pengungsi Palestina Dihantui Penderitaan Tambahan

Sebagian pengungsi Palestina di Gaza berharap hujan berhenti, namun ada pula yang gembira menyambutnya.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 15 Nov 2023, 19:40 WIB
Dimulainya musim hujan dan kemungkinan banjir telah meningkatkan kekhawatiran bahwa sistem pembuangan limbah yang rusak di daerah kantong tersebut akan kewalahan dan menyebarkan penyakit. (SAID KHATIB / AFP)

Liputan6.com, Gaza - Gaza diguyur hujan lebat pada Selasa (14/11/2023), membawa kekhawatiran dan tantangan baru bagi warga Palestina yang kini tinggal di tenda-tenda darurat setelah berminggu-minggu dibombardir Israel.

"Dulu kami berada di sebuah rumah yang terbuat dari beton dan sekarang kami ada di tenda," ujar Fayeza Srour, salah seorang pengungsi di Khan Younis, Gaza selatan, seperti dilansir Reuters, Rabu (15/11).

"Terpal nilon, tenda, dan kayu tidak tahan terhadap banjir ... Orang-orang yang tidur beralaskan tanah, apa yang bisa mereka lakukan? Kemana mereka akan pergi?"

Musim Dingin berpotensi basah dan "menggigil" di Gaza, belum lagi potensi daerah kantong ini dilanda banjir.

Pengungsi Gaza lainnya, Karim Mreish, mengatakan orang-orang di tempat penampungan berdoa agar hujan berhenti.

"Anak-anak, perempuan, dan orang tua berdoa kepada Tuhan agar hujan tidak turun," tutur dia. "Jika hujan turun maka akan sangat sulit dan kata-kata tidak akan dapat menggambarkan penderitaan kami."

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu mengatakan Gaza menghadapi peningkatan risiko penyebaran penyakit karena pengeboman udara Israel telah mengganggu sistem kesehatan, membatasi akses terhadap air bersih, dan menyebabkan orang berkerumun di tempat penampungan.

Mereka menyuarakan keprihatinan pada Selasa mengenai kemungkinan hujan yang menyebabkan banjir dan fasilitas pembuangan limbah yang sudah terbatas dan rusak.

"Wabah penyakit diare sudah melanda," ungkap juru bicara WHO Margaret Harris di Jenewa.

Dia mengatakan ada lebih dari 30.000 kasus diare pada periode di mana WHO biasanya memperkirakan 2.000 kasus.

"Kita mengalami banyak kerusakan infrastruktur. Kita kekurangan air bersih. Ada banyak orang yang berkumpul bersama. Ini adalah alasan lain mengapa kita memohon agar gencatan senjata dilakukan sekarang," tegasnya.

Juru bicara Dewan Pengungsi Norwegia Ahmed Bayram memperingatkan awal musim hujan bisa menandai minggu tersulit di Gaza di tengah eskalasi pertempuran.

"Hujan lebat akan membuat pergerakan masyarakat dan tim penyelamat semakin terhambat," sebut Bayram. "Akan lebih sulit untuk menyelamatkan orang-orang yang terjebak di bawah reruntuhan atau menguburkan orang mati, semua ini terjadi di tengah pengeboman yang tak henti-hentinya dan bencana kekurangan bahan bakar."


Tidak Ada yang Siap

Seorang anak laki-laki berdiri di tengah hujan di sebuah sekolah yang dikelola oleh BBadan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di Rafah, Jalur Gaza selatan, Selasa (14/11/2023). (SAID KHATIB / AFP)

Israel telah bersumpah memusnahkan Hamas pasca serangan kelompok tersebut ke wilayah selatan mereka pada 7 Oktober, di mana Israel mengklaim setidaknya 1.200 orang tewas dan lebih dari 200 orang disandera. Otoritas kesehatan Gaza mengumumkan bahwa lebih dari 11.000 warga Palestina di Gaza tewas dalam serangan balasan Israel sejak saat itu.

Menghadapi besarnya kebutuhan kemanusiaan bagi sekitar 2,3 juta warga Gaza, organisasi-organisasi bantuan tidak mampu merencanakan tantangan yang dipicu oleh hujan dan banjir .

Direktur Komunikasi di Badan Urusan Pengungsi Palestina PBB (UNRWA) Juliette Touma menuturkan bahwa organisasinya fokus pada pemenuhan kebutuhan penduduk saat ini.

"Kami sendiri hampir tidak mampu bertahan dari satu jam ke jam berikutnya karena situasi di lapangan sangat, sangat, sangat menyedihkan," ujarnya.

Touma mengatakan hujan dalam jumlah kecil saja dapat menyebabkan jalan-jalan di Gaza terendam banjir, mengingat ketidakmampuan sistem pembuangan limbah menyerap air.

"Ini terjadi pada hari-hari biasa. Bukan saat separuh Gaza atau bahkan lebih, berada dalam reruntuhan," tutur Touma.


Air Hujan Jadi Air Minum

Salah satu pengungsi menggunakan tangan untuk meminum air hujan yang menetes dari atap tenda pengungsian yang dikelola oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengungsi Palestina di Rafah, Jalur Gaza Selatan pada 14 November 2023. (SAID KHATIB/AFP)

Pernyataan senada dengan Touma diungkapkan oleh Komite Palang Merah Internasional (ICRC), yang menyatakan pihaknya juga tidak mampu membuat rencana yang jauh melampaui kebutuhan sehari-hari warga Gaza.

"Situasinya sangat fluktuatif dan rumit akibat pertempuran, sehingga kami benar-benar fokus pada konsekuensi kemanusiaan yang terjadi dari hari ke hari," kata ketua delegasi ICRC di Gaza William Schomburg.

Di lain sisi, hujan membawa kelegaan bagi beberapa pengungsi Palestina di Kota Deir Al-Balah di Gaza tengah yang tidak dapat cukup akses air minum dalam beberapa pekan terakhir. Beberapa orang pun menaruh ember plastik di luar tenda mereka untuk menampung air hujan.

"Kami sudah minum air asin selama 30 hari," kata Um Mohammad Shahin.

Infografis Kunjungan Jokowi ke AS, Bawa Misi Perdamaian Hamas-Israel? (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya