Liputan6.com, Ankara - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan secara terang-terangan menyebut Israel sebagai negara teror. Tindakan Israel yang membombardir Gaza dinilai sebagai aksi terorisme oleh negara.
"Dengan pengeboman yang ganas kepada rakyat sipil yang dipaksa keluar rumah saat mereka relokasi, ini benar-benar penggunaan terorisme negara," ujar Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dikutip Arab News, Kamis (16/11/2023).
Advertisement
"Saya sekarang berkata, dengan hati yang tenang, bahwa Israel adalah negara teror," ujarnya.
Selanjutnya, Erdogan kembali memberikan dukungan kepada pasukan Hamas yang ia sebut sebagai pejuang perlawanan. Erdogan juga menyayangkan bahwa negara-negara Barat tidak bisa melihat situasi dengan jernih.
"Barat, yakni AS, sayangnya masih melihat isu ini dengan terbelakang," ucap Erdogan.
Sebelum perang di Gaza dimulai pada Oktober lalu, hubungan Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebenarnya sudah menghangat.
Sempat muncul juga wacana bagi Presiden Erdogan untuk mengunjungi Israel. Saling kunjung antara pejabat Israel dan Turki juga sudah terjadi. Namun, Erdogan langsung memulangkan dubesnya dari Israel ke Turki ketika perang di Gaza semakin parah.
PM Israel Benjamin Netanyahu juga masih mengabaikan permintaan lembaga internasional seperti PBB, WHO, dan lembaga-lembaga HAM untuk melakukan gencatan senjata. Negara-negara Barat juga enggan mendukung gencatan senjata dan memilih mendukung jeda kemanusiaan saja.
Menteri Israel Bezalel Smotrich Serukan Warga Palestina di Gaza Migrasi Sukarela ke Negara Lain
Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich pada Selasa (14/11/2023), blak-blakan mengatakan bahwa dia mendukung proposal anggota Knesset (parlemen Israel) Ram Ben Barak dan Danny Danon agar warga Palestina melakukan migrasi sukarela.
Melalui opini di Wall Street Journal, Barak dan Danan menyerukan negara-negara di dunia menerima masuknya pengungsi dari Gaza.
Smotrich, yang juga menjabat sebagai gubernur de facto Tepi Barat yang diduduki, memuji usulan tersebut sebagai satu-satunya solusi bagi 2,3 juta warga Gaza, yang disebutnya telah menjadi simbol ambisi memusnahkan Negara Israel.
"Mayoritas warga Gaza adalah generasi keempat dan kelima dari pengungsi 48," tulis Smotrich dalam unggahannya di Facebook, mengacu pada Nakba tahun 1948, ketika lebih dari 700.000 warga Palestina diusir paksa dan mereka serta keturunannya tidak dapat kembali.
"Yang bukannya direhabilitasi ... seperti ratusan juta pengungsi di seluruh dunia malah disandera di Gaza dalam kemiskinan."
Dia menambahkan bahwa Negara Israel tidak dapat didamaikan dengan keberadaan Gaza yang merdeka yang bergantung pada kebencian terhadap Israel dan aspirasi untuk menghancurkannya.
Advertisement
Perluasan Pemukiman Yahudi
Dalam Rencana Penentu Israel yang dirilis pada tahun 2017, Smotrich menguraikan solusinya terhadap masalah demografis.
Dia mengusulkan perluasan permukiman Yahudi tanpa batas dan aneksasi penuh Tepi Barat, di mana warga Palestina diharuskan hidup tanpa hak politik di bawah pemerintahan Yahudi atau beremigrasi ke negara lain.
Warga Palestina yang tidak mau menerima opsi ini dikategorikan sebagai teroris dan akan ditindak tegas oleh aparat keamanan.
Pernyataan Smotrich muncul pasca surat yang dia tulis kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, di mana dia menyerukan pembentukan zona keamanan steril di sekitar permukiman di Tepi Barat untuk mencegah orang Arab memasuki wilayah tersebut.
Belum lama ini, dokumen Kementerian Intelijen Israel bocor ke situs berita Israel Calcalist yang merinci rencana pemindahan paksa warga Palestina di Gaza ke Semenanjung Sinai.
Menurut rancangan kebijakan yang bocor, setelah pengusiran mereka, 2,3 juta warga Palestina di Gaza pada awalnya akan ditempatkan di kota-kota tenda, sebelum komunitas permanen dapat dibangun di bagian utara semenanjung.
Mesir telah berulang kali menolak gagasan bahwa warga Palestina dapat mengungsi ke Mesir untuk sementara waktu ketika Israel melancarkan operasi militernya melawan Hamas di Gaza.
Sejak serangan Israel di Gaza dimulai pada 7 Oktober, lebih dari 11.000 warga Palestina tewas, termasuk lebih dari 4.000 anak-anak.
Gaza Diguyur Hujan Deras, Risiko Penyakit Menular Mengintai
Setelah musim gugur yang hangat dan kering, pada Selasa pagi (14 November 2023) hujan mengguyur Gaza, Palestina.
Hujan deras di pagi kemarin menyapu debu reruntuhan gedung akibat serangan Israel yang terjadi lebih dari enam pekan.
"Hujan ini menghilangkan asap di udara dan langit menjadi indah, ini adalah hari yang baru," tulis dokter bedah Palestina - Inggris, Ghassan Abu Sitta diunggah di X.
Hujan itu juga jadi hiburan bagi anak-anak di Gaza. Beberapa anak terlihat bermain di bawah hujan atau sekadar menengadahkan tangan menikmati tetesan air yang jatuh dari langit.
"Awalnya, anak-anak saya menikmati hujan. Putri saya keluar untuk mencuci rambutnya," kata seorang warga Saleh al-Omran.
Namun, kegembiraan tersebut tak lama. Makin lama, hujan deras yang turun membuat dingin begitu terasa sampai menusuk.
"Sementara kami tidak punya cara untuk menghangatkan rumah. Cuacanya semakin dingin," kata Saleh mengutip The Guardian, Rabu (15/11/2023).
Advertisement