Pemberantasan Hoaks Disarankan Perlu Masuk ke Kurikulum Pendidikan

Pemberantasan hoaks tidak dapat dilakukan secara cepat, untuk itu diperlukan upaya pemberantasan melalui kurikulum pendidikan agar masyarakat dari berbagai daerah memperoleh modal yang sama.

oleh Rida Rasidi diperbarui 17 Nov 2023, 07:00 WIB
Jangan mudah terprovokasi dengan informasi bohong (hoax).

Liputan6.com, Jakarta - Hoaks menjadi masalah di tengah perkembangan era digital, sebab itu perlu dilakukan sejumlah strategi untuk mengatasinya. Salah satunya dengan memasukkannya pemberantasan ke dalam kurikulum pendidikan.

Pendiri Klinik Digital Vokasi Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Dr. Devie Rahmawati, mengatakan bahwa pemberantasan hoaks tidak dapat dilakukan secara cepat. Sebaliknya, ia menyarankan agar upaya pemberantasan hoaks dilakukan melalui kurikulum pendidikan agar seluruh masyarakat dari berbagai daerah memiliki modal yang sama.

“Mengapa hal ini penting? Karena jika sudah masuk kurikulum pendidikan, berarti baik siswa di Aceh maupun Papua akan mendapat ajaran yang sama, sehingga semuanya memiliki mental dan modal yang sama untuk menghadapi hoaks,” ujarnya dikutip dari Antara.

Namun, upaya penanganan hoaks yang dilakukan melalui sektor pendidikan yang sistematis  ini hasilnya tidak dapat terlihat secara instan. Devie menyebutkan, hasil dari upaya tersebut baru dapat terlihat dalam 20 hingga 30 tahun lagi. Meskipun begitu, upaya ini tetap penting dilakukan demi terciptanya daya tahan masyarakat terhadap berita-berita bohong.

Selanjutnya, ia juga mengatakan meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah membentuk satuan tugas khusus maupun berbagai gerakan, partisipasi masyarakat tetap dibutuhkan untuk memberantas hoaks.

Hal tersebut disebabkan oleh penyebaran berita bohong yang berlangsung lebih cepat daripada upaya pencegahannya. Penelitian dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menunjukkan bahwa satu hoaks dapat menyebar dalam dua menit.

Dosen Vokasi di Universitas Indonesia itu menyayangkan kebiasaan masyarakat yang lebih mengutamakan kecepatan informasi dibandingkan keakuratannya. Ia menjelaskan, kebiasaan ini menurut sebuah penelitian internasional bukan disebabkan oleh niat buruk mereka. Namun, mereka justru ingin dianggap sebagai “pahlawan” karena telah menyebarkan informasi kepada orang lain dengan cepat.

“Jadi, sebenarnya niatnya baik, tapi sayangnya yang mereka sampaikan ternyata hoaks,” kata Devie.

Lebih lanjut, Devie menjelaskan, tindakan verifikasi memerlukan waktu yang lebih lama, sehingga hal ini sering kali membuat tindakan penanggulangan hoaks terlambat dilakukan.

Untuk itu, ia menganggap penanganan informasi hoaks adalah pekerjaan rumah (PR) dan perjuangan panjang yang harus diupayakan oleh seluruh pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.

“Jadi, memang kita perlu bersabar untuk memastikan tidak ada lagi berita bohong yang tersebar,” tuturnya.


Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya