Berkat Malta, DK PBB Loloskan Resolusi Bantuan Kemanusiaan di Gaza

Dewan Keamanan PBB meloloskan resolusi untuk bantuan kemanusiaan di Gaza.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 16 Nov 2023, 04:38 WIB
Kenzi Al Madhoun, seorang anak Palestina berusia empat tahun yang menjdi korban serangan Israel. Ia dirawat di RS Al Aqsa yang berlokasi di Jalur Gaza. (Ap Photo/Abdel Kareem Hana)

Liputan6.com, New York City - Dewan Keamanan PBB setuju pada resolusi bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza. Resolusi itu berasal dari Republik Malta. 

Sebanyak 12 orang anggota DK PBB mendukung resolusi Malta, serta ada tiga yang absensi, yaitu Rusia, Inggris Raya, dan Amerika Serikat. Menurut laporan UN News, Rabu (15/11), salah satu negara yang mendukung adalah Prancis.

"Prancis mendukung resolusi ini karena situasi kemanusiaan di Gaza sudah bencana," ujar Nicolas de Riviere, duta besar Prancis di PBB.

Meski golput, dubes Inggris di PBB Barbara Woodward mengakui bahwa resolusi Malta ini penting untuk menyalurkan bantuan. Ia pun berharap agar bantuan kemanusiaan segera dikirimkan. 

Menurut laporan Times of Malta, resolusi dari Malta ini menyerukan supaya ada jeda perang di Gaza supaya bantuan kemanusiaan bisa masuk dengan aman. Resolusi itu juga meminta supaya semua tawanan dibebaskan, terutama anak-anak.

Resolusi itu turut meminta supaya orang-orang sakit dievakuasi, dan supaya semua pihak tidak menyulitkan masyarakat di Gaza dalam mendapatkan layanan-layanan dasar.

Malta sebenarnya mendukung gencatan senjata, namun bahasa yang digunakan resolusi dari negara tersebut adalah "jeda dan koridor kemanusiaan" di Gaza.

Melalui media sosial X, pihak Malta menegaskan bahwa mereka akan terus berjuang untuk perdamaian 


Nestapa Para Ibu Hamil di Gaza, Melahirkan Tanpa Pereda Nyeri hingga Minum Air Laut

Dokter Palestina merawat bayi yang lahir prematur di Rumah Sakit Al Aqsa, Deir el-Balah, Jalur Gaza, Minggu (22/10/2023). (AP Photo/Adel Hana)

Perang Israel vs Hamas meninggalkan duka bagi banyak orang. Salah satunya warga Gaza bernama Kefaia Abu Asser.

"Anak saya belum punya nama karena perang. Dia berumur empat hari," kata Kefaia Abu Asser.

Sambil duduk di atas tikar jerami di sudut tempat penampungan sekolah yang dikelola oleh PBB di Rafah, di Gaza selatan, Kefaia menggendong bayi perempuannya yang terbungkus selimut merah.

Stres dan kelelahan terlihat di wajahnya. Menjadi ibu untuk pertama kalinya adalah hal yang sulit di mana pun di dunia, tetapi Kefaia harus melakukannya di bawah trauma yang tak terbayangkan: perang.

Perempuan berusia 24 tahun yang berasal dari Gaza utara ini meninggalkan rumah bersama keluarganya, setelah militer Israel memperingatkan warga sipil untuk pindah ke selatan Jalur Gaza demi keselamatan mereka.

Kefaia sedang hamil besar saat itu.

"Awalnya kami pergi ke Kamp Nuseirat. Tapi ada bom di dekat kami. Saya melihat mayat-mayat yang terkoyak. Itu sangat sulit," kata Kefaia kepada seorang jurnalis lepas yang bekerja di Gaza untuk BBC.

Kefaia dan keluarganya termasuk di antara ratusan ribu orang yang meninggalkan Gaza utara, dan seperti banyak orang lainnya, dia harus berjalan bermil-mil, sambil khawatir akan dibom.

"Itu sangat berbahaya bagi bayi saya yang belum lahir. Saya selalu merasa takut," ungkap Kefaia.

Keluarga tersebut akhirnya sampai di Rumah Sakit Kuwait di Kota Rafah, namun bangsal bersalinnya telah ditutup. Kefaia kemudian dipindahkan ke Emirati Hospital atau Rumah Sakit Emirat terdekat.

