Liputan6.com, Jakarta - Adalah Megan Rice, seorang TikToker yang mengaku jadi mualaf karena terinspirasi ketangguhan dan keyakinan masyarakat Palestina di wilayah pendudukan Gaza yang tengah terus-terusan dibom militer Israel. Melalui rangkaian unggahannya di TikTok, ia mengucapkan syahadat.
Influencer itu juga berbicara tentang bagaimana ia merasa "aman dan tenteram" setelah mengenakan hijab sebagai seseorang "autis." Melansir TMJ News, Rabu, 15 November 2023, popularitas Megan melonjak setelah secara terbuka menyatakan dukungan terhadap Palestina.
Advertisement
Ia mengutuk serangan Israel terhadap warga sipil yang telah menewaskan lebih dari 11 ribu orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak. "Saya membuat video yang mengungkap kekaguman saya terhadap agama (orang) Palestina, dan orang-orang berkomentar, 'Ya, itulah Islam. Sudahkah Anda membaca Alquran? Anda mungkin harus membaca Al-Quran,'" ujarnya dalam video yang dibagikan di akun TikTok-nya.
Megan tampak senang dengan bagaimana Alquran mempromosikan kebebasan bercerai dan menikah kembali bagi perempuan tanpa hambatan. Ia bahkan memiliki klub buku di TikTok yang berupaya mendidik masyarakat tentang Islam, Alquran, dan agama lain.
Pengguna media sosial pun tersentuh dengan perubahan hidup Megan. Bersama itu, ia juga masih terus memberi suara dukungan pembebasan warga Palestina. Sejak perang Israel-Hamas meletus pada 7 Oktober 2023, seruan dukungan untuk Palestina memang sudah nyaring bergema.
Solidaritas salah satunya diungkap melalui slogan, "From the River to the Sea, Palestine will be Free." Ini merujuk pada peristiwa pembentukan negara tunggal yang membentang dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania yang mencakup wilayah bersejarahnya.
Simbol Solidaritas pada Palestina
Melansir Al Jazeera, 3 November 2023, perdebatan mengenai pembagian ini telah ada sebelum terbentuknya Israel pada 1948. Rencana yang diajukan setahun sebelumnya oleh PBB untuk membagi wilayah tersebut jadi sebuah negara Yahudi dan negara Palestina yang terpisah ditolak para pemimpin Arab saat itu.
Lebih dari 750 ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba, atau "bencana." Pimpinan PLO lantas menerima prospek solusi dua negara, namun kegagalan proses perdamaian Oslo pada 1993 dan upaya Amerika Serikat menengahi kesepakatan akhir di Camp David pada 2000 menyebabkan terjadinya Intifada kedua, pemberontakan massal di Palestina.
Apa arti slogan tersebut? Bagi pengamat Palestina dan Israel, penafsiran berbeda mengenai makna slogan tersebut tergantung pada istilah "bebas." Nimer Sultany, dosen hukum di School of Oriental and African Studies (SOAS) di London, mengatakan kata tersebut mengungkapkan "perlunya kesetaraan bagi semua penduduk Palestina."
Kebebasan di sini mengacu pada fakta bahwa rakyat Palestina tidak mendapat hak menentukan nasib sendiri sejak Inggris memberi hak pada kaum Yahudi untuk mendirikan tanah air nasional di Palestina melalui Deklarasi Balfour pada 1917.
Advertisement
Tidak Hanya Melalui Slogan
Namun, para pengamat pro-Israel berpendapat bahwa slogan tersebut memiliki efek mengerikan. "Bagi warga Yahudi Israel, kalimat ini mengatakan bahwa antara Sungai Yordan dan Mediterania, akan ada satu entitas, yang akan disebut Palestina, tidak akan ada negara Yahudi, dan status Yahudi dalam entitas apapun yang muncul akan sangat tidak jelas," kata Yehudah Mirsky, seorang rabbi dan profesor Universitas Brandeis yang berbasis di Yerusalem.
Ia melanjutkan, "Kedengarannya lebih seperti sebuah ancaman daripada janji pembebasan. Hal ini tidak menandakan masa depan di mana orang-orang Yahudi dapat memiliki kehidupan yang utuh dan jadi diri mereka sendiri."
Selain melalui slogan, dukungan pro-Palestina juga bergema melalui semangka. Mengutip TIME, 1 November 2023, simbol solidaritas pada Palestina ini pertama kali muncul setelah Perang Enam Hari pada 1967, ketika Israel menguasai wilayah tepi barat dan Gaza, serta mencaplok bagian timur Yerusalem.
Saat itu, pemerintah Israel menjadikan pengibaran bendera Palestina di Gaza dan wilayah tepi barat sebagai pelanggaran pidana. Menghindari konsekuensi hukum, warga Palestina mulai menggunakan semangka karena, ketika dibelah, buah tersebut mengemban warna bendera nasional negara itu: merah, hitam, putih, dan hijau.
Pasang Surut Aturan Penggunaan Bendera Palestina
Israel mencabut larangan penggunaan bendera Palestina pada 1993 sebagai bagian dari Perjanjian Oslo. Ini mencakup pengakuan timbal balik antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina, juga merupakan perjanjian formal pertama yang mencoba menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Bendera tersebut dianggap mewakili Otoritas Palestina, yang akan mengelola Gaza dan wilayah tepi barat. Setelah perjanjian tersebut, New York Times mengulas peran semangka sebagai simbol selama pelarangan bendera.
"Di Jalur Gaza, di mana para pemuda pernah ditangkap karena membawa irisan semangka yang menunjukkan warna merah, hitam, putih, dan hijau, tentara hanya berdiam diri, dengan sikap bosan, saat prosesi pengibaran bendera yang pernah dilarang berlangsung," tulis jurnalis Times, John Kifner.
Penggunaan semangka sebagai simbol muncul kembali pada 2021, menyusul keputusan pengadilan Israel bahwa keluarga Palestina yang tinggal di wilayah Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur akan diusir dari rumah mereka untuk dijadikan pemukiman warga mereka.
Baca Juga
Advertisement