"Ini sangat sulit karena jumlah perempuan yang melahirkan sangat banyak. Mereka datang dari seluruh penjuru Gaza, dari utara ke selatan dan di mana pun di antaranya."

"Ada kekurangan obat penghilang rasa sakit," tambahnya. "Jadi mereka hanya memberikannya jika rasa sakitnya benar-benar tak tertahankan dan hanya diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan."

Si ibu hamil, Kefaia, melahirkan tanpa obat pereda nyeri.


WHO Sebut Separuh RS di Gaza Tidak Berfungsi, 50.000 Perempuan Hamil Terjebak Konflik

Warga Palestina yang terluka tiba di Rumah Sakit al-Shifa dengan menaiki truk menyusul serangan udara Israel di Kota Gaza, Jalur Gaza, Kamis (19/10/2023). (AP Photo/Abed Khaled)

World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan lebih dari separuh rumah sakit di Gaza tidak berfungsi karena kekurangan bahan bakar, kerusakan, serangan dan ketidakamanan.

PBB memperkirakan sekitar 50.000 perempuan hamil terjebak dalam konflik tersebut, dan meskipun kondisi rumah sakit sudah memadai, sekitar 180 persalinan diperkirakan akan terjadi setiap hari.

Banyak perempuan hamil yang tidak mendapatkan layanan persalinan yang aman karena rumah sakit kewalahan menangani korban jiwa, kehabisan bahan bakar untuk generator, dan kekurangan obat-obatan serta persediaan dasar – termasuk untuk penanganan darurat obstetrik.

Ola Abu Oali adalah salah satunya.

"Bayi saya berumur dua minggu. Dia lahir pada masa perang, tepat di sini, di sekolah ini," katanya kepada Majdi Fathi, seorang jurnalis lepas yang bekerja untuk BBC di Gaza.

Ola memiliki seorang putra kecil lainnya. Mereka semua saat ini tinggal di tempat penampungan sekolah PBB yang berbeda dan penuh sesak di Rafah.

"Kedua anak saya sakit. Perut mereka kembung dan diare parah. Setiap kali saya menyusui si bayi, dia muntah. Saya harus membawa anak saya yang lain ke rumah sakit tiga kali untuk memberinya infus, tapi kondisinya tidak berubah," ucap Ola.

Akses terhadap air bersih merupakan salah satu tantangan terbesar bagi para pengungsi di Gaza. PBB mengatakan setiap orang hanya memiliki akses terhadap tiga liter air sehari untuk semua kebutuhannya.

"Kami tidak punya air. Tidak ada susu untuk bayi saya. Dan kondisi toilet sangat buruk. Ada bau busuk dan kami harus menunggu giliran untuk menggunakannya," tutur Ola.​


Krisis Air Bersih

Seorang anak laki-laki berdiri di tengah hujan di sebuah sekolah yang dikelola oleh BBadan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di Rafah, Jalur Gaza selatan, Selasa (14/11/2023). (SAID KHATIB / AFP)

Kisah pilu juga diceritakan oleh Wafaa Yousef Fakhry Ahmed yang berlindung di sekolah yang sama dengan Ola.

"Saya hamil. Saya khawatir akan nyawa anak saya. Saya mendekati tanggal kelahiran dan khawatir dengan lingkungan tempat saya tinggal, terkena penyakit. Kami tidak memiliki air untuk kebersihan dasar," ucap Ola.

Wafaa berasal dari Beit Hanoun, dekat perbatasan utara Gaza, dan juga berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari keselamatan.

"Pertama, kami pergi ke sebuah sekolah di kawasan Al-Muaskar. Kami diminta keluar dari sana juga, jadi kami berjalan lebih jauh ke selatan. Kami menggunakan gerobak dan keledai di beberapa bagian jalan. Tapi sebagian besar, kami berjalan kaki," papar Ola.

"Kami tidak punya air untuk diminum, jadi satu-satunya pilihan yang kami punya adalah minum dari laut. Suami saya berusaha keras untuk mendapatkan satu botol untuk kami minum," sambung Ola.

Infografis Tragedi Kemanusiaan 3.000 Lebih Anak Meninggal di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya